Babak Baru, Kebiasaan Baru

3K 213 4
                                    

Alana memeriksa kembali isi ranselnya, berharap tak perlu lagi ada yang tertinggal. Hari ini jadwal optimasi mesin untuk sampel yang harus running lusa. Beberapa catatan desain primer dan konfigurasi mesin ia pastikan sudah ada di tempatnya. Lalu ia meraih ponsel dan kunci rumah.

Mungkin beberapa hari terakhir ini hidup Alana penuh dengan kejutan, namun ternyata belum akan berhenti. Tepat ketika ia membuka pintu, seorang anak lelaki tampan sudah rapi berdiri di muka pintu rumahnya lengkap dengan pakaian seragam sekolah dan ranselnya.

"Grady!" ujar Alana. Ia sudah bosan untuk merasa terkejut.

"Ayah bilang kau bisa membawa mobil dan mengantarku ke sekolah. Ayah sedang pusing."

Alana mencelos. Ia sangat benci keadaan seperti ini. Di kantor jadi sekretaris jadi-jadian, di rumah jadi sopir/asisten rumah tangga jadi-jadian pula. Alana berusaha meredam kemarahannya sambil menggandeng Grady masuk kembali ke rumahnya.

"Coba kita lihat keadaan ayahmu, Tante rasa pusingnya tidak sampai menghalanginya mengantarmu ke sekolah." ucap Alana setengah berbisik. Alana lupa memperhatikan raut wajah Grady yang sebenarnya tampak khawatir.

Rumah Kristof sebenarnya sama saja denahnya dengan rumah Alana, hanya penataannya terkesan minimalis modern dan tak banyak perabot. Meja makan bersih, mungkin bahkan Grady belum sarapan. Ruang tidur utama ada di sebelah kiri, berlawanan dengan rumahnya. Grady yang membuka pintu pelan dan menunjukkan gumpalan selimut di atas ranjang besar.

"Semalam Ayah langsung tidur seusai kita makan. Tadi pagi aku bangun karena tangan Ayah terasa panas," ujar Grady pelan. Alana baru menyadari kalau pria kecil ini begitu mengkhawatirkan ayahnya.

"Ok, Tante akan antar Grady ke sekolah sambil beli obat untuk Ayahmu."

"Ayah bilang Tante Alana juga dokter," kata Grady segera setelah mereka masuk mobil. Alana tersenyum. "Apa Ayah demam berdarah? Kata Bu Elsa, sekarang sedang banyak demam berdarah," kata demam berdarah terdengar bersama dengan isakan lembut. Lalu Alana mengusap kepala Grady, merasa kasihan.

"Nyamuk demam berdarah pasti takut menggigit ayahmu yang tinggi besar, Sayang," kata Alana berusaha menenangkan. Dan mereka berusaha secepat mungkin sampai ke tujuan.

Seusai mengantar Grady, Alana mendapati 4 panggilan tak terjawab di ponselnya. Tiga dari Kristof dan satu dari Dean. Ia menelpon Kristof lebih dulu.

"Grady sudah ke sekolah?" tanya Kristof begitu menjawab telpon.

"Sudah, Pak. Pak Kristof mau saya jemput atau saya kembalikan mobil saja?"

"Bawa saja mobil ke kantor, aku sudah di ruangan." Lalu telepon ditutup. Rasa geram yang tidak jelas membakar hati Alana. Atasannya memang kurang ajar. Kalau tidak mau mengantar anaknya ke sekolah ga usah pura-pura sakit lah!

Kristof merasakan matanya pedih memandang layar komputer dan mengerjakan manuskripnya. Naskah ini mestinya sudah terbit tahun lalu, tapi terpaksa minggir didahului proses perpisahannya dengan Granada. Kini ia begitu bersemangat menyelesaikannya, tapi tubuhnya seperti menuntut istirahat.

Pagi ini bahkan selembar roti pun sangat sulit ia telan. Akhirnya masuk juga ke perut bersama beberapa gelas susu coklat dingin. Ia sambil berdoa Grady sudah makan sesuatu tadi pagi. Sungguh ia bukan ayah yang patut dirindukan. Bahkan sarapan Grady pun tak sempat ia siapkan.

"Grady bilang kalau ia sempat makan 3 lembar roti, 2 lembar keju, dan ia membawa sekotak susu coklat di tasnya. Dia tampaknya sangat mandiri." Alana melaporkan tugas yang sebenarnya bukan tugasnya ketika ia masuk ke ruangan atasannya.

Alana terkejut melihat atasannya yang sangat berbeda dari biasanya. Tubuh kekar tinggi besar itu seperti lunglai, wajahnya dihiasi hidung yang agak memerah dan mata yang lebih merah lagi. Suaranya yang semula terdengar serak seksi kini terdengar menyedihkan. Rupanya Pak Kristof benar-benar sakit.

"Pak, bukankah lebih baik kalau Bapak istirahat saja di rumah," saran Alana.

"Manuskrip ini lebih penting. Minggu ini harus submit," jawab Kristof.

"Atau saya bantu kerjakan Pak?" Kristof mendongak. Mungkin ia tidak menyangka kalau Alana akan menawarkan hal itu. "Kalau sudah ada beberapa referensi, bisa sekalian saya baca. Kalau belum ada atau kurang, saya bisa bantu cari." Lalu Kristof sadar, perempuan yang diperbantukan untuk jadi sekretarisnya sebenarnya juga seorang peneliti, punya kualifikasi yang setara dengannya. "Pak?" Sapaan Alana membuyarkan lamunan Kristof.

"Alana, setelah kupikir lagi, bagaimana kalau kita bekerja sama? Kau bisa jadi co-author untuk manuskrip ini." Alana mengerutkan kening mendengar usulan Kristof. Ia langsung ingat beberapa tenggat yang semakin mendekat dan betapa tawaran Kristof ini menggiurkan. "Kau boleh menganalisis ulang kalau kau mau." Dan seketika senyuman Kristof tampak begitu manis dan berhasil meluluhkan Alana.

Esok paginya, Grady sudah di depan pintu rumah Alana ketika jam berangkat tiba. Dengan rapi dan tampan, Grady membawa kunci mobil ayahnya dan menyerahkannya pada Alana. Hal itu terus berlanjut keesokan dan keesokan harinya lagi, sampai Alana bertanya-tanya berapa lama Grady akan tinggal dengan ayahnya. Atau setidaknya sampai kapan ia harus mengantar dan menjemput anak atasannya.

Seminggu berlalu dan Grady yang berdiri di depan pintu rumah Alana sudah seperti kebiasaan baru untuk Alana. Kadang Grady bahkan membawa dua kotak bekal, satu untuk Alana. Melihat isi yang tak beraturan, Alana menyimpulkan kalau Grady sendiri yang berinisiatif membawakannya bekal, jadi Alana tak menolak. Terlalu Ge-eR nggak sih kalau Alana sempat berpikir Kristof yang membawakannya bekal? Cepat-cepat ia tepis pikiran itu.

"Alana, siang ini aku ada lunch meeting, Grady pulang setelah jam makan siang. Aku tidak yakin bisa menjemputnya."

"Baik Pak." Alana tidak perlu lagi menunggu kalimat perintah itu. Dia sudah tahu apa yang akan Kristof minta.

"Oh ya, sepertinya Grady akan bersamaku lebih lama. Mantan isteriku extend di luar negeri dan aku setuju Grady tetap tinggal denganku sampai dia pulang."

"Mungkin sebaiknya Bapak segera mencari sopir atau layanan antar-jemput sementara ini," kata Alana cepat.

"Hmm.. ya, aku ingin bicarakan itu selesai lunch meeting nanti." Dan Alana merasa ia salah memilih waktu untuk bicara atau memang topik ini akan selalu salah.

Saat menjemput Grady, Alana sempat berbincang sedikit dengan anak laki-laki itu. Semula Grady tampak lesu, namun ketika Alana berkata bahwa ia akan tinggal lebih lama, Grady menjadi ceria.

"Grady suka tinggal sama Ayah, kalau sama Nenek Grady bosan. Ibu sering pergi. Kalau Ayah suka main dan belajar dengan Grady," kata Grady.

"Tante Alana juga akan mengantarku ke sekolah kan?" tanya Grady polos. Alana tersenyum menjawabnya. 8a bukan tak senang mengantar dan menjemput Grady, tapi ini semua terasa tidak benar. Hubungannya dengan Kristof adalah atasan dan bawahan. Namun kini mereka sudah beberapa kali makan bertiga, entah siang atau malam. Beberapa rekan kerja di bagian administrasi sudah mulai bergunjing tentang mereka. Apalagi 2 calon sekretaris baru sudah ditolak oleh Kristof dengan alasan kurang kompeten. Ya, alasan itu bukan tidak berdasar, tapi sebenarnya kemampuan mereka masih bisa diperbaiki dengan training dan pengalaman. Masalahnya Kristof tidak sabar.

Alana juga merasa tak adil pada Dean. Akhir-akhir ini ia lebih banyak menolak ajakan makan Dean daripada menerimanya. Pekerjaan menjadi alasan utama yang sering Alana lontarkan. Dean sendiri tidak pernah protes, tapi justru itu yang membuat Alana tak enak hati. Alana berjanji pada dirinya sendiri akan mengajak Dean makan setelah pembicaraan dengan Kristof sore ini. Alana merasa ia perlu menegaskan sesuatu dengan Kristof. Tidak seperti ini caranya bekerja.

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang