Sudah tiga bulan Kristof menempati kantor barunya. Ruangan yang jauh lebih besar dibandingkan ruangannya dahulu, tapi entah mengapa tidak kunjung terasa nyaman untuknya. Mungkin ini karena pekerjaannya. Ia seorang analis kebijakan, bukan seorang manajer. Pekerjaan yang penuh dengan tanda tangan ini bukanlah hal yang ia harapkan, meskipun ia memperoleh ruang yang lebih luas dan gaji yang jauh lebih besar dengan bonus institusi setiap sebuah proyek berakhir gemilang. Dan untuk lembaga penelitian satu ini, hampir tak ada proyek yang tidak berakhir gemilang. Tapi tetap saja, passion-nya adalah analisis.
Beberapa hari terakhir ini Kristof disibukkan dengan pergantian sekretaris. Sudah tiga orang sekretaris untuk tiga bulan ini. Sekretaris pertama cuti hamil dan memutuskan untuk pindah mengikuti tugas suaminya. Sekretaris kedua hanya bertahan tiga minggu karena tidak tahan dengan ritme kerja Kristof yang serba cepat, tepat, dan teliti. Salah satu alasan sekretaris itu mengundurkan diri adalah "tidak dapat melakukan update status Facebook lebih dari dua kali sehari", gara-gara Kristof memarahinya habis-habisan setelah memergokinya menekuri Facebook 5 kali dalam sehari. Mungkin Kristof takkan semarah itu kalau ia tidak melewatkan janji temu dengan seseorang dari pemerintahan gara-gara keinginan eksis yang begitu tinggi dari sang sekretaris. Lalu sekretaris ketiga ia pindahkan ke divisi lain karena perempuan itu tidak mampu mengalihkan pandangannya dari Kristof selama jam kerja. Kristof tidak butuh seorang wanita yang memujanya di ruangan tempatnya bekerja. Ia butuh partner untuk bekerja. Hingga ia memutuskan untuk mencari laki-laki saja sebagai sekretarisnya. Dan sampai seminggu ini, belum ada satu pun pelamar, padahal ia sudah kewalahan dengan pengaturan waktu dan pekerjaannya. Ia benar-benar butuh bantuan. Dan di waktu suntuknya, Kristof pergi duduk di kloset kamar mandi dan sayup-sayup mendengar tangisan seseorang di kamar mandi sebelah. Yah, hal ini membuktikan bahwa dinding yang memisahkan blok kamar mandi pria dan wanita tak cukup berkualitas untuk meredam isak tangis seseorang. Pasti kentut pun akan terdengar dari ruangan sebelah. Kristof meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.
Perlu diakui kalau tampaknya pilihan Kristof untuk berdiam di kamar mandi bukan ide yang cukup baik. Bukan hanya karena ia sebenarnya punya banyak kertas yang butuh ia bubuhi tanda tangan, tapi juga karena suasana di kamar mandi tidak membuatnya lebih baik. Isak tangis itu sebenarnya tidak cukup keras, tapi kamar mandi itu begitu sepi sehingga derit engsel yang kurang oli pun bisa terdengar seperti teriakan kucing yang ekornya terinjak. Sekejap sebelum Kristof memutuskan untuk mengakhiri kontemplasinya yang gagal, isak tangis itu berhenti digantikan suara kloset menyiramkan air. Entah mengapa seketika itu Kristof merasa lega, yakin dengan keputusannya untuk kembali ke ruang kerja dengan semangat baru. Semangat untuk tahu siapa sebenarnya orang yang menangis di kamar mandi wanita.
Keberuntungan tak menghampirinya pagi ini. Ia hanya bisa melihat punggung wanita itu ketika berbelok untuk masuk ke salah satu ruangan peneliti. Ah, pastilah ia salah satu penelitinya. Mungkin tidak terlalu sulit untuk mencari peneliti wanita yang memakai sepatu datar dan celana chino ketika bekerja. Kristof pun melangkah menuju ruangannya di ujung lantai.
"Pak Kristof, bagaimana kalau sementara ini ada asisten yang membantu Bapak untuk penjadwalan dan organisasi berkas?" Saran Amelia dari Personalia menggelitik benak Kristof. Ia memang kewalahan dengan jadwalnya yang mulai berantakan dan surat-surat yang entah bagaimana bisa tiba-tiba ada di mejanya meskipun ia tak punya sekretaris. "Ada salah satu staf peneliti yang sudah berkurang beban kerjanya, dan ia punya pengalaman sebagai manajer riset. Mungkin tidak sama, tapi dia punya pengalaman yang bisa Bapak manfaatkan."
"Baik kalau memang itu yang terbaik. Tapi saya list dulu tugas-tugas yang bisa dia kerjakan. Besok sebelum makan siang saya ada waktu untuk diskusi dengannya." Lalu Amelia berjanji membuatkan janji temu dengan periset itu. Kristof tidak banyak berharap bahwa ini akan membantu, tapi ini patut dicoba.Keesokan harinya, Kristof menyingkirkan sementara kertas-kertas yang harus ia tanda tangani dan menyempatkan diri untuk menyusun kerangka kerja yang harus ia bagi dengan "asisten"-nya yang baru. Ia terus berusaha mengingatkan dirinya sendiri kalau asisten ini bersifat sementara dan ia benar-benar menantikan seorang laki-laki yang cekatan dan penuh inisiatif untuk segera membantunya bekerja. Tepat sebelum jam makan siang, seseorang mengetuk pintu ruangannya.
Kristof tidak terkejut melihat seorang perempuan gemuk (yang sebenarnya tidak terlalu gemuk, mungkin bisa dibilang curvy) masuk ke ruangannya. Matanya agak sipit dan mungkin sedikit lebih sipit lagi dengan sedikit bengkak di matanya, seolah-olah semalaman ia mencucurkan air mata. Kristof hanya bisa menghela nafas, menganggap bahwa keputusannya salah. Bisa jadi perempuan ini malah menambah beban emosional baginya.
"Ibu Amelia mengatakan saya perlu bertemu Bapak pagi ini, ada yang bisa saya bantu, Pak?" sapa perempuan itu. Ada lesung pipit menyembul saat ia tersenyum, mungkin tidak cantik, tapi tampak tulus.
"Ya, saya butuh asisten untuk membantu mengorganisir pekerjaan administratif. Saudara peneliti kan? Tidak keberatan dengan tugas semacam ini?" tanya Kristof berusaha meyakinkan kalau ini bukan pekerjaan yang enak, atau sesuai untuk peneliti. Berharap ia masih bisa lepas dari kekecewaannya yang timbul sebelum waktunya.
"Saya bisa membantu Bapak, tapi mungkin hanya dengan cara yang saya tahu. Cara yang saya gunakan untuk mengorganisasi kegiatan riset saya dengan grup. Bisa saja itu berhasil untuk saya, tapi tidak menjamin berhasil untuk Bapak juga," jawab perempuan itu. Kristof bahkan lupa menanyai namanya. Dan seolah membaca pikiran Kristof, perempuan itu menunjukkan kartu pegawainya, dan memperkenalkan diri. "Oh ya Pak, maaf, saya Alana, dari divisi Biomedik dan kesehatan."
"Ok, Kristof saja. Jadi Alana, boleh saya panggil kamu begitu?" Alana mengangguk dan masih sedikit tersenyum. "Jadi apa rencanamu untuk membantuku?" Alana tampak agak terkejut dengan kalimat Kristof yang lebih santai. Tapi kembali serius dengan tatapan Kristof yang tajam dan menuntut.
"Mungkin pakai aplikasi saja, Pak. Saya bisa masukkan pak Kristof ke aplikasi kalender saya sehingga saya bisa mengingatkan Bapak untuk tugas-tugas yang harus diselesaikan. Ada fitur ceklis juga, jadi setiap ada pekerjaan yang sudah selesai bisa langsung Bapak hapus sendiri melalui ponsel Bapak. Saya bisa mengingatkan Bapak melalui e-mail, pesan suara, atau pesan instan sesuai kenyamanan Bapak." Kristof tampak kurang puas dengan saran-saran Alana. Ini berarti akan ada banyak hal yang bergantung pada perempuan ini. "Bapak bisa menambahkan sendiri kegiatan Bapak, menginformasikan kegiatan Bapak untuk saya jadwalkan, atau saya bisa mencari informasi dari surat-surat atau telepon masuk untuk Bapak. Selama tidak ada jadwal lab, saya bisa duduk di meja sekretaris dan menerima pesan untuk Pak Kristof sembari mengerjakan tulisan saya sendiri. Karena ini hanya sementara, saya bisa bekerja seefisien mungkin asal saya tidak harus berpindah-pindah tempat terlalu sering dalam sehari."
Kristof mengangguk samar, merasa bahwa perempuan ini cukup cerdas untuk mengatur pekerjaannya. Segera setelah dia setuju dengan berbagai pengaturan yang Alana siapkan, Kristof mendengar denting pelan ponselnya. Sebuah aplikasi pengatur kegiatan sudah siap dan terisi di sana. Ia bisa melihat beberapa kegiatan dan seminggu ke depan dan warna-warni penunjuk yang berbeda-beda. Ia tak punya waktu banyak untuk mencari tahu dari fitur bantuan, jadi ia langsung menelepon Alana yang masih mengemasi barang dari kubikelnya.
"Warna biru itu artinya pekerjaan yang bukan prioritas, Pak. Sedangkan merah adalah prioritas."
"Lalu kuning?" tanya Kristof.
"Maaf sekali Pak, ternyata agar saya bisa mengingatkan Pak Kristof untuk semua acara Bapak, saya harus log-in juga ke dalam aplikasi itu. Warna kuning adalah kegiatan saya, Pak." Jawab Alana terdengar agak ragu. Mungkin saja Alana takut Kristof akan sangat keberatan.
"Baiklah, tidak apa-apa. Ternyata kau juga orang sibuk di sini." kata Kristof dingin.
"Sebagian kegiatan minggu ini sudah saya selesaikan, Pak, sebentar lagi Bapak tidak akan melihat agenda saya terlalu penuh. Terima kasih Pak."
Entah mengapa tiba-tiba Kristof teringat sesuatu yang terasa familiar baginya. Mungkin celana chino dan sepatu datar yang tadi dipakai Alana ketika datang ke kantornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?