Bersenang-senang untuk Al

495 59 3
                                    

Pagi ini El sengaja berangkat agak pagi dan berjanji mengajak Alana bertemu sebentar sebelum jam kantor. Mereka bahkan janji bertemu di kedai roti bakar pagi di seberang gedung lembaga. El juga sengaja tidak sarapan karena ingin sarapan di sana. El sudah melihat Alana duduk dan membaca ponselnya ketika ia datang. 

"Ada apa El?" tanya Alana heran karena El mengajaknya bertemu pagi-pagi. Alana sampai harus beralasan pada Kristof yang super-curiga dengan ajakan El. Tanpa menjawab pertanyaan Alana, El menyuruh Alana makan dulu. Katanya akan tidak enak kalau nanti-nanti ia makan. Alana menurut saja. 

"Aku dititipi seseorang untuk menyerahkan ini. Kamu kenal?" El menyorongkan sebuah undangan cantik dan mewah kepada Alana. Sepertinya undangan pesta pernikahan. Di sampulnya tertera nama Alana sebagai penerima. Dari inisial yang terukir manis di undangan itu Alana tahu siapa yang menikah. Meski dengan hati hampa, Alana membuka undangan itu dengan senyuman tipis. 

"Kok kamu bisa antar undangan ini padaku? Siapa yang kamu kenal?" tanya Alana tanpa menjawab pertanyaan El. 

"Alodita itu sepupuku. Sepupu jauh, tapi karena setelah ibuku meninggal mamanya Alodita yang merawatku sementara waktu, kami jadi cukup dekat. Kamu kenal dia juga?" Alana menggeleng. Lalu menunjuk nama mempelai laki-laki dan berkata...

"Ini mantanku. Sebenarnya sahabat lamaku, lalu kami pacaran cukup lama, lalu berpisah beberapa waktu lalu."

"Kamu nggak papa?" tanya El tiba-tiba. Terdengar penuh perhatian meskipun raut wajahnya lebih cocok dibilang dingin. Alana mengangguk dan tersenyum. Alana bahkan sempat menceritakan soal Deano pada El. Dia pernah cerita, tapi tidak selengkap kali ini dan Alana tak menyebut nama Deano. "Mungkin sebaiknya memang begitu. Pacaran lama tidak menjamin dia adalah pasangan hidupmu," tambah El sok bijak. Tapi wajahnya serius kali ini. 

"Pernah ada yang bilang kamu cakep kalau serius?" tanya Alana tiba-tiba. Alana memandang El sambil tersenyum dan El terkejut, tapi untung saja sikap dingin El berhasil menutupi rasa terkejutnya. 

"Nggak.. biasanya orang cuma bilang aku cakep, tanpa syarat apapun..." jawabnya pede. Tapi ekspresinya tetap dingin. Alana tertawa. Bingung antara mau mengiyakan, menolak, atau sekedar memutar bola mata. "Kamu bakal datang?" tanya El akhirnya. Sebenarnya El tak mau menanyakan ini, tapi dia tak mampu mengekang rasa ingin tahunya. 

"Iya lah.. nggak ada alasan untukku nggak datang. Aku kenal keluarganya, orang tua dan kakaknya, dan kami kenal sudah lama, jadi malah nggak enak kalau aku nggak datang."

"Sama Pak Kristof?" Alana mengangguk menjawab pertanyaan El. Iyalah, sama Kristof, masa sama El, pikir Alana. "Baguslah.. jangan datang sendiri." 

"El, I'll be fine. Everything has just ended some time ago. Now I will come as one of his bestfriend." El tersenyum singkat seperti biasanya, meskipun ia masih bisa merasakan sedih yang menggurat hati Alana. 

Sehari sebelum acara pernikahan Deano, Alana dan Kristof duduk berdua di sofa ruang tengah Alana. Kristof membaca koran dan Al bersandar di lengannya sambil membaca artikel di tabletnya. 

"Kamu serius besok mau datang?" tanya Kristof tiba-tiba. Alana mengangguk dan Kristof bisa merasakannya. "Nulis buku tamu trus pulang?" 

"Salaman dulu lah.. ga enak sama orang tuanya Deano," jawab Alana yakin. 

"Serius?" Alana kembali mengangguk. "Berarti salaman juga sama Deano dan istrinya dong.." 

"Iya lah, masa mau dilewati gitu aja," jawab Alana sambil tertawa. "Santai aja deh Mas, aku biasa aja kok."

"Kamu kan kenal dia lama banget, sejak awal kuliah, putus juga barusan, nggak mungkin lah biasa aja," protes Kristof sanksi. 

"Justru karena dulu kami sahabatan jadi ya kaya balik jadi teman lagi aja," kata Alana. Sebenarnya ia agak ragu, pasti ada bersit rasa sakit dalam hatinya, tapi ia tepis. "Teman yang mending abis ini nggak ketemu lagi," kata Al sambil nyengir. Kristof merangkulnya, mengusap dan mencium kepala Alana. Dia tahu Alana gadis yang kuat. Satu hal yang dia heran, perasaannya sama sekali tidak terganggu ketika bicara tentang mantan Alana. Hal ini tidak terjadi jika mereka bicara soal El. Selalu saja ada rasa insecure kalau soal El. 

Hari perhelatan pun akhirnya hadir. Alana bersiap sebaik mungkin tanpa harus berlebihan. Kristof sudah cukup melejitkan rasa percaya dirinya. Ia pun merasa memakai kostum yang cukup pantas untuk perhelatan mewah ini. Tampaknya Alodita adalah anak tunggal dan orang tuanya cukup kaya, sehingga pernikahan ini dibuat sebegitu megah dan elegan. Musik lembut string kuartet dan saxophone tunggal pun menambah kemewahan acara. Alana meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak mengotori harga dirinya dengan meneteskan air mata. Sepanjang antrian untuk menyalami pengantin dan keluarga pun Kristof terus menggenggam tangan Alana, berusaha menyusupkan kekuatan yang pastinya Alana butuhkan. Entah Alana sadari atau tidak. 

Saat turun dari pelaminan usai berjabat tangan, Alana menangkap sosok yang akrab untuknya. Orang tua El. 

"Malam, Cantik," sapa Mama El, tak lupa beliau juga menyalami Kristof. "El sama ayahnya seperti biasa berburu makanan. Mereka kompak kalau sudah begitu," kata Mama El tanpa Alana menanyakannya. Lalu Mama El mempersilakan Alana dan Kristof untuk menikmati hidangan.

Selagi mengambil hidangan, Alana bertemu El dan Ayahnya. El sempat mengenalkan Kristof juga dengan ayahnya yang kemudian membuat mereka asyik sendiri berbincang soal bisnis dan kebijakan pemerintah untuk investasi. 

"Tuh, pacarmu cocok kan ngobrol sama Ayahku, mereka sepantaran soalnya," goda El dengan wajah serius. Alana tergelak dan bersyukur tidak tersedak es buah. Sayang, enak soalnya. "Mau nyanyi?" ajak El tiba-tiba. Terus terang Alana terkejut. Kemudian dia ingat kalau dia dan Deano dulu punya lagu favorit. Mungkin dia perlu memberi perpisahan yang pantas untuk lagu-lagu itu. El setuju ketika Alana membisikkan sesuatu dan membimbing Alana ke atas panggung. 

El bersiap di belakang piano dan memberikan intro. Alana memejamkan mata. Mengumpulkan sebaris kenangan yang tidak sedikit, menimbunnya dan membakarnya bersamaan dengan lantunan lagu Only Hope dari Mandy Moore, salah satu soundtrack film A Walk to Remember. Alana mengalunkannya dengan penuh perasaan, namun tetap menjaga emosinya tetap terkendali. Sesekali Alana melirik ke arah El yang kemudian mengangguk atau memejamkan mata sejenak. Menguatkan Alana. Seolah berbisik, aku akan selalu di sini, menjagamu dan menjadi temanmu. Entah apa yang dirasakan Deano, Alana sudah tidak peduli. Alana melepaskan penatnya seiring berakhirnya lagu. Lalu tiba-tiba El menyambungnya dengan lagu lain dari film yang sama, Someday We'll Know, lagu duet yang kemudian mereka bawakan. Lagu yang ceria ini seolah ingin menyatakan kalau Alana bisa menerima semua ini dengan baik, bahwa suatu saat mereka akan tahu mengapa mereka tak bersama pada akhirnya. Permainan piano El yang lincah membuat seluruh tamu ikut bergoyang meskipun mungkin tak tahu lagunya. Dan satu hal, Alana merasa sangat terhibur. Dan seolah malam itu adalah malam yang benar-benar mengakhiri kisahnya dengan Deano. 

Satu hal yang mungkin lepas dari Alana, seseorang di tengah para tamu undangan sedang terbakar cemburu meskipun menikmati penampilannya. Siapa lagi. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang