Kisah yang Masih Hangat

3.4K 238 4
                                    

Alana yang penat berharap bosnya tidak perlu kembali ke kantor sore ini. Kehadirannya justru akan menambah jengah dan lemahnya. Rasa penatnya benar-benar memuncak ketika menerima telepon dari Dean yang mengajaknya makan. Entah mengapa hal-hal yang tidak mengenakkan bisa datang beruntun dalam jarak waktu yang berdekatan. Pertama bosnya yang mulai menunjukkan sifat aslinya, angkuh dan seenaknya sendiri. Lalu kedua adalah pekerjaan yang datang bertubi-tubi dan membutuhkan keputusan segera sementara bosnya entah di mana. Dan ketiga, suara Dean yang entah bagaimana caranya mampu menghancurkan hati Alana dalam seketika saja.
Dean tampaknya memang sengaja menelepon untuk mengajaknya makan. Ia berhutang kata maaf, katanya. Alana sudah berusaha menolak dengan berbagai macam alasan, termasuk pekerjaannya yang tiba-tiba bertambah tanpa mau kompromi. Tapi Dean dengan yakin mengatakan kalau ia bisa menunggu di lobby gedungnya sampai pekerjaan Alana selesai. Hal ini membuat Alana was-was dan putus asa, bahwa ia harus makan malam dengan Dean.

Alana merasakan hal yang aneh. Mestinya ia masih merasakan cinta itu untuk Dean, tapi bahkan untuk bertemu pun ia merasa enggan. Belum seberapa lama sejak Dean menjauh darinya, namun kini yang tertinggal hanya rasa sakit dan enggan. Hanya itu. Lalu lamunannya membuyar ketika mendengar seseorang memanggilnya. 

Di pintu ruang sekretaris, atasannya sudah menjulang dan menutupi hampir semua sumber cahaya di ruangan itu. Alana mendongak dan melihat atasannya tersenyum. Mungkin Alana memang mulai gila, tapi entah mengapa tiba-tiba dia menyimpulkan kalau atasannya begitu tampan. 

"Ya Pak?" 

"Alana, ini Grady putraku. Mungkin beberapa hari ke depan kalian akan berinteraksi lebih banyak."

"Selamat malam, Bu Alana," sapa Grady, membuat Alana langsung melongo. Rasanya ia belum terlalu tua untuk disebut "Bu". Tanpa sadar Alana menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Alana saja, Sayang. Namamu bagus, Grady, kau juga tampan.." kata Alana. Grady tersenyum malu. Tampak sekali kalau Grady kangen ayahnya, ia terus menempel ke kaki panjang ayahnya. "Kalau begitu, saya pamit pulang, Pak." Alana bergegas meringkas segala barangnya di atas meja dan memasukkan beberapa barang penting dalam ranselnya. Ia berharap Dean belum sampai menunggunya di bawah. 

"Alana, kau mau makan bersama kami? Grady ingin menunjukkan beberapa makanan kesukaannya padamu," kata Kristof tiba-tiba. Sekali lagi Alana melongo. Ia tidak yakin atasannya tahu persis maksud ajakannya. Sejak kapan Pak Kristof jadi baik begini?, pikir Alana. Atau mungkin ia harus membuatku kenyang sebelum melimpahiku dengan lebih banyak pekerjaan, pikir Alana lagi. "Ayolah, sudah jam makan juga kan? Aku juga sudah sangat lapar, ya kan Nak?" Grady mengangguk antusias, membuat Alana tiba-tiba luluh dan mengangguk.  

Ternyata apa yang ditakutkan Alana sudah menunggu di bawah. Dean duduk santai sambil menekuri tabletnya dan mendongak ketika suara langkah keluar dari lift. 

"Pak Kristof, duluan saja ya, saya pamit dulu dengan teman saya." ujar Alana langsung di depan lift. Kristof menyadari raut aneh dari wajah Alana, ada apa-apa. 

"Kau sudah punya janji makan?" tanya Kristof, dan Alana tidak segera menjawab. "Apa kau ingin makan dengan temanmu?" tanya Kristof lagi. Alana sungguh heran, suara Kristof terdengar sangat lembut. 

"Sebenarnya saya lebih ingin pulang daripada makan. Tapi... " ucap Alana bimbang. 

"Silakan kalau kau mau pamit, aku akan menunggumu. Tapi kalau kau lebih nyaman jika aku tunggu di mobil, biar Grady menemanimu." Grady mengangguk, ia tampak tidak keberatan menemani orang asing seperti Alana. Dan ini artinya Alana tidak ada pilihan. 

"Baiklah, saya akan ajak Grady, mungkin bisa lebih cepat."

Dean tampak kusut dan kurang suka melihat Alana menggandeng anak laki-laki berkulit putih yang semula digandeng seorang laki-laki blasteran. Apalagi mereka turun lift bersama. Dean mempertimbangkan apakah memang secepat ini Alana melupakannya. 

"Jadi kita tidak jadi makan?" tanya Dean. Alana hampir saja marah mendengarnya. Ia sama sekali tak pernah setuju untuk makan dengan Dean, Dean-lah yang memaksanya. 

"Kupikir aku tak pernah setuju untuk makan denganmu, Dean. Lagipula malam ini ada informal meeting dengan atasanku," jawab Alana berusaha sabar.

"Kupikir atasanmu Pak Ridwan," sangkal Dean. Alana sudah tidak sabar. 

"Pak Ridwan sudah beberapa minggu jadi staf ahli menteri. Tugasku pun tidak hanya melulu di lab, jadi mungkin ini waktunya bersosialisasi. Maaf Dean, sepertinya tidak malam ini. Dan mungkin kapan-kapan kau bisa mengajakku makan siang, aku mungkin akan terlalu lelah untuk makan malam." Alana lalu mengajak Grady segera pergi dari tempat itu. Berpanjang-lebar hanya akan menambah kelelahan emosinya, membuat anak kecil ini juga tidak merasa nyaman. 

"Alana, apa kalian bertengkar?" tanya Grady polos. Alana memandangnya dengan senyum, lalu menjawab dengan halus, "Tidak Grady, kami hanya berbeda pendapat."

"Dulu Ayah dan Mommy juga bertengkar, lalu aku jarang bertemu Ayah." ujar Grady sedih. Alana lalu mengusap kepala bocah tampan itu. 

Seusai makan, Kristof mengatakan akan mengantarnya pulang. Alana beralasan kalau mobilnya masih di kantor, jadi ia akan pulang sendiri. Betapa mengejutkan bagi Alana ketika Kristof berkata, "Aku tahu pagi ini kau berangkat naik bis, jadi jangan mencoba membohongiku." Kalimat bernada ancaman itu dilontarkan Kristof dengan serius. Alana jadi bingung dan takut. Kristof tampak sangat tidak senang kalau dia berbohong. 

Dalam perjalanan pulang pun Alana merasa aneh. Atasannya asyik ngobrol dengan putranya sementara ia terdiam di kursi belakang. Kristof seolah sudah tahu di mana dia tinggal, tidak sekali pun ia menanyakan ke mana harus mengantar Alana pulang. Dan anehnya, Kristof tidak tersesat. Alana diantarkan tepat sampai depan rumahnya. 

"Dari mana Bapak tahu tempat tinggal saya?" tanya Alana agak bingung sebelum turun dari mobil. 

"Aku tinggal tepat di depan rumahmu. Dulu aku selalu melihatmu dijemput seorang lelaki, tapi beberapa minggu ini tidak. Kadang kau membawa mobil, kadang kau naik bis." Jawaban Kristof hampir saja membuat Alana ternganga. Ternyata selama ini Bosnya tinggal di depan rumahnya. Entah mengapa Alana merasa hidupnya semakin kacau. Kalau pun tugas-tugasnya menjadi asisten Kristof sudah selesai, tapi ia akan tetap berinteraksi dengan pria itu sebagai tetangga. Dan itu entah sampai kapan. 

"Aku jadi bisa bermain denganmu, Alana," ujar Grady tiba-tiba. Alana terkejut dan semakin bingung dengan apa yang akan dia hadapi selanjutnya.

"Sejak kapan Bapak tahu kalau saya tinggal di sini?" tanya Alana curiga. Alana semakin curiga ketika ia seolah melihat kilas senyum di bibir Kristof.

"Sebenarnya ini pengetahuan yang masih hangat buatku, baru seminggu ini mungkin."

"Tapi Bapak selalu pulang lebih malam daripada saya kan.." kata Alana masih bingung.

"Ya, tapi aku biasa datang lebih siang daripada kamu, kan." Alana hanya bisa mengangguk-angguk dengan jawaban Kristof. "Dan satpam depan itu ynag memberi tahu kalau pria di kantor tadi adalah pacarmu."

"Saya tidak yakin lagi soal yang terakhir itu, Pak."

"Aku juga berpikir begitu meskipun itu bukan urusanku." Ada nada suara aneh dan dalam di suara Kristof, seolah ia paham perasaan dan situasi Alana. "Kalau kau mau berangkat pagi, kita bisa berangkat bersama selama Grady di sini. Aku harus mengantarnya sekolah pagi-pagi dan artinya aku juga harus berangkat pagi." Alana tersenyum saja mendengarnya. Itu bukan opsi yang menarik baginya. Ia tak butuh komplikasi lebih rumit untuk hidupnya saat ini. Meskipun demikian, ia sempatkan mengucapkan terima kasih atas tumpangan dan tawaran tadi.

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang