Menentukan Langkah

362 47 4
                                    

El kembali membaca email di layar laptopnya. Profesor yang ia kirimi proposal penelitian telah setuju untuk membimbingnya dan berharap El akan mulai segera. Proyek yang dipimpin Profesor itu baru saja berjalan dan telah menyisihkan dana untuk studi El, sebagaimana lowongan yang El lamar. El tak perlu memikirkan apapun, bahkan tiket keberangkatan pun sudah dibayar Profesornya. El minta waktu satu bulan untuk mempersiapkan dokumen dan perijinan dari tempatnya bekerja dan Profesornya mengerti. Tenggat yang diberikan sang Profesor pun cukup nyaman untuk El bergerak dan membereskan semuanya. 

Orang yang paling bahagia dengan rencana El sekolah doktor adalah ayahnya. Meskipun ini bukan bidang yang Ayahnya sarankan, tapi kemauan untuk terus belajar sudah cukup menutup kekecewaan Ayah El. Mama cukup sedih dengan kepergian El kembali ke Eropa untuk beberapa tahun, tapi El berjanji akan meluangkan waktu mengajak Mamanya liburan. Ia tahu kalau Mamanya lebih sering kesepian di rumah dibandingkan menghabiskan waktu dengan ayahnya. Menurut El, ayahnya sangat tidak adil. Mamanya sudah bersusah payah membesarkan dirinya yang bukan anak kandungnya dengan sangat baik dan penuh kasih sayang di usianya yang kala itu masih muda. Mamanya juga merelakan pekerjaannya untuk fokus mengasuh El, namun kini justru sering ditinggalkan ayahnya bepergian. El berjanji pada dirinya sendiri akan mengundang Mamanya untuk berkunjung setidaknya setahun sekali. Ia yakin mampu menabung untuk itu. Gaji yang ditawarkan Profesornya pun cukup untuknya bisa menabung agak banyak setiap bulan. 

"Jadi kapan berangkat El?" tanya Mama ketika El turun untuk makan malam. Akhir pekan ini ia luangkan untuk tinggal di rumah orang tuanya sekalian berpamitan karena mungkin setelah ini ia akan sangat sibuk mengurus dokumen. 

"Sebulan lagi, Ma, kayanya nggak bisa mundur lagi."

"Masih bisa datang ke nikahan Alana kan?" El terdiam, menghentikan kunyahannya, lalu mengangguk meskipun sebenarnya ia tak yakin. "Usahakan bisa datang, atau paling tidak sebentar saja sebelum El berangkat. Alana kan sahabat El, dia pasti juga ingin El bisa datang."

"Iya Ma, El tahu kok," jawab El pelan. Tapi ia masih tidak yakin. 

Hampir tengah malam ketika ponsel El bernyanyi. El yang memang belum bisa tidur agak terkejut dengan nama yang tertera di ponselnya. 

"Ya Al," sapa El di telepon. 

"Sudah tidur, El?" tanya Alana di seberang. Suaranya agak serak, mungkin mengantuk. Tapi kalau mengantuk, mestinya dia tidur, bukan telepon, pikir El. 

"Belum ngantuk. Kenapa Al?" 

"Besok aku boleh repotkan kamu?"

"Aku di rumah Mama, besok mau temani Mama belanja agak pagi. Aku luang setelah jam sepuluh. Gimana?"

"Aku boleh mengunjungi rumah peristirahatanmu lagi? Aku butuh berpikir dengan tenang, jadi kalau boleh aku ingin diantar saja." kata Alana seolah meragu. "Aku tahu permintaanku berlebihan, El, tapi.."

"Nggak papa kok, rumah itu cukup besar, aku bisa mengerjakan sesuatu di dalam rumah sementara kamu bisa jalan-jalan di luar, atau sebaliknya." Sela El cepat. Ia paham situasi Alana, dan ia ingin membantunya. Bisa jadi ia tak punya kesempatan lagi. 

"Kalau begitu, sebaiknya besok kita ketemu di mana? Akan memutar kalau kamu jemput aku di rumah," kata Alana. El juga berpikir begitu. Lalu ia putuskan bertemu di alun-alun kota yang terletak di tengah-tengah, jadi mereka bisa menghemat waktu juga. Alana langsung setuju. 

Tidak sulit mencari Alana di sekitar alun-alun, ia tampak menarik seperti biasa, hanya dengan atasan putih dan celana panjang berwarna navy serta kacamata yang menggelap akibat sinar matahari. Meski terhalang, tapi El tahu mata Alana menyiratkan rasa sedih. 

"Kamu sudah minta ijin tunanganmu?" tanya El di tengah jalan. Al hanya tersenyum singkat. Dia tak ingin menjawabnya, pikir El. Dan mereka pun berkendara dalam diam, meski seribu pikiran berkecamuk dalam kepala mereka. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang