Kristof menekuri layar komputer di meja kerjanya dan berusaha keras berkonsentrasi. Sejak pagi hingga hampir tengah hari ia hanya bisa menghasilkan tiga kalimat yang semuanya saduran. Tidak ada kalimatnya sendiri. Pikirannya terbagi-bagi dengan banyak hal.
Sudah lebih dari dua minggu Grady kembali ke kehidupannya sehari-hari bersama ibunya. Sesekali Grady meneleponnya dengan video, menunjukkan buku-buku dan baju barunya. Grady juga meminta ayahnya ikut datang di pameran proyek sekolah di suatu akhir pekan. Tapi malam-malam tanpa Grady kadang membuatnya kebingungan. Kristof bingung dengan perasaannya. Dulu di awal perpisahannya, Kristof tidak serindu ini dengan Grady. Mungkin saja waktu itu Grady masih bayi dan jarang berinteraksi dengannya. Kini Grady sudah sekolah, bisa bercerita, berkeluh kesah, marah, dan banyak emosi lainnya. Ia jadi merasa kesepian setelah Grady pulang.
Kristof juga merasa kesepian. Sorenya kadang ia habiskan di laboratorium atau di gym. Berolah raga membuatnya melupakan. Melupakan kesepiannya, melupakan kebutuhannya. Bagaimana pun juga Kristof laki-laki dewasa yang sehat. Tapi ia sadar ia terbelenggu banyak hal. Kristof begitu terluka dengan perilaku istrinya kala itu yang membuatnya membuat perjanjian konyol saat perpisahan. Hak asuh Grady akan berpindah ke tangannya jika istrinya menikah lagi dan Kristof takkan pernah mendapatkan hak asuh jika ia menikah lagi. Waktu itu Kristof yakin kalau Granada takkan betah berlama-lama tanpa suami. Waktu itu Kristof sangat percaya diri kalau Grady takkan lama tinggal bersama ibunya. Namun waktu terus berjalan, Granada semakin dewasa, dan ia bisa berpikir strategis. Grady adalah senjata. Granada tak peduli dibilang janda yang suka pacar kaya atau semacamnya, asalkan hak asuh Grady tetap di tangannya. Jadi selama ia bertahan untuk tidak menikah, Kristof hanya berhak atas kunjungan saja, bukan hak asuh.
Kini, Kristof mulai memikirkan hidupnya. Ia masih berhak untuk kehidupan rumah tangga yang baru. Ia membutuhkan seorang istri. Ia membutuhkan teman hidup. Dan anehnya ia baru merasakan ini sekarang. Bukan kemarin, setahun lalu, atau beberapa waktu setelah perpisahannya. Apakah ini artinya ia mulai bosan hidup menduda?
"Selamat siang Pak Kristof," sapaan Alana membuyarkan lamunannya. Aneh melihat Alana datang agak siang, karena biasanya Alana datang sebelum Kristof dan pulang agak malam.
"Tumben datang siang," balas Kristof pada sapaan Alana.
"Tadi naik ke bagian Hukum untuk re-check dokumen paten dan menandatangani beberapa berkas. Ternyata lama juga urusan dokumen seperti itu," kata Alana sambil mempersiapkan komputernya.
"Hanya itu?" tanya Kristof sambil berharap ia tak terdengar terlalu ingin tahu.
"Iya Pak," jawab Alana. Lalu seperti teringat sesuatu ia berseru,"Oh ya Pak, mungkin agak siang El akan menemui Pak Kristof soal dokumen tempo hari. Dia bilang Pak Kristof sudah tahu dokumen apa."
"El?" ulang Kristof heran. Alana mengangguk seperti tidak ada apa-apa. Yah, buat Alana mungkin tidak apa-apa, tapi tidak demikian yang didengar Kristof.
"Iya Pak, Erlangga dari bagian Hukum yang tempo hari ketemu Bapak," tambah Alana berusaha memperjelas.
"Hmm.. rupanya semalam di kantor pusat membuat kalian semakin akrab ya," ujar Kristof. Dan tiba-tiba Kristof menyesal mengatakannya karena ia terdengar seperti tukang gosip.
"Pak Kristof percaya dengan gosip-gosip itu?" timpal Alana setengah heran. Alana tidak menyangka atasannya akan segitu percayanya dengan gosip yang beredar. Lalu Kristof melihat Alana menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum kecewa.
"Memangnya seperti apa versimu?" Kristof berlagak seolah tak peduli tapi suaranya terdengar lain.
"Saya datang ke kantor pusat karena ada dokumen yang harus saya baca ulang dan saya tanda tangani. Lalu saya mengambil jatah junior suite karena saya tidak mau sekamar dengan laki-laki yang bahkan baru saya kenal, jadi kami bisa berada di ruangan terpisah. Kenapa tidak pesan dua kamar? Karena saya nggak mau rugi, karena saya tahu betul hanya kamar saya yang dibiayai lembaga. Kamar dia tidak, karena seharusnya perjalanannya tidak menginap."
"Dia bisa saja pulang dan berangkat lagi keesokan harinya," kata Kristof mengemukakan kemungkinan.
"Tiket untuk berangkat lagi di luar anggaran lembaga karena dipesan mendadak. Dia tidak mungkin membayar kelas bisnis untuk duduk di kelas ekonomi. Saat itu dia juga kesulitan, karena jika dia pulang dan datang beberapa hari kemudian, urusan paten kita akan tertunda beberapa bulan. Jadi, dengan asumsi bahwa saya juga diuntungkan, saya rela berbagi junior suite dengannya. Bukankah Bapak juga merasa diuntungkan?"
"Tapi apa setimpal dengan gosip yang beredar? Kau tahu orang-orang di sini bisa membunuh dengan kata-kata," Kristof mendebat.
"Buat saya setimpal. Bahkan gosip itu bukan apa-apa buat saya. Saya juga digosipkan merayu Pak Kristof sampai bisa dapat sub-divisi baru, tanpa mereka tahu bahwa saya orang pertama yang menentangnya. Mereka hanya melihat saya menjemput dan mengantar Grady, dan itu membuat orang berpikir saya juga tidur dengan Pak Kristof. Jadi apa yang terjadi sekarang bukan apa-apa buat saya," jawab Alana tegas. Dan tiba-tiba saja Kristof menjadi merasa sangat bersalah.
Alana cukup jengah dengan pertanyaan-pertanyaan Kristof. Dia tidak menyangka kalau Kristof bakalan termakan omongan kosong orang-orang lembaga. Tapi yang lebih menyesakkan untuk Alana bahwa Kristof sangat mudah untuk tidak mempercayainya. Mestinya Kristof tahu kalau Alana tidak seperti yang digosipkan orang-orang.
El datang menemui Kristof sekitar sejam sebelum jam makan siang. Dia membawa map berisi dokumen seperti biasa dan mereka memilih ruang diskusi kecil untuk bicara. Mungkin saja mereka membicarakan hal yang cukup serius sehingga membutuhkan ruang tersendiri.
Kepala El menyembul di pintu sepuluh menit sebelum jam makan siang. Dia bergegas ke meja Alana dan berbicara singkat. Ketika berbalik, seluas senyum samar tersungging di sudut mulutnya. Lesung pipit dangkal sempat tampak di pipinya. Meski hanya sekilas, Kristof berada di tempat dan saat yang sangat tepat untuk menyaksikannya. Kristof mulai bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan hingga senyum samar itu tergambar di wajah pria itu.
Tak seberapa lama Alana pamit keluar, membawa tas kecil seolah ia akan keluar kantor. Alana bilang mau makan siang di luar dan mungkin akan terlambat kembali sekitar 15 menit. Kristof mengijinkannya meskipun pikirannya penuh rasa penasaran. Lalu Kristof sendiri memutuskan untuk makan siang di luar, mencari udara segar sekaligus meluruskan pikirannya. Ia bisa gila karena penasaran jika tetap di mejanya sambil tanpa sengaja memandangi meja Alana.
Alana melangkah ringan menuju parkiran motor di basement. Ia jarang sekali mengunjungi basement. Ia tak punya motor untuk diparkir di basement dan parkiran mobil ada di level yang lain. Praktis level ini hampir tak pernah ia kunjungi. Rasa agak pengap terasa ketika pintu lift terbuka. Alana agak terkejut karena konstruksi bangunan kantornya masih menyisakan lubang untuk sinar matahari masuk. Sinar itu menerobos dari pintu keluar yang ada di samping kanan dan kiri level basement dan membuat level ini lebih bersahabat dengan kesehatan. Alana berjalan sambil mengingat-ingat petunjuk yang harus ia ikuti. Sampai kemudian ia lihat seseorang dengan jaket kulit duduk di sebuah motor yang sudah menyala. Orang itu menoleh dan tersenyum padanya. Alana lalu bergegas.
"Kupikir kau akan tersesat," sapa El dari atas motornya. Alana tersenyum. Lega karena ia tak perlu tersesat dan merasa tak perlu menjawab sapaan El. "Kita berangkat?" Alana mengangguk dalam helm yang El bawakan untuknya. Pelan tapi pasti El melajukan motornya keluar dari area parkir dan menambah kecepatan sekejap setelah menyentuh lantai aspal. Ia tak ingin membuang-buang waktu.
Mereka begitu bergegas hingga tak sadar bahwa mereka melintasi mobil Kristof yang juga akan keluar dari area kantor lembaga. Mereka melintasi Kristof yang sejenak terkejut dan semakin penasaran dengan apa yang sedang mereka lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?