Perjalanan Baru

615 73 1
                                    

Alana memulai pagi ini dengan senyuman. Selain artikel ilmiahnya tembus untuk dimuat di berkala ilmiah internasional, permohonan hak paten sudah selangkah lagi lebih maju. Bayangan bonus yang cukup besar ada di depan mata. Sebentar lagi dia bisa menikmati hasil kerja keras dan kerja cerdasnya selama ini. Bukan soal besarnya bonus sebenarnya, tapi pencapaian yang ia lakukan yang membuatnya bahagia. Dan satu lagi, Alana bukan jomblo lagi. 

"Tapi di kantor tetap seperti biasa aja ya," syarat Alana saat menerima ajakan Kristof. Kristof tersenyum dan menyetujuinya. 

"Bukan berarti kita harus merahasiakannya, kan?" tanya Kristof. "Pasti orang-orang akan segera tahu kalau kita punya hubungan," tambahnya. 

"Ya tapi nggak buat diumumkan juga, Pak," jawab Alana di mobil. 

"Gimana kalau kamu nggak panggil 'Pak' lagi?" 

"Mungkin di luar kantor," jawab Alana dengan senyum. 

Kantor lembaga pun seolah berubah jadi taman bunga di musim semi bagi Alana, semuanya indah, warna-warni dan wangi. Ia berusaha bersikap biasa saja, tapi tetap rasanya lain. Bahkan jam makan siang pun terasa lamaaaaa sekali. Sementara itu menurut Alana Kristof tetap saja bisa biasa saja. Tetap serius dengan kertas-kertas dan pekerjaannya. Alana jadi malu sendiri.

Alana dan Kristof mungkin tetap bisa bersikap biasa saja sampai kantor tidak ada yang tahu tentang hubungan mereka. Namun bukan El kalau tak bisa melihat perubahan pada sahabatnya. Alana masih sering makan siang bersamanya, tapi lebih sering Alana pergi makan siang sendiri atau membawa bekal. Alana juga sudah jarang nonton jazz bareng dengan El lagi, atau malah pergi nonton sendiri (tanpa El). Entah sebenarnya dia pergi benar-benar sendiri, karena Alana kadang melakukan hal itu, atau sebenarnya dia bersama orang lain. Tapi El yakin kalau Alana pergi dengan orang lain, dan ia tahu persis siapa orangnya. 

"Al, akhir pekan depan kuajak jemput Grady di airport ya," ajak Kristof. "Dia pulang karyawisata dan Ibunya harus pergi pemotretan di luar negeri. Jadi selama seminggu Grady akan bersama kita," Alana mengangguk mengiyakan. Tak lupa ia memasukkan rencana itu ke dalam agendanya agar tidak lupa. Lalu ponselnya berdering. Dari El. Raut wajah Kristof berubah ketika melihatnya. 

"Ya El," sapa Alana.

"Minggu depan? Hmm.. aku sudah ada rencana, tuh," jawab Alana setelah mendengar beberapa saat. Tampaknya El mengajaknya pergi atau melakukan sesuatu bersama. 

"Ok, kalau begitu nanti sore kutunggu di rumah ya," lalu Alana mengakhiri pembicaraan. 

"Kenapa El? Mau ke rumahmu? Ngapain?" Kristof memberondong Alana dengan pertanyaan. 

"Mama-nya El minta diracikkan teh yang pernah aku buat di rumahnya dulu, katanya lebih enak. Nah, ini El mau beli tehnya, lalu aku racikkan." Kristof mulai merasa 'insecure'.

"Kamu pernah ketemu Mamanya El? Ngapain?"

"Aku main ke rumah orang tuanya El, karena aku nggak enak El nggak jadi ke rumah orang tuanya karena menemaniku nonton jazz. Sebagai gantinya aku menemani El ke rumah orang tuanya, nggak jauh kok," kata Alana santai. Dia tidak tahu kalau Kristof seolah kebakaran jenggot mendengar penjelasannya. Ternyata diam-diam El sudah melakukan banyak terobosan. 

"Kamu dikira pacarnya dong, dibawa ketemu orang tuanya," sindir Kristof kesal. 

"Nggak lah Mas, orang tuanya El nggak sekuno itu, kalau anak cowoknya datang bawa cewek dianggap calon menantu," bantah Alana, karena seperti itu yang ia lihat. "El itu jarang sekali bawa teman ke rumah orang tuanya, makanya setiap siapa pun yang datang selalu dianggap teman keluarga. Apalagi El itu anak tunggal, ayahnya orang sibuk, Mamanya kesepian. Padahal rumahnya segede mal!" Kristof semakin keki dengan penjelasan Alana yang panjang lebar. 

Kristof sudah tidak memikirkan lagi soal El yang mengajak Alana ke rumah orang tuanya. Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban Alana, tapi Kristof berusaha percaya penuh pada Alana. Apalagi sebentar lagi Grady akan tinggal dengannya dan akan menghabiskan banyak waktu dengan Alana juga. Menurut Kristof ini jauh lebih penting untuk disyukuri daripada memikirkan El. Untuk menyambut Grady, Alana ingin membuat makanan yang disukai Grady agar ketika dia datang, Grady merasa disambut. Sore ini mereka pun pergi berbelanja di supermarket. 

"Alana?" sebuah suara yang pernah Alana dengar menyapa di belakang. Alana menoleh dan mendapati Mama El sedang mendorong trolley belanjaan. 

"Eh, Tante.. apa kabar? Kok belanja di sini?" aneh melihat Mama El belanja di lingkungannya, karena masih ada supermarket yang lebih dekat dengan rumah Mama El. 

"Iya, El agak nggak sehat jadi Mama temani. Tadi juga Mama sudah diusir-usir sama si El, alasannya biar El bisa tidur, tapi mana Mama tega wong dia tinggal sendirian aja. Kalau ada apa-apa kan nggak ada yang tahu," tersirat nada khawatir dalam suara Mama El. "Tapi setelah belanja dan masak, Mama sudah janji mau pulang. Biar nanti Mama monitor dari rumah."

"Nanti Alana telpon juga Tante, Alana malah nggak tahu kalau El sakit."

"El memang begitu, kalau belum ambruk aja belum mau kasih tahu Mama kalau dia sakit. Alana sendirian?" 

"Mm.. nggak kok Tante," jawab Alana malu-malu. Tapi Mama El cepat tanggap seperti tim SAR. 

"Oooh.. sama pacar ya," dan Alana tersenyum semakin malu-malu. Mama El sudah menganggapnya sebagai jawaban. Apalagi Kristof tampak mendekat dan menunjukkan kalau ia datang bersama Alana. "Kalau begitu Mama duluan ya, kasihan El kalau kelamaan sendirian." 

"El?" tanya Kristof ketika mereka dalam perjalanan pulang. 

"Iya, itu tadi Mamanya El, lagi nemenin El karena El sakit. Apartemennya ga begitu jauh dari kantor lembaga."

"Kaya anak-anak aja ditunggui Mamanya."

"Mamanya yang kuatir karena El sendirian pas sakit." 

"Memangnya dia nggak punya teman? Atau pacar?" tanya Kristof terdengar kesal. Kenapa masih saja ada El di sekitarnya, pikirnya.

"El itu sebenarnya introvert, nggak mudah bergaul dengan orang banyak. Dulu waktu jadi artis saja dia kelihatan rame dan asyik, tapi aslinya dia katanya ya begini," ujar Alana, semakin membuat hati Kristof panas. 

"Kamu kok tahu banget soal El," tanya Kristof dengan nada curiga. 

"Kami berteman, Mas. Cuma itu.. mungkin saja dia nyaman berteman denganku jadi bisa terbuka. Meskipun menurutku ya aku nggak segitunya kenal El, banyak yang aku nggak tahu dan dia tak pernah cerita."

"Dia suka kali sama kamu," kata Kristof masih dengan nada tidak suka. Alana hanya tersenyum. 

"Mas Kristof terganggu banget ya sama El, kenapa sih?" goda Alana. Kristof tidak menjawab, dia yakin Alana tahu apa jawabannya. "Kami berteman kok, El juga menganggapku temannya. Aku yakin dia sangat menghargai temannya karena dia tak punya banyak teman." Yah, Kristof berharap itu benar. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang