A Lonely Year

365 54 3
                                    

Alana memulai lagi hari-harinya seperti biasa setelah melewati beberapa minggu penuh dengan rasa enggan pergi ke kantor. Berangkat ke kantor, menghidupkan komputer dan mengecek email, menuliskan rencana hari ini dan memeriksa kembali rencana mingguan dan bulanannya. Lalu mulai mengerjakan satu demi satu pekerjaan sesuai rencananya tadi. Ketika makan siang menjelang, ia merapikan lagi mejanya, mematikan monitor komputernya, lalu menuju lift. Secara otomatis ia memencet angka yang lebih besar daripada lantainya dan melangkah keluar saat lift sudah sampai. Di ambang pintu ia terhenti. Benar-benar berhenti dan menyadari sesuatu. El tidak ada di mejanya. El sudah pergi. Tidak ada gunanya ia menghampiri El untuk mengajaknya makan siang. Dengan malu Alana melangkah kembali ke arah lift tanpa menyapa siapapun. Ia makan di kantin dengan tenang dan cepat. 

Entah Alana sadari atau tidak, kejadian itu bukan yang pertama atau yang terakhir. Beberapa kali ia terpergok teman sekantor sedang menuju lantai El, tapi kemudian beralasan salah pencet tombol. Kadang Sekretaris bagian Hukum yang mengingatkannya kalau El sudah tidak di mejanya lagi. Alana pun harus mundur teratur dengan wajah malu. Dan untuk ke sekian kalinya ia menyadari kalau ia merindukan El. 

Alana rindu respon El yang seolah enggan. Alana rindu nasihat-nasihat El yang tidak seperti wejangan, lebih seperti gurauan tidak penting. Alana rindu ide-ide El yang membawanya pada petualangan makan siang yang berwarna-warni. Alana rindu bagaimana sikap El yang cuek ketika dia curhat. Alana juga rindu bagaimana El menganggap semua masalah dalam hidup Alana belum seberapa. Alana ingin bisa nonton live jazz lagi dengan El. Alana ingin bisa makan siang lagi dengan El, memesan menu yang berbeda dan saling mencicipi. Alana juga ingin El mengajaknya ke rumah peristirahatannya dan menikmati angin sore yang sejuk dan hangat. 

Sudah lebih dari tiga bulan setelah semua kegaduhan berlalu. Alana belum menghubungi El lagi. Dulu karena disibukkan soal pembatalan pernikahan, lalu Alana seperti lupa ada El. Dari hari ke hari Alana melakukan kegiatan-kegiatan baru yang akan menyibukkan pikirannya dari kesedihan. Alana menekuri hari demi hari dengan kontemplasi dan koreksi diri, tentang apa yang telah menimpa dirinya. Mengapa ia bertemu, jatuh cinta, menerima lamaran dan mengembalikan lamaran itu pada Kristof. Pertanyaan yang tak pernah ia temui jawabannya, yang akhirnya membawa dirinya tertidur dalam tangis. 

Alana juga tidak menghubungi El. Ia tahu persis El benci dijadikan tempat sampah. Dia tidak akan membaca lebih dari sepuluh kata pertama dari pesan singkat. El bilang itulah kenapa dinamai pesan singkat, karena mestinya isi pesannya singkat. Dia juga takkan membaca lebih dari kalimat pertama dari email. Sia-sia saja menghubungi El saat kalut seperti ini, pikir Alana. Alana juga tidak menelpon El, ia khawatir mengganggu waktu sibuknya. Alana tahu kesibukan mahasiswa doktoral, ia pernah melaluinya. Jadi sampai sekarang pun Alana tak pernah menghubungi El. 

Sampai setengah tahun setelah batalnya pernikahan Alana, sisa-sisa berita itu di kantor masih saja ada. Bahkan ketika Alana mendapatkan kepala divisi baru pun soal itu yang ia tanyakan. Alana sebenarnya jengah, tapi ini semua harus ia lalui. Seandainya saja ada El, semuanya mungkin jadi seperti candaan untuk mereka. 

Kini Alana menyadari kalau ternyata selama ini El selalu ada di sisinya. Bukan, bukan hanya di masa senang, El justru lebih sering ada ketika dia susah. El seperti membukakan pintu ketika ia suntuk berada di ruang tertutup. El seperti menyalakan lilin ketika pikirannya terasa gelap dan buntu. El seperti membelikan makan siang untuk dimakan di ruangan ketika pekerjaannya menumpuk menjelang deadline. El seperti.. jalan keluar. Dan kini, Alana merasa begitu sendirian tanpa El. 

Sementara itu Kristof beberapa kali mengirim pesan. Menanyakan kabar Alana dengan sopan dan menawarkan bantuan jika memang diperlukan. Alana selalu menjawabnya dengan sopan dan tenang bahwa semua baik-baik saja. Alana memastikan pada Kristof bahwa dia mampu melanjutkan hidup dengan baik. Kristof sudah dua kali mengatakan bahwa batalnya pernikahan mereka bukanlah akhir dari hubungan mereka. Kristof masih menyimpan harapan sambil terus mencari jalan keluar dari perjanjian itu. 

"Mas, kalau kita memang berjodoh, kita pasti bertemu lagi entah dengan cara apa, dan perjanjianmu takkan menghalangi kita," kata Alana tenang. "Tapi kalau memang tidak, akan sia-sia Mas Kristof membuang waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tidak jelas ujungnya. Mas Kristof curahkan saja untuk Grady, pasti dia akan lebih bahagia." Dan usai mereka mengakhiri pembicaraan itu, Alana menangis sejadi-jadinya. Dia berjanji ini adalah tetes air mata yang terakhir yang ia habiskan untuk Kristof. Esok, dia akan mampu menghadapi Kristof dengan tegak dan profesional. Dia berjanji pada dirinya. 

Kini setahun telah berlalu, Alana sudah kembali pada Alana yang penuh energi dan prestasi. Dalam sebuah pertemuan ilmiah, ia diundang untuk berbicara dan secara kebetulan bertemu seorang Profesor dari Belanda. Profesor itu mengajaknya bekerja sama melalui program post-doc di universitas tempatnya bekerja. 

"You do not need to worry about funding. Your salary will be satisfactory and we still have some small parts from the project. All you have to do is flying to Rotterdam." Dan Alana tak merasa ada hal lain yang perlu dia pikirkan selain berangkat.

Dalam salah satu malamnya yang sunyi, Alana berpikir. Ia kembali memutar kenangan-kenangannya bersama Kristof, masa senang dan penuh debaran itu mampu ia saksikan lagi tanpa tetes air mata. Mungkin memang sudah cukup satu tahun ini ia menyesali pernikahannya yang tak pernah terjadi. Ia pun kembali bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana jika Kristof kembali dan segalanya tak pernah lagi jadi masalah. Akankah ia kembali bersama Kristof dan membangun keluarga bersamanya? Dengan terkejut Alana mendengarkan jawaban hatinya. Tidak. 

Ya, Alana mengatakan tidak pada dirinya sendiri. Ia menemukan dirinya tidak siap dengan konsekuensi yang dibawa Kristof bersama dirinya. Putranya, mantan istrinya, keluarga besarnya yang terhormat, dan harapan-harapan Kristof bersamanya. Rasanya itu terlalu berat untuk Alana yang mengharapkan sesuatu yang lebih sederhana. Alana menyadari kalau batalnya pernikahan memang yang terbaik untuk dirinya. Sebelum semuanya terlambat dan terlanjur jadi rumit, semuanya berhenti. Memberi waktu dan ruang untuk Alana kembali berpikir. 

Kini hubungan Alana dan Kristof lebih seperti teman dekat. Kristof sesekali menghubunginya, memberinya kabar tentang prestasi Grady dan betapa Grady ingin jalan-jalan lagi bersama Tante Al. Alana hanya tersenyum mendengarnya, ia tak menemukan kesempatan yang baik untuk mewujudkan itu. Menghabiskan waktu bersama Grady hanya akan menjadikan hubungannya bersama Kristof semakin rumit. Alasan kerumitan itu pula yang membuat Alana sangat jarang menghubungi Kristof telebih dahulu. Ia khawatir kalau perbincangan mereka melanjut hingga hal-hal yang lebih pribadi. Kadang-kadang itu tidak terhindarkan. Maka lebih baik ia tak pernah memulainya. 

Alana juga terkejut dengan kerinduannya pada El. Rasanya ingin sekali menghubungi Mama El dan meminta nomor kontak El di Swedia. Namun berkali-kali keinginan itu ia tepis sendiri. El sedang belajar, ia tak ingin mengganggunya. El tahu nomor kontaknya dan bagaimana menghubunginya, jadi kalau memang El luang dan mau, El pasti menghubunginya. Namun El tak pernah melakukannya. El meninggalkannya sendirian dalam kontemplasinya. Mungkin El melakukan hal yang benar, tapi kali ini El cukup kejam, pikir Alana. Tak sekalipun El menghubunginya, meskipun hanya sekedar bertanya kabar. Alana tak pernah tahu, bahwa sesungguhnya El pun sedang berjuang mengobati luka hatinya dan berdamai dengan perasaannya untuk Alana di tengah-tengah harinya yang sangat sibuk.   

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang