Tempat Makan Baru

2.1K 171 8
                                    

Lucu. Alana berpikir ini lucu. Dari namanya saja sudah lucu, "Tempat Makan Baru". Benar saja, untuknya, ini memang tempat makan baru yang diperkenalkan El. Tempatnya seperti rumah biasa dengan ruang tamu yang luas, banyak kursi sederhana mengelilingi meja-meja ukuran sedang yang di atasnya persis seperti meja makan di rumah. Ada beberapa piring lauk, sendok dan garpu, saus dan kecap, beberapa macam sambal dan sekotak kerupuk. Mereka mengambil makanan di salah satu sudut dengan rak transparan yang memuat nasi dan segala macam sayur lalu mengambil salah satu tempat duduk. Rasanya sangat bertolak belakang dengan cita rasa ruang makan minimalis ala pantry yang sekarang ini jadi trend. 

"Seperti di rumah ya," kata Alana. El asyik makan, jadi dia hanya mengangguk. Alana jadi tahu kalau El makan cukup banyak. El tampak sangat menikmati makanannya, wajahnya menjadi sangat berbeda saat ia makan. Ia bukan lagi cowok tampan yang selalu jaga image dan membangun dinding di sekitar mukanya. El jadi seperti anak-anak. Anak-anak yang sedang menikmati masakan ibunya.

El beranjak dan membayar makanan mereka. Alana bersikeras untuk membayar sendiri, tapi setelah tahu jumlahnya, ia jadi tidak keberatan. Makanan di situ sangat murah!, pikirnya. Ketika Alana memutar tubuhnya ke arah pintu keluar, tangannya diraih dan ditarik seseorang ke arah berlawanan. El menggandengnya menuju pintu di tengah-tengah yang mengarah masuk. Alana bingung, tak tahu kalau pintu masuk dan keluar di warung sederhana ini dibedakan. 

"Wow... " desah Alana tanpa sengaja. El tersenyum menoleh padanya. "Ternyata di balik warung murah dan sederhana ini sebuah co-working space yang keren!" El mengangguk. 

Di hadapan mereka terbentang sebuah ruangan cukup luas yang secara samar dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pinggir kanan ada ruangan bersekat kaca memanjang ke belakang dengan bilik-bilik baca sederhana yang berurutan. Di bagian tengah ada meja-meja untuk 4-6 orang untuk belajar dan diskusi ringan, serta di bagian kiri ada deretan perangkat komputer yang cukup canggih. Alana mendongak dan semakin takjub karena separuh bagian dibuat mezannine besar yang menyerupai perpustakaan. Tempat ini sangat modern, tenang, profesional, dan Alana langsung jatuh cinta. 

"Kamu sering kemari?" tanya Alana.

"Ini tempat lemburku. Biasanya aku siapkan dokumen-dokumen ke awan dan di sini aku akses. Aku bahkan pernah berangkat ke kantor dari sini akibat semalaman bekerja di sini," ujar El sambil tertawa. "Itu pertama kali aku ke kantor tanpa mandi dan memakai pakaian kemarin." 

"Ya, dan orang-orang akan bergosip kalau kau tidur di rumah pacarmu," ujar Alana bercanda. Mau tak mau ia menjadi sarkastis dengan gosip yang ia alami sekarang. 

"Kapan-kapan kau bisa bekerja di sini kalau kau mau," kata El. 

"Aku perlu reservasi?" tanya Alana begitu berminat. 

"Untuk kali pertama mungkin aku yang jadi tiketmu," kata El. Alana tersenyum. Ia merasa suasana antara dirinya dan El menjadi jauh lebih cair. Ia seperti sudah berteman dengan El. 

"El, kamu biasa menjadi tiket banyak perempuan ya.. " goda Alana spontan. El tersenyum mendengarnya. 

"Hmm.. kalimat itu terlalu menuduh. Kenapa memangnya kalau seperti itu?" Kata El pelan. Ia sangat lihai menyisipkan rona malu-malu di wajahnya. Alana tertawa saat menyadari kalau mungkin saja El sedang menggodanya. 

Hari-hari kemudian berjalan biasa saja, mungkin karena Alana sudah terbiasa dengan gosip yang sepertinya semakin kejam. Beberapa orang bahkan pernah bertanya secara langsung padanya soal gosip-gosip itu. Seperti Hilda, "Kamu benar nggak pacaran sama Erlangga?"

"Memangnya informasi itu sangat penting ya?" balas Alana dengan pertanyaan. 

"Ya, Erlangga kan termasuk bujangan paling diminati di gedung ini. Banyak yang sedang mendekatinya," jawab Hilda. 

"Lalu apa urusannya denganku? Kalau perempuan-perempuan itu memang berminat, mereka bisa tanya sendiri pada El kan?" 

"Masalahnya kamu selalu bilang begitu tapi kamu sering pergi keluar sama El, orang-orang jadi pada keki kan!" ujar Hilda juga keki. 

"Aku sering keluar sama El? Siapa yang bilang begitu?" tanya Alana, kini mulai tertarik dengan pembicaraan Hilda. Untung saja Kristof sedang keluar, jadi Hilda bisa leluasa mengobrol dengan Alana tanpa Alana perlu meninggalkan komputernya. 

"Banyak lah," timpal Hilda. "Si Anita dari bagian logistik itu pernah melihatmu di toko buku dengan El. Lalu si Nikka bagian keuangan juga melihat El makan denganmu malam-malam. Dan masih ada beberapa orang lain yang melihatmu bersama dengan El di luar kantor. Bagaimana mereka tidak curiga?" 

Alana terdiam. Beberapa minggu terakhir ini tanpa sadar ia memang beberapa kali menghabiskan waktu dengan El. Soal toko buku itu memang sebenarnya ia tak sengaja bertemu dengan El di toko buku, tapi kemudian mereka pulang bersama dan makan malam sebelum El mengantarnya pulang. Lalu ia beberapa kali datang ke tempat makan baru dan mengerjakan tulisannya di sana. Pernah sekali waktu Alana datang dan ada El di sana, juga sedang bekerja. Jadilah mereka satu meja. Tapi hanya itu. Ia hanya kebetulan bersama dengan El. Atau memang itu semua cuma kebetulan?

Belum selesai rasa jengah Alana dengan segala gosip dengan pemuda bagian hukum itu, satu kepenatan lagi bertambah ketika ia melihat Dean ada di lobby gedung lembaga. Rasa jengah itu semakin pekat melihat senyuman Dean. Senyum itu tampak tulus, tapi Alana tahu pasti ada sesuatu di baliknya. 

"Hai, ada apa?" tanya Alana langsung saja. Dean mengerutkan kening berharap tampak lucu dan menarik, tapi Alana tak mendapatinya demikian. "Terus terang aku capek dan ingin segera pulang."

"Kalau begitu early dinner aja yuk, aku punya tempat makan baru. Akan lebih nyaman bicara denganmu di sana." Yah, Alana sebenarnya malas, tapi ia tak punya kekuatan menolaknya. Bagaimana pun juga mereka sudah lama bersama. Kalau pun mereka tidak menemukan jalan akhir bersama-sama, Alana pastinya akan tetap menjalin hubungan baik dengan Dean. 

Tempat itu bukan tempat baru untuk Alana, tapi ini pertama kalinya ia datang dengan Dean. Mereka makan hidangan biasa, minuman biasa, dan cemilan biasa. Alana sudah sangat tidak nyaman ketika sudah hampir sejam tapi belum jelas apa yang akan Dean bicarakan. 

"Alana, kita menikah yuk!" ujar Dean tiba-tiba seolah itu hanya ajakan nonton film yang bahkan tidak sengaja dilontarkan.

"Kupikir itu tidak semudah diucapkan seperti ini, Dean," jawab Alana akhirnya, setelah terdiam hampir sekitar sepuluh menit. 

"Tapi kita sudah lama bareng-bareng, keluargamu pasti juga sudah menginginkan kita menikah," timpal Dean. 

"Apakah itu alasanmu mengajakku menikah? Keluargaku?" tanya Alana. Entah bagaimana suara Alana jadi terdengar dingin. "Keluargaku bahkan tak pernah menanyakan itu karena mereka tahu itu urusan pribadiku."

"Kupikir itu adalah kalimat yang sudah kau tunggu-tunggu sejak lama, Alana," ujar Dean. Alana tersenyum sinis mendengarnya. 

"Dean, mungkin empat atau lima tahun yang lalu aku sangat menantikan kata-kata itu. Aku bahkan pernah bertanya kapan hubungan kita akan berubah suasana, berubah status, tapi waktu itu kau menjelaskan padaku bahwa kita masih punya cita-cita yang lain." Alana berhenti untuk menghela nafas. Ia begitu terkejut dengan kata-kata Dean, dan anehnya dia tidak merasa senang. "Aku berusaha percaya bahwa kita masih punya cita-cita. Dan kita memang menggapainya. Aku sudah selesai S3, kau sudah spesialis dan punya klinik, dan kau seolah menganggap aku lupa dengan harapanku terhadapmu."

"Aku tak pernah menganggapmu lupa!" jawab Dean pelan tapi tegas. 

"Tapi aku juga tak pernah lupa! Aku hanya tak ingin kau lari karena aku menanyakan hal itu. Tapi ternyata aku salah. Aku bahkan tak menemukan keinginan itu lagi." Dean terkejut dengan kalimat terakhir Alana. Tiba-tiba ia merasa bersalah atas sesuatu yang tak pernah Alana ketahui. Dan Dean ingin segera mengakhiri rasa bersalah itu. 

"Alana, maafkan aku," kata Dean setelah keheningan yang cukup lama. Suaranya pelan dan agak terseret. "Aku pernah tak setia padamu," lanjutnya. Dean memandangi Alana dan mencermati respon perempuan itu. Alana masih diam. Ekspresinya datar seolah kata-kata Dean bukan sesuatu yang mengejutkannya. Lalu Alana membuka mulutnya. 

"Aku tahu. Aku merasakannya. Dan kamu tak perlu menjelaskannya." Dean terhenyak. Alana yang datar seperti es, dingin, kelam, namun menusuk dan mematikan. Alana beranjak lalu keluar tanpa sepatah kata pun. Dean pun tak punya kuasa menahannya.

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang