Pagi ini El berangkat kerja dengan mengendarai sepeda. Ia sengaja ingin bergerak lebih banyak karena banyaknya pekerjaan membuat waktunya berolah raga jadi berkurang. Setiap pulang kerja badannya sudah lelah dan pikirannya penat. Ia hanya sempat makan, mandi, dan langsung tidur. Begitu setiap harinya. Ia juga jarang makan siang dengan Alana, hanya sekedar pesan singkat kalau sedang ingat. Alana sendiri tampaknya sangat menikmati hubungannya dengan Kristof karena setiap kali mengirim pesan selalu saja ada cerita mereka berdua. Dulu ada masak bersama Kristof, belanja bareng Kristof, cari baju buat Kristof, memilih gorden rumah Kristof, jalan-jalan bareng Kristof dan anaknya, bahkan pernah satu dua kali bertema berantem sama Kristof. Sampai saat ini El senang-senang saja membaca kabar-kabar pendek soal Alana. Biasanya El akan membaca pesan-pesan Alana sambil membayangkan bagaimana ekspresinya jika Alana menceritakannya langsung padanya. El akan menikmatinya, tersenyum sendiri, atau mengerutkan dahi. Ia juga sadar, setiap kali Alana bercerita dengannya, El hanya akan diam saja, sesekali tersenyum, atau mengangguk. Tapi El akan diam saja. Tidak ada komentar, tidak ada penilaian, hanya mendengarkan. Nanti El akan bicara kalau Alana memintanya. Mendengarkan cerita Alana seperti menonton film bagi El, it's such a wonderful entertainment.
Seperti hari ini, El sangat bersemangat berangkat ke kantor karena siang ini Alana minta tolong ditemani membeli hadiah ulang tahun untuk Kristof. Namun sepertinya kesenangannya harus diawali dengan hadirnya masa lalu El di hadapannya.
"Ladya? Ngapain di sini?" tanya El setelah sejenak tertegun hampir tak percaya menyaksikan mantan kekasihnya duduk cantik di sofa lobby atrium gedung lembaga.
"Mas, maaf aku mau mengganggumu pagi-pagi," katanya. Dia masih cantik dan mungil, membuat El selalu ingin melindunginya. Tapi entah, sekarang yang dirasakannya hanya kebas dari hancurnya hati di masa lalu.
"Iya nggak papa. Ke kantin aja ya, kita sambil cari kopi."
Kantin masih sepi, hanya ada beberapa orang yang sarapan atau minum kopi. El memesan teh manis panas dan kopi untuk Ladya.
"Kamu apa kabar?" tanya El, sebenarnya berat tapi dia memang ingin tahu apa kabar Ladya setelah bertemu di sini.
"Baik," jawab Ladya. Dia tersenyum. Masih cantik seperti beberapa tahun yang lalu. "Mas sendiri?"
"Aku baik, sehat, aku senang kerja di sini," kata El. "Ada apa menemuiku?" tanya El to the point. Dia tidak ingin perbincangan ini berlangsung lama. Dia masih banyak pekerjaan dan enggan berlama-lama dengan mantan.
"Aku mau minta tolong," kata Ladya pelan. "Aku mau bercerai," katanya. El terhenyak.
"Tapi aku sudah tidak beracara, Dya," kata El setelah terdiam sejenak. Sebenarnya dia lebih ingin menanyakan alasan Ladya bercerai, tapi itu bukan urusannya.
"Aku butuh pengacara, kupikir Mas punya rekomendasi harus ke mana," kata Ladya lagi. Kata-katanya yang lemah lembut selalu membuatku luluh untuk melakukan sesuatu untuknya.
"Ada sih, mungkin aku masih bisa hubungi temanku yang biasa menangani perceraian. Tapi apa memang harus bercerai?" tanya El pelan-pelan. Dia tidak ingin menyinggung Ladya di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama.
"Kupikir begitu," jawabnya kurang jelas. Tapi aku tidak berminat mencari tahu lebih jauh. "Mm.. Mas El sudah menikah?" tanya Ladya tiba-tiba. El jadi bingung menjawabnya. Ini adalah salah satu hal yang tidak ingin ia bicarakan dengan Ladya. Tapi mau tidak mau dia harus menjawabnya.
"Belum," jawab El jujur.
"Kenapa?" El kembali terhenyak dengan pertanyaan Ladya.
"Mungkin belum ketemu aja," jawab El pendek, berharap takkan ada lagi pertanyaan.
"El!" sebuah suara yang sangat ia kenal memanggilnya. Alana. Entah kenapa tiba-tiba timbul rasa tidak enak dalam benak El. Tapi ia sendiri tak yakin rasa apa itu. "Eh, maaf, sedang ada tamu ya." Alana malu-malu.
"It's ok," potong El cepat-cepat, tak ingin Alana berlalu. El bahkan meraih tangan Alana agar tetap di tempatnya. Hal itu agak mengejutkan untuk Ladya, karena El yang dia kenal bukan El yang akan menyentuh seperti itu. "Ada apa, Al?"
"Nanti sore jadi ya, mumpung Mas Kristof ke luar kota lagi," kata Alana memastikan janji mereka. El hanya mengangguk. "Kalau begitu aku naik deh, aku cuma beli sarapan. Aku bangun kesiangan jadi nggak sarapan." El kembali mengangguk. El bahkan tidak tersenyum.
"Kamu berbeda, Mas," kata Ladya. "Dia pasti istimewa," lanjut Ladya. El terkejut Ladya memperhatikan itu.
"Nggak kok, biasa saja. Dia teman kerjaku," sangkal El. Tapi justru ia jadi bertanya-tanya sendiri, kenapa Ladya bisa menganggap Alana istimewa untuknya?
"Selama kita bersahabat, aku tidak pernah melihat sorot mata penuh kasih sayang seperti barusan. Bahkan untukku," kata Ladya. Terdengar nada sedih dalam kalimatnya. Aku jadi berpikir mungkin bukan salah Ladya kami dulu berpisah, tapi aku yang tidak berjuang untuknya. "Tapi nggak papa kok Mas, kita dulu masih terlalu muda untuk bergulat dengan kerumitan hubungan kita, aku sendiri juga tidak dewasa."
El hanya tersenyum. Ini yang dia tidak suka. Menganalisis hubungan mereka yang sudah berlalu dan untuk El tidak mungkin kembali lagi. El sama sekali tak pernah berpikir untuk memulai kembali dengan Ladya semua yang pernah mereka lalui. El terlalu hancur untuk bisa menghadapi dan melindungi Ladya lagi.
"Aku belajar banyak dari itu," kata El. "Ok, aku akan hubungi salah satu temanku yang berpengalaman dalam menangani perceraian. Aku akan kasih business card dia kalau sudah kontak dia ya." Ladya kemudian memberikan kontaknya pada El.
"Aku tunggu ya Mas," kata Ladya lembut. Meskipun sulit, El berusaha tersenyum. Dan mereka pun melanjutkan langkah masing-masing. El tidak ingin larut dengan pertemuannya dengan Ladya. Semua sudah di belakang, tidak untuk diingat atau diulangi lagi. Hanya untuk dipelajari.
Sekitar pukul 4 sore, El dan Alana berangkat ke pusat perbelanjaan. Alana ingin membelikan dasi dan penjepitnya dan sepertinya El pernah punya toko langganan.
"Aduhh El, uangku mana cukup kalau beli di sini," kata Alana begitu melihat toko bermerk terkenal langganan El. "Ini pasti langgananmu waktu masih jadi artis kan? Pindah aja yuk!" Padahal mereka sama sekali belum masuk. Tapi El bersikeras, dia menarik tangan Alana masuk ke toko.
Sejenak memang tidak ada yang memperhatikan mereka. Tapi tak seberapa lama, para pramuniaga cantik satu demi satu terbelalak melihat El yang sedang melihat-lihat barang. Mereka terkesiap dan menahan nafas, melihat siapa yang datang. Lalu tiba-tiba Alana tertarik dengan sebuah foto promosi yang begitu besar dan tebak siapa yang ada di foto itu!
"Ya, itu aku," kata El tiba-tiba. Alana melangkah mundur untuk menoleh ke arah El tapi punggungnya justru menabrak tubuh El yang berdiri tepat di belakangnya. "Sekarang kamu tahu kan kenapa aku ajak ke sini? Kamu bisa pilih barang mana pun tanpa keluar uang."
"Itu namanya kamu yang kasih hadiah, bukan aku," protes Alana.
"Nggak papa kan, nggak ada yang tahu juga kamu keluar uang apa nggak," jawab El santai.
"Gini aja deh, aku tetap ambil barangnya, tapi aku cicil bayarnya. Aku ganti uangmu," kata Alana memberi syarat. Lalu El menunduk untuk berbisik. Dan jangan salah, wajahnya dekat sekali dengan wajah Alana, membuat para pramuniaga sekali lagi terkesiap dan menahan nafas. "Coba saja ambil barang, lihat kau harus bayar berapa," bisik El pelan. Tampaknya El menikmati peran ini.
Benar saja. Ketika Alana membawa dasi dan penjepit yang cukup mahal ke kasir, kasir hanya memindainya lalu memasukkannya ke tas kertas mewah, dan menyerahkannya kepada Alana. Ketika Alana menanyakan pembayaran, kasir itu hanya menjawab, "Ini adalah komitmen kami pada brand ambassador kami, untuk memberikan pelayanan spesial." Alana tampak bingung dengan penjelasan kasir, lalu sekali lagi El membuat seisi toko terkesiap. Dia menunduk lagi untuk berbisik, "Artinya kamu ga usah bayar." Lalu El menegakkan badan dan mengucapkan terima kasih pada kasir dan para pramuniaga, sambil merangkul Alana keluar dari toko. Entah bagaimana caranya, tapi sore itu mampu mengganti pagi El yang berantakan dan menyedihkan. El pun mengantar Alana pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?