"Mama tadi ketemu Alana sama pacarnya di supermarket," kata Mama El bersemangat, sementara El duduk sambil minum setelah bangun tidur. "Ganteng banget ya pacarnya Alana.., kaya bule," tambah Mama El. El cuma diam saja. Masih malas berkomentar.
"Mama belanja banyak banget, kita mau kenduri?" kata El heran.
"Ini mau Mama masak dan simpan di kulkasmu biar beberapa hari ini bisa kamu makan, jangan jajan dulu!!"
"El kan juga bisa masak, Ma.. Mama ga perlu segininya, lagian El sudah sembuh kok!"
"Mama senang masak buat kamu karena selalu kamu makan," kata Mama El sambil tersenyum.
"Nggak kaya Ayah ya, udah dimasakin ini maunya itu, mesti cari-cari yang nggak ada," gerutu El. Ia sangat menyesal betapa ayahnya jarang menghargai upaya Mama-nya melakukan sesuatu untuk keluarga di rumah.
"Ayahmu memang begitu, kalau sudah ada kenapa harus dicari?" Mama El tetap tersenyum.
"Mama selalu membelanya," protes El. Meskipun El tahu kalau Mamanya juga sering membela El ketika berbeda pendapat dengan El.
"Kelak El juga akan menemukan seseorang yang akan selalu El bela, El akan berusaha selalu ada kalau dia membutuhkan, El akan selalu ingin dia bahagia," kata Mama El. Kali ini El hanya diam. Entah kapan dia akan menjadi seperti itu, menemukan orang seperti itu.
"Eh El, Alana sama pacarnya itu udah lama barengan?" tanya Mama El tiba-tiba. El yang sedang makan hampir saja tersedak. Tapi ia segera minum air dan mengatur nafas.
"Mungkin beberapa minggu, atau beberapa bulan."
"Kok nggak jelas gitu jawabannya," tanya Mama El. "Mereka kenal di mana?"
"Ma, pacarnya Alana itu atasannya, jadi ya kenal di kantor," kata El meskipun enggan.
"Jangan-jangan kamu suka ya sama Alana..." goda Mama El. "El sampai sakit mikirin Alana yang sudah punya pacar?"
"Ma, kalau aku sakit gara-gara mikirin Alana ya udah dari kemarin-kemarin aku sakit."
"Hmm.. bener juga ya.. " Mama El mengangguk-angguk sambil berpikir. "Tapi kalau kamu nyadar suka sama Alana sekarang-sekarang ini kan sakitnya juga sekarang, El?" goda Mama El lagi.
"Udah lah Ma.. ini bukan soal Alana," kata El lalu kembali ke kamarnya sambil berharap Mamanya segera pulang dan meninggalkannya sendiri. El butuh berpikir dengan tenang. Atau sebenarnya dia butuh tidur dengan tenang agar bisa berpikir setelahnya.
Sekitar menjelang sore El dibangunkan oleh dering telepon, dari Alana, ketika ia melirik layar ponselnya. Dia putuskan untuk menjawabnya.
"Hai Al, " sapa El masih dengan suara bangun tidur, serak tapi sexy.
"Kamu lagi tidur ya? Aduh, sorry... aku tutup deh..."
"Eh bentar.. bentar.. nggak usah ditutup, aku sudah pusing tidur terus," kata El buru-buru, khawatir Alana benar-benar mengakhiri teleponnya.
"Bener nggak papa?" Setelah tiga kali El meyakinkan Alana kalau dia baik-baik saja, baru Alana mau bicara lebih banyak.
"Kamu sakit apa? Kok nggak bilang-bilang," tanya Alana.
"Cuma masuk angin biasa, common cold, self-limiting disease katamu," kata El.
"Iya sih, tapi kamu kan sendirian, kalau sakit nggak ada yang rawat, siapkan makanan atau belikan obat," kata Alana. "Kalau kamu bilang kan aku bisa kirim makanan sama obat."
"Kaya pengungsian aja, dikirimi makanan sama obat," kata El diikuti tawa renyah Alana. "Beberapa hari ini ada Mama kok, tapi sekarang sudah pulang."
"Oh iya aku sempat ketemu di supermarket, makanya aku jadi tahu kalau kamu sakit. Kok bisa sih?"
"Apanya?"
"Sakit."
"Oh itu."
"Iya, kamu kan rajin olah raga, tidur cukup, makan juga nggak sembarangan, kamu lagi patah hati kah?"
"Hah?!" El terkejut dengan kata-kata Alana, terutama yang terakhir. Patah hati? Dari mana dia dapat ide konyol seperti ini?
"Iya, kadang-kadang cowok sakit kalau patah hati... " kata Alana sambil tertawa.
"Perempuan kali yang sakit kalau patah hati," balas El. "Nggak kok, aku lagi banyak kerjaan, trus kehujanan, sama telat makan. Kamu pasti tahu kalau salah satunya bisa bikin sakit, apalagi kombinasi ketiganya."
"Tapi bener kamu sudah sehat? Perlu kujenguk nggak?"
"Nggak usah lah.. nggak perlu."
"Kenapa?"
"Merepotkan."
"Aku nggak merasa repot kok jenguk kamu," jawab Alana meyakinkan.
"Aku yang repot," jawab El santai. Dia yakin kalau Alana keki di seberang sana.
"Kok bisa?!" tanya Alana tidak terima.
"Iya, kalau kamu jenguk aku, aku butuh bersih-bersih rumah dulu, menyingkirkan pakaian kotor yang berserakan, siapkan teh untuk suguhan dan beli makanan kecil karena kamu nggak tahan tanpa cemilan kalau lagi nggak kerja."
"Aaahhh... El jahat!" rajuk Alana seperti anak kecil, sementara El cekikikan di seberang.
"Eh, belum lagi kalau kamu ajak pacarmu, aku mesti siapkan gelas satu lagi, bikin teh yang enak, trus meladeni pembicaraan orang tua sama dia," goda El lagi dengan nada suara serius.
"Pacarku belum tua ya!" protes Alana.
"Iya, tapi obrolannya serius kaya orang tua, yah.. terbiasa ikut kumpulan orang tua murid kali...." goda El tanpa henti.
"El jahat!" protes Alana seperti anak kecil, tapi justru membuat El tertawa dan semakin bersemangat menggodanya. "Udah deh, aku tahu kamu sudah sehat. Nanti kapan-kapan kita makan siang lagi di kantin, kita cari menu yang sehat!" El tersenyum mendengar tekad Alana.
"Sama pacarmu juga?" tanya El tiba-tiba.
"Kenapa nggak?"
"Ntar kaya keluarga dong, Bapak sama dua anak," goda El lagi.
"Dasar El! Sudah! Aku tutup!" Dan El masih tetap tersenyum memandangi layar ponselnya bahkan beberapa menit setelah Alana menutup telepon. Perasaan hangat menyusup dalam hatinya, tapi ia tepis pelan. Ia perlu menjaga hatinya baik-baik. Jangan sampai hancur lagi.
Sore ini El ingin bersantai di balkon apartemennya menikmati matahari terbenam dengan tubuh yang sudah sepenuhnya sehat. Sambil menikmati segelas teh hangat dari daun teh racikan Alana, dia menggenggam erat mug-nya, menikmati hangatnya di tengah terpaan angin lantai 11. Dia biarkan hatinya menghangat sejenak, sehangat teh yang menceriakan sorenya. Percakapan pendek dengan Alana terasa baru, setelah beberapa waktu tidak ia lakukan. Alana sudah sibuk dengan pacarnya, pikirnya. Apalagi rumah mereka berdekatan, bukan hal yang sulit untuk bolak-balik dari satu rumah ke rumah satunya. Cemburu? Hmm.. El merasa bukan. Terlalu awal untuk menyebutnya sebagai cemburu. Rindu? Mungkin. El merasakan kerinduan setelah beberapa saat tidak banyak berinteraksi dengan Alana. Lalu apakah aneh jika dia rindu? Kerinduan itu tak hanya untuk pasangan romantis, bisa saja untuk sahabat, keluarga, bahkan tetangga. Tapi El tak ingin kebingungan itu merusak sorenya. Biar besok ia cari tahu lagi apa sesungguhnya perasaannya. Sekarang El hanya ingin berdua saja dengan teh dalam mug-nya yang tetap hangat dalam genggamannya, di ambang sore yang hangat bersama mentari yang berpamitan mesra lewat semburat lembayungnya yang teduh. Sekali ini El merasakan hangat. El merasa romantis.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?