An Interview with the Past

489 54 4
                                    

El sampai di kantor sedikit kepagian, setelah semalaman tidak tidur dan memutuskan untuk sama sekali tidak tidur meskipun kantuk menyerang pada pukul 04.15. Lebih baik memaksa diri membuka mata daripada bangun kesiangan. Hari ini El ingin menemui Alana dan mengajaknya makan siang bersama. Sudah lebih dari sebulan mereka tidak makan siang bersama, berkirim pesan pun hanya beberapa kali saja. Kali ini El mengakui kalau dia rindu Alana.

Kantor jelas masih sepi ketika El tiba, sampai dering ponselnya bisa mengejutkan dirinya sendiri. Ladya. Nama yang tertera di layar. El enggan mengangkatnya. Urusannya sudah berakhir dengan Ladya. Dia tidak ingin mengulanginya lagi. 

"Mas, boleh ketemu sebentar? Makan siang mungkin?" tanya Ladya di seberang. Sebenarnya El sudah berencana mengajak Alana makan siang, tapi mungkin lebih baik ia menemui Ladya agar dia tak dikejar-kejar hutang. Setelah menyetujuinya, Ladya menyebutkan lokasi pertemuan mereka nanti siang. Sebuah restoran bagus dan mahal, yang menurut El sebenarnya tidak perlu. 

"El," panggil Alana di belakangnya. Sesungguhnya terbit rasa bahagia dalam hati El, tapi sekejap kemudian ia teringat janji makan siangnya dengan Ladya dan menghapus bahagia itu sampai tandas. "Kamu kok kusut? Nggak tidur semalam? Banyak kerjaan? Atau lapar?" El masih terdiam. Dia sadar betul kalau Alana beberapa tahun lebih tua darinya, tapi entah mengapa di matanya Alana selalu saja bisa tampak imut dan bertingkah seperti adiknya. Bahkan perhatian Alana pun seolah seperti perhatian seorang adik. 

"Nggak bisa tidur, maraton film."

"Kamu nonton drama Korea?" Alana terkejut. 

"Memangnya yang bisa maraton cuma drama Korea?!" jawab El ketus dan dingin. "Aku nonton Star Wars dari nomor satu sampai enam. Non stop." 

"Wow... kupikir kamu nonton drama Korea.. hihi.." canda Alana sambil berjalan menuju lift. "Kamu nggak perlu nonton drama Korea, mukamu saja sudah mirip artis Korea. Cukup lihat muka di cermin aja!" ujar Alana ceria seketika ia keluar dari pintu lift. "Jangan sampai tidur di jalan ya!" katanya lagi sebelum pintu lift menutup. Untung saja mereka cuma berdua. Kalau sampai ada yang melihat tingkah mereka berdua, Kristof pasti tidak tinggal diam. Tanpa sadar El mengangkat sebelah sudut bibirnya mengingat candaan Alana tadi. Mirip artis Korea? Alana bisa aja, pikirnya. 

El sampai di rumah makan mewah itu seperempat jam lebih awal. Dia duduk dulu di lobby dan membaca majalah yang ada di sana. Sambil menunggu Ladya, El mengawasi arah pintu masuk, berharap Ladya segera datang agar urusannya segera selesai. El agak terkejut melihat Deano, sepupu ipar barunya, masuk ke restoran yang sama dan memastikan reservasinya. Lalu ia diantar salah satu karyawan ke deretan ruangan privat kecil. El tahu persis tempat ini karena dulu saat masih jadi artis, agensinya sering menjamu klien dan artis-artis di sini. Biasanya dengan medium private room atau bahkan mini ballroom. Sekitar sepuluh menit kemudian, yang sama sekali tidak ia sangka-sangka, Alana berjalan di belakangnya. Saking terkejutnya, El justru tidak kuasa memanggil Alana. Ia hanya memperhatikan ke mana Alana akan diantar. Tepat seperti pikirannya, Alana menuju arah yang sama dengan Deano. Apa maksudnya ini?

Belum lepas El dari keterkejutannya, ia dikejutkan dengan suara dan sentuhan Ladya di lengannya. 

"Eh, kamu sudah datang. Ayo," kata El sambil menghapus rasa terkejut yang bertumpuk-tumpuk. 

"Aku mau bilang terima kasih, aku sudah resmi bercerai," kata Ladya ketika mereka mulai makan. Sebenarnya El tidak enak berada di tempat seperti ini, di private room bersama dengan Ladya saja. Mestinya mereka bisa makan di area makan restoran, bukan di sini. 

"Mestinya kamu juga undang Kevin yang mewakilimu di persidangan, aku cuma menelponnya saja minta tolong padanya. Selebihnya dia yang lebih banyak membantumu." 

"Aku sudah ajak Pak Kevin makan kok, juga banyak bingkisan untuk keluarganya. Ini memang giliran Mas El," kata Ladya manja. Masih seperti dulu.. tapi entah mengapa El merasa dia seperti... merayu. 

El makan agak cepat, berusaha sesegera mengakhiri pertemuan yang tidak ia inginkan. Pikirannya justru terbagi dengan kenyataan bahwa Alana mungkin makan bersama Deano. I Ia berharap akan ada orang lain lagi, bukan mereka berdua saja. 

"Mas El terburu-buru ya?" tanya Ladya dengan nada manjanya. El bahkan heran dia merasa jadi lebih jengah. 

"Iya, pagi ini datang pekerjaan agak banyak. Aku berharap bisa beres hari ini juga, biar tidak menumpuk karena biasanya bulan-bulan ini akan ada beberapa pemeriksaan." El beralasan.

"Hmm.. Mas El suka ya kerja kantoran? Nggak pengen nyanyi lagi? Mas El kan sukses di dunia entertainment," kata Ladya. El tersenyum singkat. 

"Cita-citaku ya begini, nggak muluk-muluk, bahkan kalau bisa aku ingin sekolah lagi dan mengajar. Kenapa?" tanya El melihat air muka Ladya yang berubah. 

"Memang ada uangnya kalau kerja kantoran dan mengajar?"

"Nggak banyak sih, tapi cukup kok buatku."

"Kalau Mas El mau sekolah lagi, aku bisa kok bantu Mas El.." kata Ladya tiba-tiba. "Mau ambil Law school di luar juga bisa.. Harvard, Yale, Brown, atau di Inggris.. "

"Tunggu.. tunggu.. ", El memotong karena bingung dengan arah bicara Ladya. "Kamu mau kasih beasiswa atau gimana?" Ladya tersenyum-senyum penuh rahasia. 

"Kita bisa mulai lagi dari awal, Mas El, aku bebas sekarang. Dan aku punya cukup uang dan aset untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita, bahkan aku bisa bikin agensi kalau Mas El mau nyanyi atau akting lagi," kata Ladya. El semakin bingung dengan maksud Ladya. Mestinya Ladya tahu kalau mereka benar-benar tak punya masa depan bersama. 

"Ladya, apa maksudmu dengan mulai dari awal?" 

"Kita, Mas.. kita berdua bisa mulai dari awal lagi." Ladya menjelaskan dengan wajah sungguh-sungguh. "Aku akui dulu aku terlalu muda dan terlalu egois untuk mendukung karirmu. Aku mudah tergoda dengan hadiah-hadiah dan kemewahan yang diberikan mantan suamiku. Tapi ternyata kasih sayang itu penting, aku terluka melihatnya dengan perempuan lain." 

El menghela nafas. Ladya ternyata masih sama saja, hanya saja sekarang dia pikir dia bisa membeli El. Menganggap dirinya tahu apa yang diinginkan El. Padahal dalam pikirannya hanya materi dan egoisme-nya sendiri. 

"Ladya, kupikir tidak ada lagi masa depan untuk kita. Kau lihat bahwa mimpi kita saja berbeda."

"Tapi aku bisa mewujudkan mimpimu, Mas.. apapun itu."

"Dengan harta dari mantan suamimu?" tanya El lugas. Terdengar sarkastis sih. "Kamu nikmati saja apa yang kamu dapatkan sekarang, dan temukanlah mimpimu yang sesungguhnya. Kamu tak perlu repot memikirkanku."

"Tapi mimpiku itu bersama kamu, Mas!" kata Ladya setengah menjerit. Air mata mulai menetes. Tapi El sudah mati rasa untuknya. Setelah Ladya menikah, El tidak peduli perempuan lagi. Yang ia pedulikan hanya mimpinya, pekerjaannya, dan hidupnya sendiri. Sampai El mengenal Alana. Ya, pikiran tentang Alana tiba-tiba terbersit dan ia semakin khawatir dengan siapa yang Alana temui sekarang. Dan pikiran itu buyar seketika dengan suara pintu dibanting di luar sana, tak jauh dari ruangan yang ia tempati. Spontan El beranjak keluar. 

Kelebat Alana setengah berlari melalui El yang masih berdiri di ambang pintu private room yang ia tempati. Sekilas, El melihat mata Alana yang berkaca-kaca. Ah, apa lagi ini?!, umpatnya dalam hati.

"Al!" seketika El memanggil dan Alana berhenti. Alana berbalik dan El melangkah ke arah gadis itu. Semakin El mendekat, semakin dekat pula Alana dengan pecah tangisnya. Tinggal selangkah lagi El di depannya, Alana menghambur. Di pelukan El tangisnya pecah. 

"Ayo pergi El, pergi dari sini!" kata Alana di tengah isak tangisnya. Tangan Alana mencengkeram jas El dengan begitu kuat. Ada rasa marah bercampur sakit yang amat sangat di sana. El sempat memeluknya sebentar. Beberapa orang menyaksikan, termasuk Ladya dan Deano. El mengelus punggung Alana menenangkannya, membimbingnya untuk melangkah keluar dari tempat itu meski Alana terus terisak. 

"Aku di sini, aku di sini," bisik El sambil merengkuh pundak Alana. Memandang tajam orang-orang yang menjadikan ini tontonan sementara ia terus membimbing Alana ke arah mobilnya. Entah El sadar atau tidak, dia mengecup puncak kepala Alana untuk menenangkannya. Dan selisih tinggi badan mereka membuat El sangat mudah melakukannya. 

"Ayo kita pergi dari sini," kata El melajukan mobilnya. Ia pun sudah sangat ingin keluar dari tempat itu.  

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang