Kristof mengusap dahinya yang sebenarnya tidak apa-apa. Dia merasa lelah dengan pekerjaan yang seolah tak habis-habisnya. Laju bertambahnya pekerjaan hampir sama dengan berlalunya detik demi detik yang mengantarkannya pada hari yang baru, yang artinya semakin dekat dengan pernikahannya. Ia heran betapa hari seolah berlari, meskipun ia sebenarnya juga merasa senang pernikahannya semakin dekat. Sudah sejak lama ia ingin menikahi Alana, mungkin hampir setahun sebelum Alana setuju dilamar. Ia merasa tenang dan didukung oleh Alana, ia juga tidak merasa terbebani karena Alana cukup mandiri. Alana juga cukup dewasa, memahami posisinya sebagai duda dengan anak dan mantan istri yang tidak biasa. Kedewasaan Alana juga disadari Kristof dari persahabatannya dengan Airlangga, meskipun ia tidak suka. Dan harus ia akui, Airlangga tak pernah melakukan sesuatu yang mengancam hubungan mereka secara nyata dan sengaja. Airlangga melakukan sesuatu memang demi persahabatannya dengan Alana. Kristof juga tahu kalau setelah lamaran, Alana dan Airlangga juga jarang berkontak. Mungkin Airlangga tahu bagaimana menempatkan dirinya di antara Alana dan Kristof, dan Kristof menghormati Airlangga untuk itu. Dan mungkin ini yang dibilang jodoh, ia melihat Airlangga sudah berdiri di ambang pintu ruangannya.
"Mau ketemu saya?" tanya Kristof formal. Tapi sepertinya El memilih bersikap santai.
"Siapa lagi?" katanya tak acuh. "Boleh masuk?" Kristof menggerakkan dagunya ke arah sofa tamu. El duduk dan melihat tumpukan berkas sambil lalu. "Pekerjaan kejar tayang ya? Serius mau balik ke kantor pusat?"
"Iya, kami nggak bisa sekantor setelah menikah. Mungkin aku kembali kalau Alana mau lebih fokus mengajar di universitas, pindah homebase," kata Kristof menjelaskan. El merasa informasi itu tak terlalu penting.
"Sebulan lagi ya," kata El seolah itu berarti banyak. Kristof mengangguk. Mencoba meraba ke mana arah diskusi El kali ini. "Sampai mana persiapannya?"
"Alana yang mengurus semuanya, kenapa? Pasti bukan itu yang membuatmu datang kemari," tebak Kristof jitu. El tersenyum sebelah. Dia tahu Kristof mulai paham apa maksudnya, tapi belum sepenuhnya.
"Kau sudah merasa menang ya dalam kompetisi ini?"
"Kamu memang kompetitif, tapi tidak cukup cepat dan strategis," ujar Kristof tanpa ekspresi. Ya, sebenarnya dia memang sudah merasa menang, meskipun belum sepenuhnya. Tiba-tiba saja suasana di ruangan itu jadi beku. Keduanya diam dengan pikiran masing-masing, namun saling melempar tatapan penuh persaingan.
"Jadi, Alana tidak keberatan dengan perjanjian itu?" tembak Airlangga langsung. Ia bisa melihat sekilas panik dalam kilatan sinar mata Kristof. Buat Airlangga, itu sudah mampu menjawab pertanyaannya. Tapi dia tetap sabar. Bukan waktunya menyerang.
"Itu bukan urusanmu. Alana sudah mengiyakan lamaranku, itu sudah lebih dari cukup," jawab Kristof percaya diri.
"Hmm... kalau jawaban Alana sudah cukup buatmu, artinya dia boleh tahu soal perjanjian itu meski bukan darimu kan," ujar El dingin. Sorot matanya yang tajam membuat suasana ruangan itu semakin beku. "Kau tak peduli dengan pendapatnya soal itu?" Jujur, nada suara El terdengar begitu licik, seolah ia menyembunyikan rencana di balik itu. Kristof sama sekali tak bisa membacanya.
"Kamu tidak punya hak memberitahunya soal itu!" kecam Kristof marah. El sekali lagi tersenyum.
"Aku tak pernah berpikir memberitahunya soal itu, itu bukan urusanku. Tapi apa kamu pernah memikirkan bagaimana perasaan Alana kalau tahu soal perjanjian itu? Kamu nggak tahu ya kalau Alana juga menyayangi anakmu? Kamu nggak pernah berpikir ya, kalau berlakunya perjanjian itu juga akan menyakiti Alana???" berondong El pada Kristof. Kali ini El memang marah, bukan soal Kristof menyembunyikan perjanjian itu dari Alana, tapi kemungkinan bahwa Alana tersakiti yang membuatnya marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomantizmCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?