El melajukan mobilnya ke sebuah arah yang Alana sendiri tidak tahu, pun enggan untuk bertanya. El temannya, dia pasti tahu apa yang Alana butuhkan. Alana masih sesenggukan dengan sisa-sisa tangis dan rasa sedihnya. Ia merasa kecewa, kecewa dengan dirinya sendiri, kecewa dengan apa yang ia alami. Kecewa dengan kebodohannya yang mau datang atas undangan Deano. Naif-nya Alana justru menunjukkan kebodohannya. Ternyata prasangka baik tak lagi cocok untuk Deano, pikir Alana.
Mobil terus melaju, sementara tatapan El masih terpaku dengan jalan yang sudah tak lagi ramai pertanda mereka memasuki pinggiran kota. Kanan kiri yang semula gedung-gedung bertingkat telah berubah menjadi hamparan sawah dan pepohonan yang membuat seketika udara menjadi sejuk.
"El, kita mau pergi jauh?" tanya Alana menyadari udara yang berbeda. Sejuk, menenangkan, dan menghibur. Bau tanah dan tanaman terasa memanjakan hidungnya, membersihkan kabut yang menyelimuti benaknya.
"Kita sudah mau sampai kok," jawab El. Ia menepi di dekat tembok putih yang tinggi dan tampak kuno. Lalu turun sebentar ke arah pintu kayu yang tampak kokoh dan berbicara dengan seorang bapak tua berpakaian tradisional. Tak lama El kembali ke mobilnya dan masuk melalui gerbang kayu itu. Alana merasakan sesuatu yang familiar, mengingatkan dia pada rumah orang tua El. Tapi ini bukan rumah itu. Tempat ini jauh lebih luas, dan terasa lebih sakral.
"Ayo!" El mengajak Alana turun. Mereka lalu berjalan melewati pagar dinding pendek yang sekali lagi menunjukkan umurnya yang sudah sangat tua. "Tempat ini adalah tempat peristirahatan bangsawan jaman dulu. Gazebo-gazebo itu dipakai untuk makan siang bersama di taman, sementara rumah utama ada di depan sana, karena kita tadi masuk melalui gerbang samping."
"Tempat ini mengingatkanku pada rumah orang tuamu," gumam Alana. El mengangguk-angguk.
"Rumah itu dibangun untuk menghadirkan suasana ini, Ayahku yang membuatnya. Dia sempat menikmati masa-masa menggunakan rumah peristirahatan ini sebelum kemudian dia sekolah di Jerman."
"Jadi ini milik keluarga ayahmu?" El mengangguk. Ternyata El masih keluarga bangsawan. Alana takjub dengan luas dan megahnya peristirahatan ini, serta megahnya rumah orang tua El, sementara El hidup secukupnya dengan apartemennya. "Ternyata kamu kaya raya," gumam Alana tanpa sengaja. El langsung tertawa. Alana melihatnya heran.
"Leluhurku kali yang kaya raya," kata El seperti bercanda.
"Berarti kau kan juga kaya raya," timpal Alana, tapi sekali lagi El menggeleng.
"Aku memang punya bagian yang mereka berikan padaku, tapi kupikir itu bukan milikku. Milikku adalah apa yang kudapatkan dari usahaku sendiri. Simpananku, investasiku, usaha dan kerja kerasku. Ini semua hanya bonus yang tidak pantas aku gunakan untuk menghidupi anak istriku," kata El filosofis.
"Kamu sudah memikirkan anak istri?" tanya Alana sedikit menggoda. "Memangnya kamu punya istri?"
"Memangnya mencari nafkah untuk anak istri harus dilakukan setelah punya istri? Kasihan istriku, dong! Dia sudah harus hidup denganku saat aku mulai mencari nafkah untuknya," jawab El yakin. "Aku harus mencarinya sejak sekarang, kalau tidak, kasihan istriku nanti, dia harus menahan lapar sampai suaminya dapat uang." Alana tertawa mendengarnya. Dia tidak menyangka kalau El berpikiran sejauh itu.
Angin lembut menerpa wajah mereka, diiringi cuitan burung-burung kecil yang entah bagaimana bisa sangat menghibur. Mereka terdiam menikmati suasana sore itu. Seorang perempuan paruh baya datang membawa nampan berisi makanan. Tersenyum penuh arti pada El sebelum meletakkan piring-piring makanan itu di atas meja. Alana menebak kalau perempuan itu mengira dirinya adalah pacar El, atau kurang lebih begitu.
"Alana, ini Bu Parti, istri bapak yang tadi membukakan gerbang untuk kita. Mereka sudah merawat peristirahatan ini bahkan sejak aku belum lahir. Orang tua Bu Parti dulu juga merawat tempat ini. Masakan beliau ini ennnaaaakkkk banget," kata El disambut senyum malu-malu Bu Parti.
"Jadi kapan nikahnya Mas El?" tanya Bu Parti langsung, sambil kedip-kedip manja.
"Eh, saya bukan calon istrinya Bu, saya cuma temannya," sela Alana cepat-cepat menyambut pertanyaan Bu Parti.
"Ah, masa cuma teman, soalnya Mas El nggak pernah ngajak teman ke sini, biasanya sendirian, atau mengantar Ayah sama Mamanya," kata Bu Parti sambil senyum-senyum. El sendiri juga hanya tersenyum sambil geleng-geleng ringan. Dia merasa hal ini tidak terlalu penting untuk diluruskan.
"Kok kamu diam saja sih, El," protes Alana setelah Bu Parti pergi.
"Lalu aku harus bikin pengumuman kalau kamu bukan calon istriku, begitu?" jawab El santai. Alana menggeram kesal. "Nanti juga mereka tahu kamu siapa, sama saja aku jelaskan juga tidak dipercaya." Lalu mereka kembali terdiam sambil menikmati makanan kecil tradisional yang disajikan Bu Parti.
"Kamu nggak tanya soal insiden tadi?" tanya Alana tiba-tiba. El menghela nafas. Ia tahu perasaan Alana dan ia ingin Alana tenang.
"Kalau kamu mau cerita, kamu pasti cerita, kalau nggak mau cerita, ya nggak apa-apa, yang penting kamu merasa lebih baik," jawab El dengan suaranya yang tenang dan hangat.
"Dua hari yang lalu Deano mengundangku untuk makan malam bersama istrinya. Dia juga berharap aku bisa mengajak teman atau pasangan. Dia bilang beberapa sahabat kami juga diundang." Alana bercerita dengan suara pelan, seolah terasa begitu berat. "Aku menolak karena itu makan malam, dan sebenarnya aku enggan berurusan lagi dengan Deano. Terserah aku mau dibilang gagal move on dan sejenisnya. Aku tak peduli. Aku benar-benar tak ingin bertemu lagi dengannya. Lalu kemarin dia menelponku, mengatakan istrinya yang mengundangku makan siang. Kupikir bukan hal yang aneh kalau aku makan siang dengan mereka, jadi aku setuju untuk datang."
"Kenapa nggak ajak pacarmu?" Alana diam saja dengan pertanyaan El. "Kamu nggak bilang ya sama dia?" Alana menggeleng pelan. "Akan berbeda kalau kau mengajak teman, entah itu pacarmu, atau temanmu yang lain."
"Kupikir aku juga butuh mengucapkan selamat tinggal sendiri, El," kata Alana setelah beberapa saat terdiam.
"Aku pikir kamu sudah mengucapkan selamat tinggal bahkan sebelum acara pernikahan mereka," timpal El yang sebenarnya agak terkejut.
"Semula kupikir juga begitu, tapi hubungan kami sekian lama sepertinya tidak bisa hilang seperti asap di exhaust fan," jawab Alana pelan. El menghela nafas.
"Mungkin kamu terlalu banyak berpikir, Al.. letakkan saja, biarkan saja, dan hiduplah untuk kebahagiaanmu sendiri," kata El pelan, bersama semilir angin yang entah bagaimana mampu membuat kata-kata El masuk dalam relung hati Alana. Bahkan ia pun merasakan sejuk dalam hatinya.
"Kamu sendiri makan dengan siapa di sana?" tanya Alana tiba-tiba.
"Ladya." Alana menoleh mendengarnya. El makan siang dengan mantan pacarnya, pikir Alana tak tertahan.
"Kalian.. berbaikan?" tanya Alana pelan, seolah ia sebenarnya tak ingin pertanyaan itu terlempar, tapi ia tak kuasa. Entah mengapa terbersit rasa lega ketika El menggeleng.
"Maunya Ladya begitu, tapi tidak buatku."
"Karena dia janda?"
"Tidak sesederhana itu. Buatku kami sudah selesai. Bahkan sudah sejak lama, sebelum kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami." El menerawang seperti mengingat kembali apa yang sudah terlampaui dan alasan-alasan yang membuatnya ingin mengakhiri semuanya. "Ternyata 'menerima apa adanya' itu tidak semudah yang kita ucapkan kan Al?" kata El sambil tersenyum. Alana membalas senyumnya dan kembali menikmati angin sore yang benar-benar menenangkan. Alana bersyukur dia ada di sini. Ya, ia sangat mensyukuri sore ini, semilir angin ini, dan perasaan yang ia resapi sore ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomansaCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?