So, something's really better left unsaid

351 47 2
                                    

"El, kamu ke mana saja??? Aku nggak jadi nikah! Seluruh kantor sedang sibuk membicarakan itu dan berita kepergianmu." Dan sekali lagi Alana membuat El terdiam. El benar-benar tak tahu bagaimana memproses informasi yang bertubi-tubi memukul kepalanya. Otaknya serasa lumer dan berceceran meninggalkan rongga tengkoraknya.

El mengajak Alana masuk dan duduk. Alana mengedarkan pandangannya dan tampak kalau apartemen ini sudah siap untuk ditinggalkan. Barang-barang pribadi El sudah tidak ada di tempatnya, beberapa furnitur seolah lenyap, dan ada beberapa kardus besar yang siap diangkut. 

"Kamu benar-benar pergi jauh dan lama ya?" tanya Alana lemah sambil memandang El. El meletakkan teh hangat yang baru saja ia buat untuk Alana, berusaha menyibukkan diri agar tak perlu menjawab pertanyaan itu, tapi sia-sia. Ia mengangguk, tak kalah lemah dari pertanyaan Alana. "Kenapa kamu pergi sekarang?"

El menghela nafas. Sekelebat memorinya seperti diputar kembali di depan matanya di ruang gelap hatinya, ia sendirian. Saat itu sehari setelah Alana mengiriminya dokumentasi indah acara lamarannya. Video pendek saat Alana menerima lamaran Kristof pun berputar berulang-ulang seperti denting detik jam yang tak pernah berhenti. Sekali lagi, harga kesadaran atas perasaannya ternyata terlalu mahal. El seperti tak sanggup berkomentar selain satu kata "selamat", sementara ia sibuk memunguti remah-remah hatinya yang hancur. Lalu ia susun kembali namun tak pernah bisa sama. Dalam diamnya, ia mendapati lowongan sebagai mahasiswa PhD di Universitas tempatnya mengambil kursus saat itu. Segera ia lamar dan ia susun proposal sebaik mungkin. Ia beralasan pada Mamanya kalau saat itu ia terkubur tugas-tugas, padahal ia sibuk mempersiapkan lamaran sebagai mahasiswa PhD. Ia bahkan menyempatkan diri menemui langsung Profesor yang membuka lowongan itu dan berdiskusi, sehingga memantapkan langkahnya untuk menggenggam kesempatan itu. Saat itu El tidak mempedulikan apapun, ia hanya ingin kembali belajar dan fokus pada pencapaian yang baru, sambil sedikit demi sedikit mereparasi hatinya. Dan kini, ia kembali lagi ke ruang tamu apartemennya dan menghadapi Alana, yang begitu rapuh karena pernikahannya dibatalkan. 

"Ini waktu yang sempurna. Setidaknya bagiku," jawab El. Raut wajah Alana menyiratkan kebingungan. Tapi El memutuskan untuk tidak memberi penjelasan lebih lanjut. 

"Kenapa tiba-tiba? Kau mendapat offer saat kursus kemarin?" tanya Alana. El mengangguk. Hal itu tak sepenuhnya salah. "Kamu nggak pernah membicarakan rencanamu untuk sekolah sebelumnya," timpal Alana seolah kecewa. Jujur saja, sebenarnya El hampir luluh dengan wajah Alana yang manyun dan tak mau memandangnya. Tapi sekali lagi ia mengumpulkan tekadnya untuk teguh dengan keputusannya. 

"Aku tak membicarakannya karena baru rencana, aku akan bicara kalau memang sudah ada buktinya."

"Sekarang pun kamu nggak bilang kalau aku nggak menodongmu begini," timpal Alana tak mau terima. 

"Aku nggak mau mengganggu persiapan pernikahanmu," kata El, mengulangi kalimatnya tadi.

"Aku bilang pernikahanku batal!" kata Alana setengah berteriak. 

"Aku nggak tahu pernikahanmu batal," jawab El masih dengan suaranya yang dalam dan tenang. Alana tak pernah tahu betapa bergejolak benak El saat itu. Mungkin El adalah aktor yang hebat, ia mampu menyembunyikan semuanya di balik wajah dan sorot matanya yang dingin dan tajam. 

"Kamu bahkan tidak peduli padaku," ujar Alana asal. Dia masih tidak mau menatap El. Mereka seperti dua orang asing yang tidak saling bercakap. 

"Kalimatmu tak beralasan."

"Kamu tidak menganggapku teman," kata Alana lagi. 

"Bicaramu mulai tidak beraturan." 

"You just kept me in the dark," Alana semakin bete. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang