Diskusi Tengah Malam

415 56 1
                                    

Malam itu El setuju menyewa tanpa melihat kamarnya. Tidur di depan tivi pun akan ia bayar asal itu di apartemen Alana, pikirnya. El tidak menyangka hatinya akan berlompatan menemukan Alana kembali. Ada rasa ngilu yang tertinggal, tapi ia jauh terlalu bahagia untuk merasakan sakit itu. Malam itu ia pamit setelah makan malam, berjanji esok hari akan mulai membawa pakaiannya. Ia membawa satu koper besar pakaian dan satu koper besar buku dan alat-alat belajarnya, karena ia datang dalam rangka tugas sekolahnya. Memberikan workshop merupakan salah satu kegiatan dalam proyeknya bersama Profesornya, dan kali ini di Rotterdam selama dua bulan. Sebelumnya sudah dilakukan di Jerman dan Swiss. Karena ini kali ketiga, supervisornya tidak ikut datang, jadi El hanya bertiga dengan anggota timnya. Dua orang anggotanya berhasil mendapatkan apartemen sejak awal, sementara El mendapatkan akomodasi hotel. Dia ingin menabung jadi memilih untuk mencari pondokan. Apalagi akhir tahun nanti Mamanya akan datang berlibur, lumayan bisa untuk uang saku liburan bersama Mamanya. 

Ah, Mama. Mama pasti senang bertemu lagi dengan Alana, pikir El. Tapi nanti-nanti saja Mama tahu soal Alana. Bisa-bisa Mama minta berangkat segera kalau tahu El bertemu Alana. El hanya berkata kalau berhasil mendapatkan pondokan yang murah dari rekan senegara di Rotterdam. Murah, bersih dan tidak jauh dari Erasmus, jelas El pada Mamanya. Karena barangnya hanya sedikit, tidak sulit El membereskan barang-barangnya. Setelah mandi air hangat, ia turun ke dapur untuk membuat teh hangat. Rasa lelahnya malah mengusir kantuknya. Sementara di luar sana beku beberapa derajat celsius, ia merasa hatinya hangat. Mungkin karena ia bertemu Alana. Tak disangka, Alana juga sedang minum teh sambil menekuri laptopnya di depan tivi. 

"Kamu nggak tidur, Al?" kata El sambil turun dari tangga. Alana mendongak dan tersenyum. Itu saja sudah membuat hati El seperti terguyur. Apakah keputusan tinggal di sini adalah keputusan yang tepat?, pikir El. 

"Masih sore El," jawab Al pendek. Jam sudah menunjukkan 20 menit lepas dari pukul 10 malam. "Eh, di sini ada teh lho, aku bikin satu teko." Lalu El menghampiri sahabatnya dan duduk di sofa, mengintip apa yang Alana kerjakan. 

"Kamu suka mengajar," ujar El pelan. Alana menengok ke arahnya dan mengangguk. "Mungkin sebaiknya kamu pindah homebase, Al, homebase di  universitas akan lebih cocok buatmu."

"Mungkin, sedang aku pikirkan. Aku juga dapat tawaran mengajar di sini, tapi kontrakku dengan lembaga tidak bisa diubah. Aku harus kembali setidaknya tiga tahun, setelah itu baru bisa pindah kemari," kata Alana. El mendengarnya seksama. Ia sendiri juga dapat tawaran untuk mengajar di Swedia, bersama Profesornya. Tapi sama dengan Alana, kontrak dengan lembaga harus dipenuhi dulu, baru dia bebas memilih. Setelah menyesap teh buatan Alana, El duduk di samping Alana lagi. Memperhatikan gadis itu serius dengan pekerjaannya. Tanpa sadar El tersenyum. Pikirannya melayang-layang pada malam-malam ia terjaga, bertahan pada pilihan untuk tidak menghubungi Alana sementara hatinya berteriak sebaliknya. Betapa sulit masa-masa itu. 

"El, kamu kangen nggak sih sama aku?" tanya Alana tiba-tiba. Wajahnya tetap menatap layar laptop membuat El kebingungan menebak ekspresinya. "Atau aku ada salah ya sama kamu sampai kamu nggak menghubungiku beberapa tahun ini?" 

"Kamu tahu aku nggak suka jadi tempat sampah," jawab El sekenanya. Tidak menjawab pertanyaan Alana.

"Iya sih, tapi kamu jahat meninggalkanku sendirian." Alana mengulang kalimat itu lagi, menusuk hati El lagi. "Aku benar-benar kalut dan sendirian. Aku tak bisa membicarakan masalahku pada sembarang orang, meskipun banyak orang mau mendengarkan," kali ini Alana bercerita sambil menatap El. Ia sudah tutup laptopnya. "Bicara denganmu membawaku kembali pada akal sehat," lanjut Alana, "but you weren't there."

"Kalau aku ada di sana, aku bakal jadi pelarianmu, itu nggak bagus." Alana terkejut dengan jawaban El. 

"Kamu tu selalu percaya diri ya?!" kata Al dengan nada tidak percaya. Tapi El tersenyum. Dan Alana pun mengangguk. "Tapi kamu benar, kalau ada kamu, aku hanya akan bergantung padamu. Aku nggak akan sekuat sekarang."

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang