Erlangga melangkah pasti ke lantai bawah tanpa repot-repot menyapa orang-orang di dalam lift yang sebagian menatap kagum padanya. El, sebagaimana ia biasa disapa, masih saja merasa jengah diperhatikan seperti itu. Dulu ketika ia menjadi bagian dari sebuah grup penyanyi remaja, ia harus selalu tersenyum menyambut tatapan kagum para penggemarnya. Ia bersyukur tak lagi harus berpura-pura seperti itu. Ia juga sangat bersyukur pagi ini tak ada yang mengungkit-ungkit masa lalunya atau bahkan meminta tanda tangan atau foto bersama, atau bahkan menanyakan mengapa ia berhenti menjadi idola.
Ruangan yang ia cari ternyata tak jauh dari ruangan yang tadi ia kunjungi. Ia menemukan seorang perempuan berkaca mata yang serius menekuri beberapa lembar kertas dan layar komputer. Erlangga terdiam. Ia merasa perempuan itu tampak menarik dengan keseriusannya.
"Permisi," katanya. Perempuan itu mendongak dan membuat bibirnya sedikit terbuka. Warnanya bukan warna lipstik, bahkan tampaknya perempuan ini tidak pakai riasan sama sekali. "Dr. Alana ada?" dan perempuan itu hanya mengangguk. "Di mana?" dan ia menunjuk dirinya sendiri. Oh, jadi dia dr. Alana. Sombong sekali, pikir El.
"Pak Kristof sudah bilang kalau mungkin aku bisa membantu. Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Alana lugas. El mengangsurkan beberapa map berisi kertas-kertas yang tampak merepotkan. Alana berusaha tersenyum untuk mencairkan suasana. Tatapan tajam pria di depannya benar-benar membuat suasana ruangan itu jadi berbeda.
Pria itu menjelaskan apa yang harus Alana lakukan dengan form-form itu. Tampaknya akan makan waktu, tapi Alana akan berusaha menyelesaikannya segera. Bayangan manuskrip yang belum selesai membuatnya harus kerja cepat dengan kertas-kertas aplikasi ini.
"Apa mungkin kertas-kertas ini ditinggal lalu nanti kau ambil lagi?" Alana memberanikan diri untuk bertanya. Lelaki itu menggeleng pasti.
"Setelah diisi, aku segera scan, menyusunnya dengan syarat-syarat yang lain, lalu mengirim berkas-berkas itu via email. Hard copy-nya harus aku bawa besok pagi-pagi untuk dicocokkan dengan berkas yang aku email."
"Aku bisa membantumu untuk email dan scan," kata Alana menawarkan.
"Itu tidak berarti banyak kalau besok tetap aku yang berangkat ke Pusat. Proses verifikasi bisa sangat merepotkan dan makan waktu kalau bukan penyusun berkas sendiri yang membawanya."
"Artinya kalau aku yang scan dan email, aku juga yang harus melakukan verifikasi di sana?" Pertanyaan Alana dijawab dengan anggukan. Pria ini tampak lebih sombong daripada tadi, pikir Alana. Lalu ia segera mengisi kertas-kertas itu agar pria satu ini segera pergi dari hadapannya.
El bersyukur membawa sebagian pekerjaannya ke bawah. Ia jadi bisa bekerja selagi menunggu Alana mengisi form-form yang entah mengapa bisa berlembar-lembar. Untung saja sepertinya Alana adalah orang yang cukup sabar dan teliti, jadi mestinya ini bukan masalah untuknya.
Alana menghela nafas panjang dan sengaja ia perdengarkan ketika ia menyelesaikan lembar terakhir form pengajuan hak kekayaan intelektual. El mendongak dan melihat semburat kelegaan di wajah Alana. Ia tarik map dan kertas-kertas di depan Alana untuk ia teliti tanpa permisi, membuat Alana semakin menganggapnya angkuh. El harus mengakui kalau isian Alana semuanya sesuai dengan apa yang ia harapkan. Ia tak perlu lagi menjelaskan apapun untuk Alana. Ia bisa pergi dengan tenang besok pagi dan mungkin bisa pulang lebih awal kalau semuanya lancar.
El menghela nafas panjang ketika ia selesai mengurus berkas-berkas pendaftaran. Pulang awal hari ini bisa terlaksana seperti yang ia harapkan. Pesawatnya masih empat jam lagi, tapi El lebih suka menunggu di bandara. Meminimalkan kemungkinan untuk ketinggalan pesawat.
Sepuluh menit sebelum boarding gate dibuka, ia mendapatkan telepon dari kantor yang pagi ini ia kunjungi. Berkas aplikasi yang ia bawa bisa diproses cepat dan esok pagi pemohon diundang untuk wawancara dan presentasi. Seketika ia kecewa. Rencananya pulang langsung pupus sia-sia.
El segera menghubungi Kristof dan ia langsung mendapatkan jawaban "tidak". Kristof beralasan kalau Alana yang lebih mendalami semua aplikasi itu. Ia hanya bertindak sebagai atasan langsung saja.
Untung saja Alana langsung bersedia datang, dengan syarat ia bisa datang dengan pesawat paling malam. El tak masalah dengan syarat itu. Yang jadi masalah adalah ia tak membawa surat jalan untuk menginap, artinya ia tak bisa menggunakan fasilitas kantor untuk menginap, sementara proses reimbursement di kantornya tak semudah untuk para peneliti. Ups, ia jadi ingat kalau Alana adalah peneliti. Jadi tak ada salahnya ia tunggu sampai Alana datang.
Pesawat Alana akhirnya datang pukul delapan. El menunggunya di pintu kedatangan dengan penuh harapan. Ia sudah menghitung bahwa harga 2 kamar standard di hotel bintang 4 untuk semalam masih masuk alokasi anggaran untuk peneliti sekelas Alana.
"Untuk apa aku memesan 2 kamar atas namaku sendiri?" tanya Alana dengan datar. Tanpa perasaan.
"Aku tidak bisa mengajukan reimbursement untuk penginapan dan makan besok seharian, belum lagi biaya pesawat pulang." El beralasan. Alana tersenyum singkat mendengarnya.
"Kau keberatan menginap denganku? Karena itu yang paling memungkinkan." El merasa tak punya pilihan.
Untung saja Alana punya privilege untuk fasilitas yang lebih baik. Ia bisa memesan junior suite sampai dengan 3 malam atas kompensasi penghematan karena ia tak menggunakan fasilitas pesawat kelas bisnis selama ini. Dengan junior suite, El bisa tidur sangat nyaman di sofa ruang tamu terpisah dari tempat Alana tidur.
"Kamu tampak lapar, mau makan?" tanya Alana ketika El keluar dari kamar mandi. El mengangguk saja.
Semula El menduga mereka akan makan di restoran hotel. Tapi Alana terus saja berjalan keluar dari hotel. Tanpa bertanya El mengikuti saja langkah Alana dan ia semakin terkejut ketika Alana berbelok ke semua warung tenda. Alana menyapa akrab penjualnya seolah mereka adalah teman lama. Alana hanya menyebutkan pesanan El dan hanya menyebut "biasa" untuk dirinya. Lalu mereka berbincang akrab, mulai soal keluarga, sekolah anak, kesehatan kerabat, sampai tetangga kampung. Mungkin saja mereka dulu bertetangga, pikir El.
Sekitar setengah jam mereka makan sambil berbincang, dan tibalah pada saat yang El paling benci.
"Jadi kamu sudah nggak sama dokter Anestesi lagi, Lana?" tanya si penjual. Alana tersenyum sambil menggeleng. "Lalu cowokmu ini kerja di mana?" tanya si penjual lagi seolah El tak kasat mata."Dia pengacara.. kerja di tempatku." Jawab Alana juga seolah El tak pernah ada.
"Wah, asyik dong yaa... " dan penjual itu masih sempat mengedipkan sebelah mata pada Alana. Alana juga sempat tersenyum simpul. Entah apa maksudnya. El saja yang merasa sangat tidak nyaman.
"Maaf ya kalau kau jadi tak nyaman soal yang tadi, tapi perutmu kenyang kan?" kata Alana pada El sebelum mereka ke tempat tidur masing-masing. El hanya membalasnya dengan senyum sebelah bibir.
"Asal kamu tahu saja, ada hal yang lebih tidak nyaman bagiku mulai malam ini dan seterusnya. Orang-orang di lembaga takkan membiarkan kita lolos," lanjut Alana. Senyum sebelah El pupus seketika. Ia tak menduga kalau akan ada konsekuensi yang jauh lebih tidak nyaman setelah ini. Namun hal itu tak menghalanginya untuk tidur nyenyak malam ini. Ia berpikir daripada menduga-duga, lebih baik ia tunggu saja konsekuensi yang Alana katakan. Bisa saja itu hanya gertak sambal Alana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?