Gosip Baru

2K 183 6
                                    

Sepulang dari kantor pusat, Alana sudah mempersiapkan mentalnya untuk mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan. Diawali dengan pandangan sinis dari orang-orang yang bahkan tidak ia kenal, lalu bisik-bisik dari orang-orang yang duduk di balik kubikel-kubikel kerja yang ia lalui. Alana yakin sebentar lagi Kristof yang akan menanyakan sesuatu padanya.

Sementara El masih tidak merasakan ada yang berbeda ketika ia datang ke kantor. Semua orang sudah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Namun hal mengagetkan ketika Erda dari bagian Keuangan tiba-tiba datang ke mejanya membawa setumpuk berkas.

"Kupikir kamu harus menjelaskan sesuatu," kata Erda sambil menepuk-nepuk berkas yang ia bawa. Karena tampaknya El tak kunjung paham yang ia maksudkan, Erda menjabarkan berkas-berkas itu di meja El yang sudah penuh dan menyusunnya dalam urutan sedemikian sehingga El bisa melihat berkas perjalanan Alana dan berkasnya sendiri.

"Kalian pergi masing-masing, mestinya kamu nggak menginap. Tapi kemudian ada bill hotel dan boarding pass yang kebetulan... " Erda membuat tanda petik dengan jari-jarinya, "kebetulan sama dengan Dr. Alana dari subdivisi baru milik Pak Kristof." Erda berhenti. Menunggu penjelasan El. Tapi El tetap asyik melanjutkan pekerjaannya.

"Dan kalian bahkan duduk bersebelahan di pesawat. Setelah aku kroscek ke hotel, jelas sekali bahwa junior suite tidak ia tempati sendiri. Ada yang ingin kau jelaskan?"

El masih saja terdiam. Ia tidak menyangka kalau demi efisiensi bagian keuangan akan begitu detil sampai nomor kursi di pesawat. Tapi El hanya tersenyum. Mungkin saja ini yang dimaksud Alana tempo hari. Sayangnya, El belum tahu bahwa hal yang lebih buruk bukan terjadi padanya, tapi Alana.

"... sudah bosan ama Bos Bule kali yaa, jadi nggebet brondong.."

"... subdivisi baru itu bisa saja seharga service babysitting-nya, atau malah jadi Bapak-sitter juga..."

"... mungkin alasannya belum menikah biar bisa gebet kanan kiri, peluk sana sini, main atas bawah..."

Dan kalimat terakhir itu belumlah yang paling kejam. Masih ada hal-hal tak pantas yang beredar mulai dari kantin hingga kamar mandi soal Alana dan El yang "dianggap" berkencan dengan fasilitas kantor. Dan El baru sadar kalau tuduhan-tuduhan kejam itu tak ada yang menempatkannya sebagai pelaku. Semua orang menganggap El sebagai korban. Tidak lebih. Bahkan mungkin kurang.

Dalam suasana seperti saat ini, menurut Alana sangat tidak bijaksana untuk makan siang di kantin. Ia akan berhadapan dengan banyak orang yang menghakimi dengan pandangan mereka, menghujat tanpa tahu duduk masalahnya, atau jika ia beruntung orang-orang akan mendoakannya agar kembali ke jalan yang benar. Mau tidak mau, Alana menyerah pada perutnya yang berteriak minta diisi. Ia terlambat bangun sehingga kehabisan makanan di warung belakang kompleks. Pekerjaan dan laporan sudah menantinya untuk dikerjakan hari ini juga. Beberapa janji temu yang sudah ia tunda harus ia selesaikan hari ini juga. Akhirnya dengan enggan ia turun ke kantin. 

Sekali lagi ia mendapati dirinya dipelototi orang-orang yang sedang menikmati makan siang seolah-olah itu akan menambah kenikmatan mereka makan. Alana sadar bahwa ini belum seberapa. Hal ini masih akan terus berlanjut hingga beberapa minggu ke depan dan mungkin akan menjadi lebih kejam. Tapi Alana sudah tidak peduli lagi. Sekejam apapun tidak akan mempengaruhi kinerjanya.

Alana tampaknya tak sadar kalau ada seseorang yang memperhatikannya sambil lalu. Pandangan yang meneliti dengan lembut dan merasa kasihan. Pandangan yang heran sekaligus kagum dengan sikap tak acuhnya. Dan pandangan iba karena tatapan kejam orang-orang di penjuru kantin. Pria itu lalu beranjak mendekati Alana yang mulai duduk menikmati makanannya. 

Alana tampak sangat terkejut ketika El duduk di sampingnya. Meja itu memang masih punya tiga kursi kosong, tapi masih banyak meja lain yang masih kosong. 

"Selamat makan," kata Alana ringan tanpa repot-repot melirik lelaki di sebelahnya. 

"Hmmm...," El juga tak repot-repot menengok. Tapi ia sempat berbisik, "Memberi bahan perbincangan orang sama juga dengan membahagiakan orang.. nikmati saja sandiwara ini." Dan tanpa El duga Alana tersenyum halus. 

"Jadi kau tahu kan yang kumaksud tempo hari?" kata Alana ringan. "Ini belum seberapa. Mungkin atasanku yang akan menghakimi lebih kejam."

"Sepertinya kau dekat dengan Pak Kristof," kata El pelan. Mereka berbincang tanpa saling memandang dan dalam suara lirih. Jika tidak memperhatikan, seolah mereka sedang menikmati makanan masing-masing. 

"Kami satu sub-divisi. Tentu kami dekat, setidaknya lebih dekat dibandingkan dengan rekan kerja beda lantai," jawab Alana. 

"Kupikir kamu ada hubungan lain dengannya, kau sering antar anaknya ke sekolah kan?"

"Dulu, waktu mantan istrinya bepergian ke luar negeri. Minggu lalu anaknya sudah kembali dengan ibunya. Sebatas itu saja."

"Apa itu juga pekerjaan rekan satu sub-divisi?"

"Itu hanya good-will saja, apalagi kami bertetangga," jawab Alana. Dan entah mengapa, El terdiam dan kini memalingkan wajahnya. Ia pandangi perempuan di sampingnya dan kembali bertanya-tanya mengapa ia spontan melakukan ini semua. Ia pernah jatuh cinta, dan sampai sebelum makan siang ia yakin bahwa ia tidak sedang jatuh cinta pada siapa pun. Tapi sekarang ia tidak yakin lagi. Ia tidak yakin apakah ia akan jatuh cinta lagi. Ia juga tidak yakin apakah perasaan aneh dalam hatinya ini adalah cinta. Tidak yakin pula apakah perasaan ini untuk perempuan aneh di sampingnya.

Matahari sudah lama terbenam, orang-orang juga sudah pulang. Pekerjaan juga sudah selesai. Kesibukan mungkin hanya masih berjalan di laboratorium yang masih running sample. Entah mengapa tiba-tiba seorang pegawai bagian hukum ingin mampir ke salah satu laboratorium dalam perjalanan pulang.

"Kau masih di sini?" tanya El ketika melihat Alana masih di belakang komputernya, memakai kacamata bacanya, dengan wajah seriusnya yang menarik. 

"Pekerjaanku belum selesai, di rumah tidak ada pekerjaan berarti. Kau sendiri?" 

"Aku menunggu kantor lebih sepi untuk menghindari orang-orang yang sibuk mengurusi urusan orang lain."

"Kau peduli?" tanya Alana setengah acuh, tetap fokus pada layar komputernya.

"Tidak, aku hanya terlalu penat untuk berjalan digantungi tatapan orang asing. Masa-masa itu sudah lewat," jawab El sama acuhnya. 

"Hmm.. idola remaja.. " kata Alana, sebenarnya maksudnya bukan mengejek, tapi suaranya terdengar seperti itu.  "Untung saja aku sudah bukan remaja," lanjutnya.

"Apa maksudmu?" El berusaha menyamarkan nada marahnya. 

"Untung saja aku sudah bukan remaja, kalau tidak aku pasti sudah jadi penggemarmu." lalu El tersenyum singkat. Ia masih yakin pesonanya belum memudar. "Aku tidak ingin seperti orang-orang itu, mengidolakanmu."

"Kenapa?"

"Entahlah, mungkin aku terlalu cemburuan untuk menyukai idola remaja. Lagipula aku sudah terlalu tua." Sekali lagi El tersenyum mendengarnya. Entah mengapa ia menikmati percakapan kosong ini. 

Hampir pukul sembilan mereka keluar dari gedung. El memaksa untuk mengantar Alana pulang karena Alana tidak membawa kendaraan. Jadilah Alana membonceng motor El. Alana sempat bertanya dalam hati, mengapa El memilih mengendarai motor biasa saja, padahal bisa saja dia membeli mobil sport atau motor besar yang harganya jauh lebih tinggi. Tapi pertanyaan itu ia pendam sebagai pertanyaan kurang penting dan memilih untuk menikmati tamparan angin selama ia duduk di boncengan motor El.

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang