"Aku tahu siapa yang mengirimku ke Amerika," ujar pria itu berani. Kristof tidak menyangka akan ada konfrontasi seperti perang dingin seperti ini. "Aku takkan sepenuhnya berterima kasih atas kesempatan itu, semua yang kuperoleh bisa aku dapatkan tanpa aku datang ke sana." Pria itu diam. "Jadi sebenarnya apa maksudmu?"
"Tidak ada, lagi pula kecurigaanmu tidak beralasan." Kristof menjawabnya tanpa memandang. Ia berbohong. Sedikit banyak ia memang punya andil memberangkatkan El ke Amerika selama tiga minggu.
"Pak Kristof ternyata kurang percaya diri," ujar El sambil tersenyum sinis. "Kamu tidak suka kan Alana sering keluar makan denganku?" katanya sambil tersenyum. Tapi El tidak merasa menang. Pertarungan masih panjang.
"Sebenarnya aku nggak ada perasaan apa-apa pada Alana, tapi karena kamu membuka pertempuran, aku jadi tertantang," lanjut El lagi.
Dua laki-laki itu tenggelam dalam diam. Mereka duduk berseberangan tetapi seolah tidak saling mengenal. Kristof menekuri langkah-langkah gegabahnya dan El menyusun rencana. Tatapan El yang dingin dan tajam sengaja ia buang ke luar, membuat orang-orang di sekitar mereka tak mempedulikan keduanya. Kristof sudah mulai tidak tenang. Ia tidak berada di lingkungan yang bisa ia kendalikan semaunya. Mungkin saja ia menemukan lawan yang seimbang.
"Aku yakin Alana tidak tahu klausul perjanjian yang ada dalam kesepakatan perceraianmu dengan istrimu," ujar El pelan, tapi Kristof sangat tertusuk mendengarnya. Itu juga yang membuatnya khawatir.
"Kamu pasti merasa di atas angin karena hal itu," balas Kristof. El tersenyum, kali ini lebih sinis.
"Aku semula tidak peduli, tapi sekarang semuanya menjadi menarik. Menurutku Alana terlalu polos untuk bisa memahami peliknya hidupmu. Aku yakin kamu menghubungiku untuk memeriksa perjanjian itu karena kamu menemukan seseorang yang baru." Kristof terkejut langkahnya mudah sekali ditebak orang yang baru dikenalnya itu. Lalu El berdiri.
"Pikirkan lagi sebelum kamu menyakiti perempuan lagi." Dan El pun meninggalkannya.
El agak terkejut ketika berpapasan dengan Alana di pintu. Sebenarnya ia tak perlu kaget karena ini ruangan tempat Alana bekerja, tapi sudah sejak kapan Alana ada di sana? Apakah ia mendengar semuanya? Ah, tapi El tak peduli. Biarkan saja Alana tahu sekarang, mungkin saja jadi lebih baik.
Setelah membuat janji makan siang, El meninggalkan Alana.
Alana datang ke kantin lebih awal, tidak ada pekerjaan berarti pagi ini membuatnya bosan dan ingin segera makan. Ia agak heran melihat El pagi-pagi sudah berada di area kerjanya dan berbincang serius dengan Kristof. Dan anehnya, mereka berbicara tentang perempuan. Itu adalah topik pembicaraan yang sangat tidak lazim dibicarakan di lingkungan ini.
"Kamu melamun," kata El yang tiba-tiba sudah ada di depan Alana. Ketahuan banget kalau angannya sedang melayang-layang. "Itu hal aneh yang dilakukan seorang Alana," tambah El.
"Kamu tampak serius ngobrol dengan Pak Kristof pagi ini," kata Alana.
"Bukan hal penting," jawab El meski belum ada pertanyaan. "Hanya hal-hal yang sehari-hari kulakukan."
"Pekerjaan?" tanya Alana serius. Setahu Alana urusan paten sudah beres dan hanya tinggal menunggu hasilnya. Lagipula urusan paten tak ada hubungannya dengan perempuan.
"Memangnya ada topik lain yang bisa kubicarakan dengan bosmu?" Alana tersenyum saja dengan pertanyaan El yang ia tahu tak perlu dijawab. "Al, kamu suka jazz kan? Mau nonton jazz? Tapi artis ga jelas gitu sih, temanku yang main.."
"Kapan?" pertanyaan Alana ini entah bagaimana bisa menumbuhkan rasa riang yang meletup mungil di sudut hati El.
"Akhir pekan," lalu Alana melirik ke arah kanan atas sebagaimana orang yang sedang berpikir keras. El hampir saja mengeleng-gelengkan kepalanya melihat reaksi Alana yang menurutnya berlebihan.
"Boleh. Tampaknya aku luang. Di mana dan jam berapa?"
"Aku jemput saja, kamu siap jam 5, kita makan sesuatu dulu dan pertunjukan antara jam 7 sampai 11. Terserah kamu mau nonton sampai selesai atau tidak.. yang jelas sekitar jam 9 akan ada bincang singkat antara penampil dengan pendengar. Siapa tahu kau tertarik," kata El menjelaskan.
"Kamu jemput?" El mengangguk. "Kamu antar pulang juga?" El heran dengan pertanyaan Alana, ia sampai menoleh memandang Alana.
"Ya iya lah, emang aku cowok apaan?" protes El terdengar serius hampir serupa tersinggung. Alana tertawa. Ia menikmati reaksi El ini.
"Cowok?" kata Alana setengah mengejek. Ia bahkan semakin keras tertawa. "Kamu pasti merasa masih jadi idola ya.. masih muda gitu?" Dan Alana masih tertawa. El semakin heran. Apa salah dia sih?! "El..", kata Alana setelah tawanya reda. "Kamu udah pantes dipanggil Om.. jangan ngaku cowok lagi dong.. " Dan Alana melanjutkan tawanya. Kali ini semakin keras. Dan El berusaha menikmatinya, meski terbersit rasa jengkel di benaknya.
Hari Sabtu sore ini terasa berbeda untuk El. Biasanya ia akan pulang ke rumah orang tuanya yang tak sebegitu jauh dari apartemennya, tapi kali ini ia pamit karena ada acara.
"Nonton Tian? Dia manggung di sini?" tanya Mama El. Tian adalah teman El waktu masih aktif di dunia hiburan, meskipun mereka bukan satu grup idola. El pensiun lebih dulu karena ingin mewujudkan hasratnya di bidang hukum, dan Tian terus melaju. Ketika namanya mulai surut, Tian memutuskan untuk menekuni bidang musik yang berbeda, jazz. Sejak awal sebenarnya Tian lebih suka jazz, tapi ia juga realistis bahwa jadi idola remaja jauh lebih laris dibandingkan musisi jazz. Dengan wajah dan tubuh yang istimewa, ia mudah menjadi terkenal. Dan kini, ia merasa sudah waktunya kembali kepada apa yang ia cintai, musik jazz.
"Iya, tapi sekarang jadi drummer jazz bareng sepupunya. Sekalian dia belajar jadi produser buat cari uang," jawab El.
"Ajaklah ke rumah kapan-kapan kalau Tian luang, sejak mamanya meninggal Tian jadi jarang maen ke rumah," kata Mama El di telepon.
"Tian ga pernah main itu karena aku kerja dan kuliah, Ma.. sudah beda jalurnya."
"Oh iya, Mama lupa kalau waktu itu kamu sudah kuliah S2. Oh ya, kamu nonton sama siapa? Kok ga ajak Mama..?" Goda sang Mama. Mama El berharap El punya pacar, setelah sekian lama.
"Ah, masa aku nonton jazz sampai tengah malam gitu ajak Mama.. mana tempatnya di kafe.. besok-besok aja kalau ada jazz di auditorium atau di hall hotel aku ajak Mama.." kata El beralasan. "Udah ya Ma.. aku udah hampir telat jemput teman," kata El ingin segera mengakhiri percakapan. Jika lebih panjang lagi bisa-bisa percakapan ini lebih sulit diakhiri.
"Temanmu cewek ya? Kok kamu jemput?!"
"Aduh Maaa... emang cowok ga mungkin dijemput??? Dulu aku juga sering jemput Tian buat latihan perform sebelum debut.." kata El beralasan tanpa menjawab dugaan mamanya. "Udah ya Ma.. bye..".
Tak seberapa lama setelah bertelepon, El melesatkan mobilnya ke arah alamat yang diberikan Alana. Dan entah mengapa ia agak kecewa ketika yang membuka pintu pagar rumah di alamat itu adalah Kristof.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?