Burnt

470 53 2
                                    

"Aku nggak suka kamu nyanyi duet sama Airlangga," kata Kristof di perjalanan pulang. 

"Besok-besok lagi nggak, Mas.." jawab Alana. "Aku tadi sebenarnya mau bilang dulu, tapi Mas Kristof kayanya asyik banget ngobrol sama Ayahnya El, ya udah keburu momennya lewat aku maju aja."

"Lagian kamu mau-maunya digandeng sama Airlangga," kata Kristof lagi. Dia benar-benar murka tampaknya. 

"Itu bukan digandeng, Mas, dia bantu aku biar nggak jatuh pas jalan. Kan aku nggak terbiasa pakai hak tinggi begini," ujar Alana beralasan. "Apalagi pas di tangga itu kan berbahaya, keseimbanganku kurang bagus. Pas naik dan turun pelaminan tadi aku juga pegangan Mas Kristof terus," tambah Alana. Dia masih bingung kenapa Kristof sebegitu marahnya dengan aksi menyanyinya dengan El. 

"Kamu kan bisa bilang aku," protes Kristof lagi. "Aku bisa antar kamu ke panggung, nggak perlu gandengan sama Airlangga juga." Kali ini Alana diam. Dia sudah capek dengan protes Kristof yang ia lontarkan sejak mereka keluar dari gedung perhelatan. Sekarang ini, sudah hampir sampai di rumah masih saja Kristof mengomel. 

"Mas, mendingan sekarang Mas Kristof istirahat aja deh. Nanti malam kalau sudah lebih longgar, kita makan." 

"Kok kamu yang ngatur sih?!" Kristof kembali dengan kemarahannya. 

"Ya sudah, sekarang Mas Kristof maunya gimana?" kata Alana dengan halus. Berharap bisa menurunkan suhu percakapan. 

"Kita nikah aja!" jawab Kristof cepat. Alana diam saja. Dia masih memproses kata-kata yang dilontarkan Kristof. 

"Mas Kristof istirahat aja dulu lah, kita bicara lagi nanti." Alana turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahnya. Untung saja dia sudah menyiapkan kunci gerbang dan kunci pintu depan sebelum turun dari mobil Kristof, jadi tak ada kesempatan Kristof menahannya.

Alana sudah jengah dengan kemarahan Kristof yang menurutnya berlebihan. Hanya soal nyanyi duet, dan apa yang disebut Kristof sebagai gandengan itu menurut Alana hanya manner El saja agar Alana tidak jatuh akibat kekikukannya dengan high heels. Menurut Alana, Kristof berlebihan. 

Sebenarnya Alana juga senang dicemburui Kristof seperti itu, Alana rindu dicemburui begitu. Alana jadi merasa diperhatikan. Alana merasa dicintai. Tapi Alana agak jengah karena setiap kali kecemburuan Kristof muncul, pasti ada sangkut pautnya dengan El. Atau orang tua El. Atau temannya El. Pokoknya El. Alana heran. Semuanya tentang El. Padahal Kristof sendiri yang dulu memperkenalkan El pada Alana sebagai orang yang akan membantu urusan paten dan sebagainya. Kristof juga tahu kalau Alana memang berteman dengan El, makan bersama pun karena mereka berteman baik. Tapi entah mengapa kemarahan Kristof selalu tersulut soal El. Tentang El. 

Setelah selesai bersih-bersih, Alana merebahkan tubuhnya. Beristirahat lahir batin. Memejamkan mata dan meletakkan hati. Sudah kesekian kalinya Kristof uring-uringan padanya jika ada sangkut pautnya dengan El. Bahkan ketika mereka ngobrol berdua pun, jika kemudian ada topik tentang El bisa berakhir dengan pertengkaran. Alana kadang heran, sebegitu sensitifnya kah Kristof soal El? Padahal Alana kenal Kristof lebih dulu dibandingkan kenal El. Persentase waktu Alana jelas jauh lebih besar untuk dihabiskan bersama Kristof dibandingkan bersama El. Berkirim pesan atau menelepon pun sangat jarang dilakukan Alana dan El, apalagi kalau tidak ada topik pekerjaan yang mereka bicarakan. Soal makan siang? Semenjak Alana berpacaran dengan Kristof, jelas frekuensi Alana dan El untuk keluar makan siang jauh banyak berkurang. Soal undangan pernikahan Deano dan Dita? El yang menyampaikan karena Alodita adalah sepupunya. Semuanya beralasan dan jelas. Kristof seharusnya lebih rasional, pikir Alana. Semakin rumit pikirannya, semakin Alana mengantuk. Dan akhirnya Alana tertidur. 

Pagi hari Alana dimulai dengan ketukan di pintu depan. Ketika ia buka, ada Kristof di sana. Tampaknya dia selesai jogging. Alana tersenyum dan menyuruhnya masuk. Untung saja Alana sudah sempat mandi tepat setelah bangun tadi. 

"Minum apa Mas?" tanya Alana. 

"Air putih aja,"

"Hari ini ada rencana apa?" tanya Alana sambil menyiapkan makanan kecil untuk Kristof. Ia terkejut ketika tiba-tiba Kristof memeluknya dari belakang.

"Aku mau berbaikan dengan pacarku," jawab Kristof pelan. Alana tersenyum. "Aku nggak bisa tidur semalam, memikirkan kenapa kita bertengkar. Makanya pagi ini aku jogging biar punya alasan buat mengetuk pintu rumahmu," Alana tertawa mendengarnya. 

"Kan Mas Kristof yang marah padaku," kata Alana. 

"Mungkin kemarin aku berlebihan. Aku minta maaf," ucap Kristof pelan. "Tapi aku benar-benar nggak suka kamu dekat dengan Airlangga."

"Aku tahu, tapi El itu teman kita. Aku nggak ada apa-apa sama El, bagiku dia teman yang baik."

"Iya aku tahu," Kristof mengecup kepala Alana. 

Setelah momen berbaikan itu, Kristof merasa kalau dirinya tidak ingin berpacaran terlalu lama. Sejak ia mengenal Alana dan melihat sendiri bagaimana Alana bersikap terhadap Grady, Kristof merasa bahwa Alana adalah orang yang tepat dan bisa menerima keadaannya. 

Sementara Alana dan Kristof menikmati masa-masa manis setelah berbaikan, El sedang berkenalan dengan sepupu iparnya yang baru. Sebenarnya El merasa tak punya bahan pembicaraan apapun dengan Deano, tapi ternyata nyanyi duet dengan Alana memicu sebuah diskusi hangat. 

"Jadi kamu kenal Alana ya? Kenal di mana?" tanya Deano ketika usai makan malam. Kebetulan mereka bisa menyingkir dan berbicara berdua tanpa kentara saking banyaknya keluarga di sana. 

"Alana dan aku sekantor," jawab El pendek. El tidak nyaman dengan diskusi ini. 

"Cuma itu? Karena sepertinya orang tuamu juga kenal Alana," Deano tak percaya. 

"Alana pernah bertemu dengan ayah ibuku juga. Aku nggak punya banyak teman, jadi orang tuaku juga kenal semua teman-temanku," kata El beralasan. 

"Alana bukan orang yang suka menyanyi di depan umum, apa kau mengajaknya?" El mengangguk pelan. "Mungkin kamu bukan hanya sekedar teman untuk Alana. Dia tidak mudah diajak orang yang tidak dekat dengannya, apalagi diajak menyanyi di depan umum." El hanya mengangkat bahu. Cuek. Seolah tidak peduli. 

"Lagu yang dia nyanyikan itu lagu favoritnya, kami nonton filmnya bersama," kata Deano pelan. El bingung apa maksudnya dengan bicara seperti itu. 

"Sekarang nggak lagi," timpal El. El tahu betul Alana menyanyikannya sebagai perpisahan dengan lagu itu, juga kenangannya. 

"Kami bersama cukup lama."

"Aku tahu, tapi tidak ada artinya lagi. Kamu menikahi sepupuku." El menatap Deano tajam dalam keheningan. Sebenarnya tatapan El memang aslinya sudah tajam, ditambah lagi rasa jengahnya pada Deano. 

"Kurasa Alana masih punya perasaan padaku, kami belum benar-benar putus sebelum ini." Entah bagaimana kalimat Deano bisa membuat El naik darah, tapi dia tetap bisa mengendalikannya. "Laki-laki yang datang bersamanya itu atasannya kan? Sudah sejak lama dia tertarik pada Alana," tambah Deano lagi. 

"Pak Kristof itu pacar Alana," ujar El ringan. Lalu ia menyesap minumannya. 

"Tapi Alana tidak mencintainya," kata Deano penuh percaya diri. El semakin heran, bagaimana bisa seorang Deano berpikir seperti itu. 

"Dari mana kamu tahu?"

"Aku kenal Alana sudah sangat lama, dia tidak akan secepat itu jatuh cinta." Lalu Deano beranjak pergi, meninggalkan El mencerna kata-katanya baru saja. 

Alana tidak mudah jatuh cinta. Itu masuk akal menurut El. Perempuan seperti Alana adalah perempuan yang cukup rasional, lebih rasional dibandingkan kebanyakan perempuan lainnya. Bisa jadi sebenarnya Alana belum begitu dalam jatuh cinta pada Kristof, mengingat perkenalan mereka yang belum lama. Tapi itu berarti kemungkinan membuat Alana jatuh cinta padanya juga lebih kecil lagi, karena Kristof yang memperkenalkan mereka berdua. Tapi entah mengapa El cukup percaya diri bahwa ia mengenal Alana lebih baik dibandingkan Kristof. Malam itu El tersenyum, apalagi ketika mengingat penampilan duetnya dengan Alana di pernikahan Deano dan Alodita. Mungkin jalan cerita akan jadi berbeda sedari kini.


The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang