El mengemasi berkas-berkas yang selesai dia kerjakan dari mejanya. Ia ingin sore ini mejanya bersih. Akhir pekan ini akan cukup sibuk untuknya. Minggu depan ia ditugaskan untuk belajar lebih dalam tentang Intellectual Property Rights, sengketa hak cipta, dan mitigasinya. Kursus itu menawarkan beasiswa dan El melamarnya atas ijin Kepala Pusat Lembaga. Ia tak menyangka mendapatkan beasiswa itu dan akan menjalaninya selama tiga bulan ke depan di Swedia. Cukup jauh memang, tapi El merasa itu penting untuknya dan pekerjaannya. Jadi hari ini dia akan pulang lebih awal dan berpamitan pada orang tuanya, mumpung ayahnya juga ada di rumah. Ia berencana untuk mengunjungi Alana besok siang dan membeli beberapa keperluan untuk dinasnya. Hari Senin malam ia akan berangkat dan ia ingin semuanya beres di pagi hari. El selalu penuh perhitungan.
El memanfaatkan minggu pagi untuk berolah raga sebentar sebelum mempersiapkan beberapa hal yang ingin ia titipkan pada Alana. Ia sendiri bingung akan menitipkan apartemennya pada siapa. Menitipkan apartemen pada Mamanya hanya akan membuatnya lebih manja, dan ia tak ingin Mamanya jadi lebih repot ketika ia pergi. El juga tak punya teman yang cukup dekat, hanya Alana saja yang menurutnya cukup dekat dan tidak keberatan untuk menolongnya. Kalau pun pada akhirnya Alana keberatan, Mamanya adalah pilihan terakhir.
"Makan yuk!" ajak Alana ketika El tiba di rumahnya. El memang belum makan dan berencana mengajak Alana makan di luar, tapi ternyata di rumah Alana ada banyak makanan.
"Kamu masak? Masa' sih?!" tanya El tak percaya melihat banyaknya makanan di ruang tengah. "Mana ini makanan pesta, nggak mungkin lah kamu yang masak," kata El masih tak percaya. Sementara Alana sendiri hanya senyum-senyum dikulum, seolah memang ada yang ia sembunyikan atau setidaknya menunggu untuk diceritakan.
"Duduk deh, aku cerita sambil makan," lalu Alana mengambil piring dan gelas untuk El, dan mempersilakan El mengambil makanan lebih dulu. "Beberapa hari terakhir ini Ibu dan Pamanku datang kemari, keluarga Mas Kristof berkunjung untuk berkenalan," ujar Alana santai. El terdiam. Makanan yang sudah siap ia santap di depan mulutnya pun berhenti. Mulutnya tetap menganga tapi makanan itu tidak bergerak. Seketika saja mulutnya kering seolah belum ada apapun yang masuk seharian ini.
"Kenalan? Lamaran maksudmu?" tanya El mencari kejelasan. Denyut jantungnya tetap, tidak semakin cepat, tapi seolah memukul-mukul dinding dadanya lebih keras.
"Nggak sih, belum.. Ibu dan Pamanku maunya kenalan dulu, nanti sebulan atau dua bulan ke depan baru lamaran. Tanggalnya akan ditentukan Pamanku di kunjungan balasan nanti. Itu rencananya," kata Alana santai.
"Kok kayanya kamu santai banget sih, nggak kaya cewek-cewek itu yang jejingkrakan kalau mau dilamar," kata El dengan lebih tenang, ia bahkan sudah bisa kembali mengunyah makanan yang berhasil ia suapkan. El sudah bisa menguasai dirinya, menjaga raut wajahnya tetap sama seperti tadi meskipun itu hampir mustahil untuknya.
"Aku sudah bukan perempuan muda yang meletup-letup, El, lagipula acaranya sudah tadi malam, jejingkrakan-nya sudah kemarin kali.. " jawab Alana santai. El melihatnya dengan tersenyum meski terasa aneh dalam benaknya. Apakah mungkin Kristof sudah menyelesaikan soal perjanjian dengan mantan istrinya? Atau mereka sudah bersepakat? El sangat tergelitik untuk menanyakannya.
"Ternyata kalian cepat juga ya langkahnya," kata El menuruti keingintahuannya pelan-pelan. Alana hanya tersenyum mendengarnya. "Sudah kamu pikirkan baik-baik ya.."
"Maksudmu El?" tanya Alana cepat. Dia bahkan berhenti dari makannya.
"Yah, Pak Kristof kan duda, beda lah sama dilamar bujang," katanya santai. El pura-pura mengamati makanannya dan menyisihkan bulir-bulir potongan cabai. "Gimana dengan anaknya, gimana dengan keluarganya.. hal-hal kaya gitu lah.."
"Hmm.. iya sih, itu juga yang ditanyakan Ibu dan Pamanku. Tapi kurasa aku siap kok dengan hubungan ini, dengan Grady juga. Kami juga sudah akrab, kupikir apa lagi yang kuragukan," kata Alana yakin.
"Baguslah kalau kamu sudah tahu, jangan sampai terlalu banyak kejutan setelah kamu menikah nanti, cukup sedikit aja kejutannya." Mereka tertawa dengan gurauan El, tapi di lubuk hati El masih ragu dengan apa yang dikatakan Alana. El tidak yakin Alana tahu tentang klausul perjanjian Kristof dengan mantan istrinya soal hak asuk anak. Tapi El juga sadar kalau tidak ada hak baginya membuka masalah itu. El tahu betul itu.
"Al, aku mau minta tolong nih," kata El setelah makan. Alana mengangguk dan menyuruhnya mengatakan pertolongan apa. "Aku ada kursus sekitar seratus hari ke depan, jadi aku mau titip apartemenku. Ada beberapa tanaman yang butuh disirami, dan jendela-jendela yang butuh dibuka setidaknya seminggu sekali. Ada nomor jasa pembersih yang sering kuhubungi, aku sudah deposit cukup untuk lima sampai enam kali pembersihan dan laundry. Kamu tinggal hubungi mereka dan tunggui mereka saat bekerja. Seminggu atau dua minggu sekali kamu datangi apartemenku sudah cukup."
"Oh itu, boleh, lagipula dekat dengan kantor jadi aku juga bisa numpang tidur siang," katanya bercanda. El tertawa. Ia yakin Alana takkan mau tidur di ranjangnya. Alana terlalu sopan dan baik untuk melakukan itu.
"Aku nggak bisa minta tolong Mama karena akan terlalu jauh untuk seminggu atau dua minggu sekali ke apartemenku. Sementara teman-teman cowokku nggak bakal beres kalau dititipi apartemen, bisa-bisa aku pulang sudah ganti pemilik itu apartemen," canda El setengah serius.
"Iya lah, kasihan Mama kamu, aku bisa kok mengurusnya. Cukup kamu sembunyikan aja barang-barang pentingmu. Kunci di almari atau di mana yang aku nggak perlu tahu." El mengangguk. Baginya tak ada yang terlalu penting dalam apartemennya. Hal yang penting ada di kotak deposit-nya di bank.
"Ok, kabari aku lamaranmu ya.. kirim foto atau video, nanti aku kirim vlog dari sana. Kalau ada tempat atau orang yang kamu ingin aku kunjungi, bilang saja, aku ada libur setiap hari Kamis, Sabtu, dan Minggu. Jumat adalah library time jadi bisa aku atur." Dan El pun menyerahkan kunci apartemennya dan beberapa hal yang perlu ia tinggalkan, lalu pamit.
"Siapa yang mengantarmu besok?" tanya Alana di ambang pintu.
El menggeleng pelan. Ia memilih untuk tidak diantar siapa pun, ini penerbangan malam dan ia ingin sekali menikmatinya tanpa mengucapkan selamat tinggal. El memang kadang sentimental seperti itu, hanya pergi seratus hari saja seolah ia takkan kembali lagi. Tapi kali ini berbeda. Ia tahu ketika ia kembali, mungkin Alana takkan pernah lagi sama untuknya.
Musim gugur di Swedia terasa begitu dingin, apalagi di masa perubahan iklim global seperti ini, pergantian musim seperti sulit diprediksi. Jaket-jaket yang ia bawa seolah tidak mampu menghalanginya dari kedinginan. Sementara orang-orang lain masih menggunakan dua lapis pakaian, ia sudah hampir seperti gumpalan selimut. Tapi semua membaik sekitar sepuluh hari setelah ia tiba. Mungkin karena banyak distraksi. Ia sibuk dengan membaca dan menulis tugas-tugas. Ia juga kembali memasak seperti saat pascasarjana dulu. El membayangkan kalau ia akan kembali seperti ini ketika nanti ia sekolah doktoral. Tapi itu masih sebatas rencana.
Kebetulan El mendapatkan akomodasi di gedung asrama mahasiswa doktoral, ia jadi bisa berkenalan dan bertukar pikiran dengan mereka. Soal sekolah, makan, pesta para mahasiswa, dan banyak hal. Sebagian dari mereka sudah berkeluarga dan membawa keluarganya serta, El jadi merasa hangat berada di tengah-tengah sebuah keluarga. Dan El sadar kalau dia membutuhkan ini. Sebuah keluarga. Sesuatu yang begitu jarang ia dapatkan sejak kecil. Keluarga yang lengkap dan hangat.
Malam ini ia kembali dari perpustakaan lebih larut daripada biasanya. Meskipun perpustakaan tak jauh dari asramanya, tapi jalan kaki di tengah malam berangin dingin adalah tantangan tersendiri. Setelah mandi air hangat, El merasa begitu lelah dan mengantuk. Untung saja bahan presentasi minggu depan sudah beres ia siapkan. Akhir pekan ini dia ingin jalan-jalan dan mengambil beberapa gambar. Dia memikirkan apa yang sekiranya disukai Alana untuk balasan kebaikannya merawat apartemen. Atau sekalian hadiah pernikahan untuknya. Ya, El harus mulai memikirkannya. Hadiah pernikahan untuk Alana. Dan entah mengapa memikirkan itu membuat hatinya jadi hampa. Apalagi ditambah kiriman foto-foto lamaran Alana yang tiba-tiba saja berjejalan masuk memberondong ponselnya. Bahkan ada satu video pendek, menyoroti bagaimana Alana mengangguk menerima lamaran Kristof. Entah bagaimana hanya itu saja bisa membuat kamar El terasa semakin dingin, padahal pemanas ruangan menyala dengan profesional dan bertanggung jawab. Dan tak ada pilihan lain bagi El selain tidur, berharap malam segera berlalu dan ia bisa menghibur dirinya sendiri dengan jalan-jalan ala fotografer yang sudah ia rencanakan. Tak lupa ia kirim ucapan selamat lewat pesan teks, tanpa embel-embel apapun, hanya kata "Selamat". Itu pun ia berusaha mengumpulkan ketulusan yang tersisa. Tak lama ia pun terlelap dalam gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?