Kristof mengeluarkan mobilnya dari parkir bawah tanah dan berharap pikirannya lebih tenang daripada yang ia alami saat ini. Sebenarnya ia kasihan dengan Alana, yang datang entah dari mana dan terseret dalam kemelut pikirannya. Kristof bahkan tidak mengerti mengapa ia berpikiran untuk menyuruh Alana menjemput putranya minggu depan alih-alih menggeser jadwal pertemuannya. Janji temu dengan Granada selalu membuatnya kacau, meskipun perpisahan itu sudah setahun lebih berlalu.
Bandara tampak santai dengan mobil-mobil pengantar. Tampak Granada bersama putranya menanti di sekitar kios-kios tempat makan cepat saji di halaman keberangkatan. Grady tampak lebih besar, mungkin sudah lebih tinggi juga. Namun ia tampak kurus, atau mungkin tubuh tingginya yang memberi kesan lebih kurus. Wajah anak itu datar, tidak seperti dulu yang begitu ceria dan antusias. Setenang apapun, sebuah perpisahan selalu mengorbankan anak.
Lain halnya dengan Granada, dengan terusan yang membentuk tubuh, ia tampak lebih seksi. Pinggulnya semakin terbentuk indah setelah melahirkan Grady. Wajahnya yang mungil dan kulitnya yang eksotis memang memikat, tapi Kristof tak lagi terpedaya. Pengalamannya sudah cukup menyakitkan, tidak pantas untuk sedikit pun diulang. Ada sedikit kelegaan di wajah Kristof melihat Granada menunggunya sendirian. Kristof tahu betul kalau liburan kali ini dihabiskan mantan istrinya dengan kekasih barunya. Seorang fisioterapis yang membantunya lepas dari derita nyeri ischialgia. Mungkin saja selama terapi Granada mendapatkan pelayanan lain, yang mestinya tidak ia terima karena statusnya sebagai seorang istri. Tapi itu tidak lagi menyakitkan untuk Kristof. Hatinya hampa, hampir mati rasa.
Semuanya berawal dari masa remaja Kristof yang nakal dan penuh petualangan. Kristof dengan darah separuh Norwegia selalu tampak menonjol dan tampan. Ia pun cerdas, selalu di atas rata-rata. Kristof pun bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan, termasuk perempuan.
Granada sendiri adalah perempuan berada yang selalu berada di bawah aturan ibunya. Bahkan pakaian dalam pun waktu itu dipilihkan ibunya. Granada begitu ayu, tenang, dan penuh misteri. Mungkin itu juga yang menarik untuk Kristof, sebuah tantangan dari perempuan yang tenang dan tampak begitu mudah. Hingga mereka sepakat untuk menikah tepat setelah Kristof lulus sarjana.
Pasangan yang begitu muda ini pun kemudian tinggal di Belanda karena Kristof melanjutkan studinya. Selama itu, Granada tinggal di rumah dan melakukan kebiasaan layaknya sosialita. Banyak perempuan Indonesia yang menjadi sahabatnya, namun lebih banyak yang menjerumuskannya ketimbang memberinya pengaruh positif. Hasilnya, tak sekali saja Kristof mendapati istrinya punya pacar atau teman dekat. Tapi Kristof selalu memaafkannya, berdalih itu harga yang harus ia bayar karena kesibukan studinya. Ia selalu berusaha menutupi hal itu dari keluarganya. Dan Granada tak pernah berhenti meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Sampai dengan hadirnya Grady. Meskipun Kristof tahu bahwa Grady bukan putra kandungnya, tapi ia sangat menyayangi anak itu. Ia menyimpan harapan bahwa Grady bisa membawa kebahagiaan yang sesungguhnya dalam keluarga mereka.
Namun ternyata Granada tak pernah berpikir demikian. Tidak ada yang berubah dari kelakuan Granada, masih dengan kebiasaannya hura-hura dan sibuk di luar rumah. Kristof yang iba pada putranya tidak ingin memperpanjang masalah. Ia rawat sendiri putranya semampu yang ia bisa. Dengan segala keterbatasannya sebagai laki-laki, ia berusaha keras membesarkan Grady. Dengan kedekatan itu, Grady merasa sedih karena harus tinggal dengan Ibunya. Ia ingin sekali tinggal dengan ayahnya, namun pengadilan tidak memutuskan demikian. Untung saja pengacara Kristof berhasil memasukkan klausul bahwa hak asuh Grady akan menjadi milik Kristof jika Granada menikah dengan orang lain. Dan Kristof sangat mengharapkan itu.
"Halo, Jagoan," sapa Kristof di telinga putranya. Grady langsung menghambur ke pelukannya begitu melihat langkah panjang Kristof.
"Halo Ayah," balasnya. "Aku nggak sabar tidur di tempat tidur ayah," katanya. Kristof tersenyum dengan rasa haru menyesali hatinya. Betapa ia jauh begitu merindukan putranya.
"Hai, Nada, kau cantik," kata Kristof berbasa-basi. "Apa kau liburan sendiri? Biasanya selalu ada Mami atau asistenmu," kata Kristof datar. Kristof hampir seperti bukan pria dewasa. Pria dewasa normal pastilah sudah ingin bermanis-manis memikat Granada yang begitu seksi dan menarik. Tapi kini ia justru tampak memuakkan di mata Kristof.
"Kali ini tidak sepenuhnya liburan, Kristof, aku ada pekerjaan juga di sana."
"Pekerjaan? Kau bekerja sekarang?" Kristof agak terkejut, tapi ia berusaha menguasai suaranya sehingga tidak terdengar menuduh atau memicu pertengkaran di depan Grady. Namun melihat Granada tidak kunjung menjawab, Kristof langsung menyahuti, "Aku ikut senang kau bekerja sekarang. Semoga bermanfaat untukmu dan Grady."Tidak banyak yang bisa mereka berdua bicarakan. Keduanya sudah menjadi orang asing yang hanya memikirkan urusan mereka masing-masing. Tapi sebagai lelaki yang bertanggung jawab, Kristof mengiringi mantan istrinya menuju pintu keberangkatan. Sampai akhirnya mereka berhenti sejenak dan Granada bersiap untuk mengatakan sesuatu.
"Aku mengakui kalau pengacaramu sangat lihai. Grady menjadi milikmu jika aku menikah lagi," meski pelan, Kristof bisa merasakan kebencian dalam suara Granada. "Tapi setelah kupikir lagi, mungkin ada baiknya juga dia bersamamu. Jadi kau juga tak perlu repot-repot bertemu denganku."
"Nada, kau tetap ibunya. Kau bisa mengunjunginya kapan pun selama Grady mau. Aku takkan pernah menghalangi."
"Mungkin aku saja yang tidak mau." Lalu sambil mencium kening Grady, Granada melangkah masuk dan melambai sekilas sekedar untuk kesopanan saja. Tak ingin larut dalam suasana yang tak enak itu, Kristof memeluk putranya dan mendengar tawa riang Grady yang sudah lama ia rindukan.Kristof menyempatkan dirinya untuk makan siang dengan putranya. Sambil makan, mereka bercerita apa saja rencana mereka dua minggu ke depan. Grady paham sejak dulu bahwa ayahnya harus bekerja dan belajar. Ia sangat suka menemani ayahnya belajar, seperti halnya ayahnya suka menemaninya bermain. Tak lupa ia ceritakan kalau selama beberapa bulan terakhir, Grady tidak tinggal dengan ibunya.
"Nenek baik padaku, Ayah. Apalagi sekarang aku tinggal dengan nenek, jadi setiap hari aku main dengan nenek." Nenek Grady memang sangat baik. Orang yang entah mengapa Kristof tidak bisa berhenti menghormatinya. Orang yang mengingatkannya pada kasih sayang ibunya sendiri. Orang yang kadang nyinyir dan tidak begitu menyukainya namun bisa memahami langkah-langkahnya. Ada kalanya Kristof merindukan perempuan tua yang glamour itu.
"Grady tidak tinggal di Arcana dengan Ibu?" tanya Kristof heran. Arcana adalah cluster tempat tinggal mereka dulu.
"Kata nenek lebih mudah antar Grady ke sekolah kalau Grady tinggal di sana." jawab Grady polos. Tapi Kristof menyadari bukan itu alasan sesungguhnya.
"Lalu Ibu juga tinggal di rumah Nenek bersama Grady?" gelengan Grady meyakinkannya bahwa memang alasannya tidak sesederhana itu. Apalagi ketika Grady tampak tidak seceria tadi.
"Ayah, Grady boleh tinggal dengan ayah terus kan?" tanya Grady terdengar begitu khawatir.
"Boleh, Grady, tapi harus minta ijin Ibu dulu. Biar Ibu tidak khawatir kalau Grady tinggal dengan ayah. Kalau Ibu bilang boleh, Grady bisa tinggal dengan ayah di Permata." jawab Kristof. Nampaknya ia cukup berhasil menenangkan Grady. Lalu Grady menambahkan lagi, "Ibu pasti bolehkan Grady tinggal dengan ayah. Ibu tidak khawatir Grady tinggal dengan ayah."
"Kenapa Grady bilang begitu, Nak?" tanya Kristof penasaran. "Mungkin saja Ibu kesepian kalau Grady tinggal dengan Ayah. Ibu jadi sendirian." Lalu Kristof melirik gelengan mantap putranya. Rambut lembutnya yang bergerak-gerak memicu belaian sayang darinya.
"Ibu tidak kesepian, Ayah. Grady tinggal dengan Nenek juga dibolehkan Ibu kok, kan Ibu tidak tinggal sendirian. Teman Ibu sering datang, Ayah. Banyak. Kadang-kadang juga menginap menemani Ibu."
"Tante Clara sama Tante Ratna ya, yang sering menginap?" Kristof ingat betul dua sosialita yang jadi teman Granada sejak SMA. Mereka begitu kaya sampai menyempatkan datang ke Belanda setiap beberapa bulan hanya untuk berkumpul, bergosip, dan berbelanja. Mereka tak juga berubah, bahkan setelah perkawinan mereka yang entah kedua atau ketiga.
"Iya kadang-kadang Tante Clara dan Tante Ratna main ke Arcana. Tapi yang sering Om Kalif yang ke rumah." Yah, terjawab sudah rasa penasaran Kristof. Namun ia bahagia karena Grady bisa tinggal dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?