Alana kembali meneruskan beberapa e-mail ke alamat e-mail atasannya, Kristof. Semula ia membuat pengaturan bahwa semua e-mail ke alamat kantor langsung masuk ke e-mail kantor Kristof. Tapi hal itu justru membuat Kristof kehabisan waktu hanya untuk menyortir surat. Jadi Alana membuat sistem sendiri, meneruskan e-mail yang harus segera dibalas Kristof sendiri, menunda meneruskan e-mail yang bukan segera, dan meneruskan e-mail berita ke bagian Informasi. Bagian Informasi akan mengolah dan membuat resume untuk dibaca Kristof setiap jam 4 sore dan menindaklanjuti seperti apa yang diinginkan Kristof. Sementara ini semuanya bisa berjalan lancar.
Alana kemudian membisukan suara ponselnya, memasang alarm di komputernya untuk 40 menit ke depan, memasang headset untuk mendengarkan musik, dan mulai mengerjakan pekerjaannya sendiri. Membaca dan membuat catatan untuk jurnal pendukung hasil risetnya, menandai bagian-bagian penting tulisannya, dan melanjutkan draf manuskripnya. Kegiatan yang berulang-ulang ini menyenangkan baginya. Membuatnya melakukan apa yang benar-benar ia nikmati. Sampai tiba-tiba ada pensil berketuk-ketuk di hadapannya. Ketika ia mendongak, wajah Kristof sudah ada di pintu ruang sekretaris dengan sorot mata tajam, tepat tertuju ke matanya.
"Sudah sembilan kali aku meneleponmu, 5 kali di ponsel dan 4 kali di telepon ruang, dan tidak ada jawaban. Apa penjelasanmu untuk itu?" Kristof tampak menahan kemarahannya.
"Saya mengerjakan manuskrip, Pak," Alana memutar laptopnya dan menunjukkan apa yang sedang ia baca. Meskipun sorot matanya masih tajam, tapi nampaknya Kristof tidak jadi marah. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Tidak, aku hanya minta kau tahan semua teleponku dan arahkan ke bagian informasi untuk mencatat pesan. Sampaikan padaku jam 4 sore nanti sekalian mereka laporkan resume hari ini." Alana mengangguk tanda mengerti dan menahan keinginannya untuk menanyakan alasan Kristof tidak mau diganggu. Lalu Alana kembali menekuri layar komputernya.
Sudah hampir sore ketika pintu ruangan Kristof kembali terbuka dan Kristof beranjak keluar. Lengan bajunya tergulung sampai di bawah siku, rambutnya agak berantakan, dan matanya tampak lelah. Alana menyangka Kristof juga belum makan siang, karena sejak pagi tadi ia tak keluar dari ruangannya. Sekitar 10 menit kemudian, Kristof kembali lagi dan mampir ke ruangan sekretaris.
"Kau juga belum makan siang, kan?" tebak Kristof sok tahu. "Aku pesan makanan yang diantar kemari, makanlah di dalam." Sebelum Alana dapat menolak, Kristof sudah masuk ke ruangannya, hanya saja kali ini ia tidak menutup pintunya. Benak Alana menyarankan untuk menuruti bosnya saja. Bukan ide yang baik menolak Bos yang berantakan.
Kristof makan dengan tenang, masih sambil melihat layar komputernya. Alana duduk di sofa tamu dan berusaha makan dengan cepat. Ia merasa tidak enak makan siang dengan bosnya dalam keadaan seperti ini, makanan yang dipesan bosnya dan makan di ruangan bosnya. Tepat ketika Alana menyuapkan 3 sendok terakhir makanannya, bosnya bersuara.
"Aku boleh minta tolong satu hal lagi padamu?" tanya Kristof tiba-tiba.
"Minta tolong apa, Pak? Kalau saya bisa akan saya lakukan," jawab Alana. Ia tak bisa memungkiri kalau jantungnya berdegup lebih cepat. Dan ia benci harus menebak-nebak apa yang akan Kristof minta darinya.
"Selama 2 minggu ke depan, kosongkan agenda pada jam 11 sampai jam makan siang. Aku akan tinggal dengan anakku dan aku harus menjemputnya dari sekolah." Alana terkejut. Ternyata atasannya ini punya keluarga juga. Bahkan seorang anak.
"Lalu agenda yang sudah terjadwal apakah harus diatur ulang, Pak?" Kristof menggeleng.
"Hanya 2 meeting di dalam kantor, tak masalah. Aku bisa memintamu menjemput anakku dan mengajaknya makan kan? Kau bisa bawa mobilku agar anakku percaya kau tidak menculiknya." Mungkin maksud Kristof kali ini bercanda, tapi Alana tidak menyadarinya karena wajah Kristof tetap tampak serius. Dan bahkan Kristof mengatakannya sambil mengetikkan sesuatu di layar komputernya. Entah mengapa ini mengganggu untuk Alana.
"Maaf pak Kristof, boleh saya minta waktu Bapak sebentar?" kata Alana tegas. "Saya bukan sekretaris, saya periset yang diperbantukan untuk mengatur jadwal Bapak yang padat. Saya tidak masalah dengan itu, saya pernah menjadi manajer riset dan pernah mengelola sebuah grup riset meskipun tidak sekompleks pekerjaan Bapak." Alana berhenti sebentar dan menarik nafas. Kristof masih memperhatikannya. "Tapi meskipun saya hanya seorang periset yang mungkin tidak cukup berharga di lembaga ini, apa boleh saya minta Bapak untuk melihat lawan bicara Bapak ketika berbicara?" Kristof tampak tidak terkejut dengan kata-kata Alana. Ia hanya tidak menyangka kalau perempuan ini punya harga diri yang cukup tinggi. Hmm, dia lupa kalau yang mengatur jadwalnya adalah seorang PhD.
"OK, maaf. Aku akan ingat kata-katamu. Dan kau keberatan kalau tidak memanggilku Bapak? Kristof atau kamu saja... " kata Kristof tampak ragu. Tampak agak lucu dan tak sengaja sudut mulut Alana terangkat.
"Saya akan tetap menyapa dengan 'Bapak' di komunitas resmi. Lain dari itu, kita lihat saja nanti, Pak." Lalu Alana keluar dan melanjutkan pekerjaannya.
Harus diakui kalau jantung Alana berdegup begitu cepat bahkan setelah sekian menit duduk di mejanya. Mestinya hal seperti ini tidak terjadi. Tidak boleh lagi ia memarahi atasannya. Untung saja kali ini Pak Kristof tidak marah balik padanya. Bukan tidak mungkin ia tidak bisa lagi berkarya di sini gara-gara ia tak bisa menahan emosi.
Hari-hari berikutnya mulai dirasakan repot oleh Alana. Tenggat waktu seolah-olah berlari mendekatinya. Bahkan sepertinya semua pekerjaan memiliki tenggat yang sama. Manuskripnya sendiri, jadwal Kristof, suasana kantor yang mulai goyah dengan berbagai tenggat, serta suara Kristof yang akhir-akhir ini sering meninggi. Ada saja hal yang membuatnya marah atau tidak seperti harapannya. Kadang kala hal ini membuat Alana serba salah. Belum lagi pesan-pesan Dean yang tiba-tiba sering bermunculan di masa-masa menjelang makan siang atau jam pulang kantor. Secara irasional Alana berpikir kalau seolah Dean bari saja menemukan kembali nomor ponsel Alana yang sebelumnya terselip entah di mana. Namun Alana tidak butuh beban lebih banyak. Bos tidak resmi yang uring-uringan sudah cukup menjadi pemberat bahu dan pikirannya. Sementara ini ia pikir Dean bisa menunggu.
Setelah secangkir coklat hangat di sore yang hujan lebat, Alana merasa hidupnya jauh lebih nyaman. Suara Kristof hari ini belum terdengar tinggi, mungkin tekanannya juga sudah berkurang seiring selesainya beberapa tugas. Sampai kemudian suara beratnya memanggil Alana untuk bergabung di mejanya. Entah mengapa Alana merasa ini awal dari tugas yang lebih berat."Duduklah. Kita harus membicarakan jadwalku minggu depan, beberapa penyesuaian yang sudah kau buat."
"Ada yang salah Pak?" tanya Alana khawatir.
"Nggak, aku cuma ingin kamu kenal anakku. Dia kelas 1 SD, dan cukup kritis untuk anak seumurnya. Sore ini aku akan menjemputnya di Bandara sekalian mengantarkan ibunya berangkat. Setelah itu, aku langsung kembali kemari dan kau bisa kenalan dengan putraku. Namanya Grady"
"Lalu jadwal-jadwal lainnya Pak? Meeting dengan kantor pemerintah dan industri makanan?" tanya Alana merasa belum paham kepentingan pembicaraan ini. Dia berusaha menanyakan sesuatu yang penting agar dirinya tidak merasa sia-sia datang ke meja bosnya.
"Kalau Grady sudah kenal kamu, kamu bisa menjemputnya dan mengajaknya kemari. Aku akan ajak dia makan seusai meeting." jawab Kristof santai. Nampaknya urusan menjemput anaknya adalah poin penting dalam pembicaraannya ini.
"Tapi itu kan lunch meeting, Pak," tanya Alana kembali, masih tidak mengerti.
"Kalau begitu kamu ajukan jamnya barang 30 menit, pastikan semua siap dan dimulai tepat, jadi kita bisa selesai tepat sebelum jam makan siang." Lalu Kristof berdiri, merapikan kertas-kertas di hadapannya, membopong tasnya dan beranjak. "Aku jemput Grady dulu, jam 17 aku kembali dan kau masih di sini".
Dan tinggallah Alana dengan mulut setengah terbuka, kebingungan, dan hampir tidak percaya dengan kelakuan bosnya. Begitu egois dan begitu seenaknya sendiri. Tapi Alana tetap di tempatnya, merasa bahwa beranjak pulang bukanlah pilihan bijaksana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomansaCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?