Menegaskan Posisi

2.9K 199 7
                                    

Kristof baru kembali dari lunch meeting mendekati waktu minum teh a la Inggris. Itu berarti Alana menunggu hampir 3 jam untuk membicarakan kelanjutan kebiasaan mereka yang tidak benar ini. Jujur, Alana sudah mulai emosi. Keinginannya untuk segera mengakhiri tugas tak jelas ini tak kunjung terwujud. Tapi entah kenapa ketika Kristof melangkah memasuki ruangannya, emosi itu berganti dengan perasaan tak karuan yang tak bisa Alana jelaskan. Kemeja Kristof yang sudah tak serapi tadi pagi dengan lengan sudah tergulung separuh, justru tampak menarik. Wajah Kristof yang tampak capek dengan cambang seperti rumput lupa disiangi juga tampak jantan. Singkatnya, siang ini Kristof tampak tampan. Kalau selama ini Alana tidak memperhatikan, kini ia harus mengakui kalau atasannya memang tampan. Seperti yang sering diteriakkan perempuan-perempuan tua dan muda di gedung itu, bahwa atasannya tampan.

"Alana?" Dan suara dalam yang seksi itu membuyarkan lamunan Alana. "Kamu belum makan siang ya?"

"Sudah Pak," jawab Alana bingung.

"Kamu seperti nggak fokus barusan. Kenapa? Grady berulah?" Alana cepat-cepat menggeleng lalu membereskan mejanya dan mengikuti Kristof ke ruangannya. Di sana tampak Grady begitu senang bertemu ayahnya dan memamerkan hasil gambarnya siang ini. Kristof semakin tampak menarik di mata Alana. Seorang Ayah yang penuh kasih sayang. Lalu cepat-cepat Alana kembali menggelengkan kepalanya, menepis fantasi aneh yang menyelinap dalam benaknya.

"Pak, sebelum kita diskusikan pembagian tugas, saya boleh bicara?" Kristof mengangguk. "Hmm, pertama, saya ingin Pak Kristof ingat kalau saya hanya 'diperbantukan' untuk Bapak. Itu pun sebagai sekretaris."

"Ok", jawab Kristof. "Itu juga yang mau aku bicarakan. Apa pendapatmu kalau kita tandem di lab riset?"

"Maksud Bapak, Bapak juga melakukan riset di tim saya?" Hancurlah sudah. Mungkin jika Kristof mengatakan hal ini beberapa minggu lalu takkan ada bedanya untuk Alana. Tapi siang ini, pesona Kristof mulai mengaburkan penilaiannya. Entah berapa lama mulutnya menganga karena yang ia sadari adalah tawa Grady yang menatap wajahnya. "Sepertinya itu tidak masuk akal, Pak."

"Kenapa? Beberapa tulisanmu juga dikerjakan bersama orang-orang sosial. Bahkan dua manuskripmu yang terakhir memanfaatkan hasil riset biomedismu yang terdahulu sebagai dasar decision making strategy untuk public policy. Itu jelas lintas disiplin kan," argumentasi Kristof jelas masuk akal dilandasi beberapa bukti yang memang tidak mungkin dibantah.

"Tapi saya sudah punya tim yang solid dan produktif," kata Alana berusaha menolak.

"Kamu benar. Kau punya tim yang solid dan produktif, tapi terlalu gemuk. Aku yakin hanya beberapa saja yang benar-benar produktif, selebihnya hanya membubuhkan paraf dan menuntut namanya masuk sebagai co-author. Itu juga kan alasan tim-mu menawarkan tenagamu untuk membantuku," kata Kristof. Kalimat terakhirnya terdengar agak sengit dan Alana menyadari hal itu. Ia semakin sadar ketika melihat perubahan raut Grady. Alana tiba-tiba jadi ingat kalau orang tua Grady berpisah dan mungkin saja anak itu punya banyak memori tentang orang tua yang sedang bertengkar.

Alana mengambil inisiatif mendekati Grady, berlutut di depannya, "Grady, jangan khawatir.. kami hanya berbeda pendapat. Ayahmu tidak marah kok, benar kan Pak Kristof?"

"Iya Grady, Ayah tidak marah.. kami sedang berdiskusi." Kemudian lambat laun wajah Grady kembali biasa. Alana lega. Lalu Kristof memutuskan untuk menunda diskusi mereka sampai besok pagi, ketika Grady tidak ada di kantor. Alana setuju karena itu memberinya waktu juga untuk berpikir.

Kristof tertegun dengan gerakan cepat Alana yang menyadari perubahan suasana hati Grady. Ia jadi merasa bersalah karena tidak peka terhadap putranya sendiri. Ia lupa bahwa hampir sepanjang hidup Grady, ia pernah menyaksikan orang tuanya bersilang pendapat yang akhirnya membuat mereka terpisah. Mestinya Kristof sadar kalau diskusinya dengan Alana tadi mulai mengganggu putranya. Untung saja Alana sadar dan segera bertindak.

Alana merasa menyesal mengetahui Grady terpengaruh sedemikian. Ia sadar betapa menyakitkan semua ini untuk Grady. Ia yang besar dalam keluarga harmonis sangat bersyukur dengan apa yang sudah ia alami selama ini. Ia prihatin Grady harus mengalami semua ini dalam usia yang begitu belia.

Grady begitu menyita pikiran Alana. Ia tidak ingin diskusinya besok jadi tidak profesional jika ada Grady. Lalu ia beranikan diri mengirim pesan singkat pada atasannya.

"Selamat sore, Pak. Apakah memungkinkan kalau diskusi kita dimulai sebelum rapat Bapak jam 09 besok? Saya lihat jadwal Bapak masih luang."

Tak seberapa lama ponsel Alana memberi tahu ada pesan masuk. "OK. Kita bertemu di ruanganku setiba aku dari sekolah Grady. Kau mau sekalian?"

Kalimat terakhir dalam pesan Kristof membingungkan Alana. Sekalian? Apa maksudnya dengan sekalian? Agak lama Alana berpikir menebak-nebak maksud Kristof. Entah ia akui atau tidak, tapi ada sisi hatinya yang meletup-letup. Lalu ia disadarkan oleh dering ponsel tanda pesan masuk. Tapi ini dering khusus. Ini Dean.

"Besok aku jemput sarapan sebelum ke kantor" Sudah. Itu saja. Alana bahkan tidak berkesempatan untuk menolak atau beralasan. Hingga tak ada pilihan lain selain membalas dengan "OK".

Alana hampir terpejam ketika kembali ponselnya memberi isyarat masuknya pesan baru.

"Bagaimana? Kau mau sekalian berangkat sambil mengantar Grady sekolah?" Hati Alana sempat berdesir samar, namun ia harus menolaknya.

"Terima kasih Pak, saya kebetulan ada janji berangkat bersama teman." Dan entah pesan Kristof yang masuk terlalu cepat atau isinya yang begitu pendek, tapi Alana merasakan sedikit kecewa. "OIC" itu saja balasan Kristof. Dan pesan itu masuk segera setelah pesan Alana terkirim. Seolah Kristof tak perlu membaca pesan Alana untuk bisa membalas demikian.

Di dalam rumah di seberang rumah Alana, Kristof diam menekuri layar ponselnya. Alana menolak berangkat bersama mereka berdua. Alana beralasan sudah ada janji berangkat bersama temannya. Mungkin laki-laki yang tempo hari datang menjemput Alana di kantor. Tampaknya mereka serius. Tapi Alana pernah tampak sangat enggan untuk pergi dengan lelaki itu. Mungkin hubungan mereka sedikit renggang. Kristof juga pernah mengalaminya. Ia tahu betul hal itu. Namun Kristof segera menyadarkan dirinya. Itu semua bukan urusannya. Hidupnya sudah cukup rumit dengan Granada dan Grady. Sangat tidak adil menambah satu lagi kerumitan dalam hidupnya, apalagi jika itu berarti merumitkan hidup orang lain. 

"Besok kita berangkat bersama Tante Al, Ayah?" tanya Grady tiba-tiba. Kristof merasa bersalah dengan lamunannya sehingga tidak mendengar putranya masuk. 

"Bukannya dengan Ayah sudah cukup, Grady?" tanya Kristof. Ia ingin tahu mengapa Grady suka antar jemput dengan Alana.

"Senang kalau tante Al ikut," jawab Grady sambil bermain dengan salah satu truk mainannya.

"Mengapa?"

"Tante Al suka sama cerita Grady," jawab Grady pelan, tapi Kristof bisa merasakan guratan senyum tersembunyi di bibir Grady.

"Ayah juga suka dengar cerita Grady," kata Kristof tak mau kalah. 

"Ayah suka cerita, Grady suka cerita Ayah," timpal Grady. Hmm, jadi itu kelebihan Alana. Dia mendengarkan Grady. Sementara Kristof lebih suka didengarkan oleh Grady. Dan Grady terdengar sangat dewasa dengan menambahkan "Grady suka cerita Ayah" agar dirinya tidak tersinggung. Saat ini Kristof seperti tersadar, perpisahannya dengan Granada bukan sepenuhnya salah Granada, ini kesalahannya. Ia tidak pernah mendengarkan. Dan mungkin ini saat yang tepat untuk mulai mendengarkan. Termasuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Alana besok tentang rencananya.

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang