Strategi Baru

592 68 1
                                    

Siang ini akhirnya El punya kesempatan untuk mengunjungi Alana di ruangannya setelah sekian lama. El tidak peduli kalau harus berkonfrontasi dengan Kristof di sana, tapi dia yakin Kristof takkan berbuat apa-apa. Jadi di sinilah El, duduk di sofa panjang ruang tamu ruangan sub-divisi Kristof dan Alana. 

"Kok kamu sendirian?" tanya El melihat ruangan pacar Alana sepi. 

"Iya, Pak Kristof dipanggil ke kantor pusat. Kayanya bakal ada mutasi lagi. Ada cabang yang Kepala-nya pensiun dan belum ada pengganti, mungkin dia yang mau dipindah sementara di sana."

"Lho, katanya sudah ga bakal jadi kepala lembaga lagi," kata El. Dia tahu hal-hal itu karena semua surat dan komunikasi resmi biasanya melalui kantornya juga. Termasuk surat-surat keputusan dan hal-hal berbau hukum lainnya. 

"Nggak tahu juga, dia kemarin juga kaget waktu ditelpon langsung di ponselnya. Mungkin masih diskusi informal," kata Alana. Tapi El berpikir lain. Diskusi informal takkan sampai memanggil Kristof ke kantor pusat. Pasti ada sesuatu yang dilakukan Kristof di sana. Tapi itu bukan urusan El, dia tidak berhak mengatakan pada Alana tentang keraguannya. Akhirnya mereka pergi makan di luar. 

"El, kapan itu ada orang administrasi ngajak aku ngobrol," kata Alana membuka percakapan di tengah makan siang. El mendengarkannya. "Dia tanya apa kamu sudah punya pacar...," lanjut Alana. 

"Laki-laki atau perempuan?" tanya El. Spontan Alana memukul pelan lengannya. 

"Ya perempuan lah.. ngapain laki-laki tanya kaya gitu?"

"Al, sekarang ini sudah banyak penyuka sejenis yang terbuka, menunjukkan identitas mereka, makanya aku tanya.. kan tadi kamu bilang cuma 'orang administrasi', nah bisa aja kan si Miko atau Arga itu yang tanya," Alana tersenyum mendengarnya. Ia lupa kalau El pernah bekerja di dunia hiburan dan mungkin menemukan lebih banyak hal-hal yang demikian daripada di lingkungan kerjanya sekarang. "Emang ngapain dia tanya begitu? Berminat jadi pacarku?"

"Kamu lugas banget sih?!" protes Alana sambil tersenyum. 

"Lho, pertanyaanku bener kan? Dia tanya begitu pasti ada alasan lah.. entah berminat jadi pacarku, atau berminat mencarikanku pacar."

"Aku nggak tanya alasannya apa..." kata Alana. 

"Nanti kalau alasannya sudah jelas akan kujawab," kata El santai. 

"Kalau aku yang tanya, kamu jawab nggak?" tanya Alana. 

"Kalau kamu berminat jadi pacarku, aku jawab." Bahkan menjawab begini pun El masih tampak santai, tanpa ekspresi, dan masih menikmati makan siangnya. 

"Kalau aku mau carikan kamu pacar?"

"Nggak kujawab, aku bisa cari pacar sendiri," jawab El. 

"Ya udah, aku tunggu jawabanmu buat orang administrasi itu aja, aku tinggal tanya alasan dia, beres sudah!" jawab Alana yakin. 

"Kamu yakin jawabanku bakal sama?" tanya El serius, menggoyahkan pemikiran Alana. 

"Hah? Emang bakal beda?!" Alana hampir tak percaya. El diam saja, meminum teh hangatnya yang ternyata tidak begitu enak, tidak seenak teh racikan Alana. Alana tak menyadari kalau El menyimpan senyum satu sisinya. Lesung pipitnya sempat menyembul sebentar. "Kamu aneh deh, masa untuk pertanyaan yang sama jawabannya bisa beda kalau yang tanya beda..."

"Sudah, kamu nggak usah mikirin pacarku, kamu pikir pacarmu sendiri, ok!" Lalu El mengajak Alana kembali ke kantor. 

"Kenapa ya El, perasaan kamu lebih muda dari aku, tapi kok rasanya kalau sama kamu kaya punya kakak laki-laki," kata Alana tiba-tiba ketika mereka berjalan pulang ke kantor. El terhenyak. Ada rasa senang karena Alana menganggapnya dewasa, tapi sebagai kakak? Kenapa rasanya jadi aneh? El tidak terlalu suka perasaan ini. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang