Nuansa Baru

747 76 1
                                    

Tak seberapa lama setelah bertelepon dengan ibunya, El melesatkan mobilnya ke arah alamat yang diberikan Alana. Dan entah mengapa ia agak kecewa ketika yang membuka pintu pagar rumah di alamat itu adalah Kristof.

"Oh, kau sudah datang rupanya," ujar Kristof seolah dia sedang menantikan kedatangan El, tapi dengan raut muka masam.

"Mungkin aku sudah menggagalkan salah satu usahanya," pikir El. Anehnya, kali ini El merasa senang dengan keadaan itu. Seolah-olah ia sudah menunjukkan pada Kristof kalau El menerima tantangan di depan matanya. Urusan perasaan itu nomor sekian, yang penting adalah kompetisinya.

Ternyata Alana menyusul di belakang Kristof, tampak berbeda dengan celana santai, kemeja longgar, sneaker dan rambut diikat longgar. Alana jadi tampak jauh lebih muda, menurut El. Dan ia jadi semakin menikmati sore ini. Ternyata tidak se-serius di kantor.

"Pak Kristof ada perlu apa di rumahmu?" tanya El setiba mereka di tempat makan.

"Oh, dia ngajak jemput anaknya sambil makan di mal, tapi aku kan sudah janjian denganmu."

"Jemput anaknya? Kenapa ngajak kamu?" El berusaha mengendalikan nada suaranya senetral mungkin. Mungkin Alana tidak menyadarinya karena ia tetap biasa saja. 

"Kebetulan dulu waktu anaknya datang kami sempat berinteraksi, dan mungkin juga anak itu merasa cocok denganku makanya ia ingin ketemu aku ketika menengok ayahnya." Jawaban Alana mengalir santai, tak tampak perasaan khusus bahwa ia ingin lebih akrab dengan anak Pak Kristof. Hal itu dengan mengejutkan mampu memberi sedikit kelegaan dalam hati El, sehingga dia mulai bertanya-tanya apa yang terjadi dengan hatinya. "Kamu sendiri kenapa kayanya kaget banget aku jemput anaknya Pak Kristof?" tanya Alana balik. El tidak menyangka pertanyaan itu. 

"Mmm.. " El masih berpikir tentang apa yang akan ia katakan. "Aku nggak nyangka aja ternyata kamu juga akrab dengan anak Pak Kristof, padahal ia tinggal sama ibunya, kan?"

"Nah, kamu malah tahu kalau anaknya Pak Kristof sama ibunya, dari mana kamu tahu?" tanya Alana balik. El berusaha tenang agar tidak ada hal-hal yang tak perlu keluar dari mulutnya.

"Semua orang tahu kalau Pak Kristof itu duda anak satu, dan anaknya ikut mantan istrinya karena masih di bawah umur, itu aja." Jawab El tenang sambil berharap kalau jawabannya ini dapat dipercaya.

"Semua orang tahu? Kupikir cuma orang-orang tertentu saja yang tahu," kata Alana pelan.

Suasana kafe tempat pertunjukan jazz itu sudah agak ramai meskipun masih setengah jam lagi acara dimulai. El bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah ia kenal di masa jayanya dulu. Beberapa produser, manajer artis, tukang rias, bahkan beberapa wartawan. Alana yang tampaknya kurang nyaman, memilih untuk langsung duduk daripada ikut El dalam lingkarannya.

"Mas El ga nyanyi lagi?" tanya seorang wartawati santai. El menggeleng sambil tersenyum. "Trus tadi siapa, Mas? Pacar ya.." godanya. Wartawati memang begitu, santai tapi penuh umpan pancingan.

"Teman, teman kerja. Kebetulan suka jazz juga, jadi barengan aja ke sini nonton Tian," jawab El.

"Oh ya, Mas Tian dan Mas El sahabatan ya.." kata wartawan lain. El mengangguk pendek. Dan mereka terpaksa kecewa karena El segera pamit. "Kita kangen mas El nyanyi lho..." ujar beberapa dari mereka dibalas lambaian tangan dan senyum El. Ia tak ingin meninggalkan Alana terlalu lama.

"Aku sekarang percaya kamu mantan idol," kata Alana saat El duduk di sampingnya. El tersenyum. "Mau jadi idol lagi?" tanya Alana. El langsung menggeleng. "Kenapa? Kan asyik, banyak duit, banyak cewek, banyak fasilitas..."

"Banyak duit, banyak cewek, tapi nggak bisa ngajak kamu dengerin jazz sambil minum kaya gini... " El menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. "Nggak asyik." dan El tahu kalau Alana sedang memandangnya heran kali ini.

Alana bersikeras mengikuti acara sampai akhir, jadinya mereka keluar dari kafe sekitar sepuluh menit lepas tengah malam. Alana tampak senang sekali bisa berkenalan dengan Tian, teman El semasa jadi idol. Alana memuji permainan drum Tian malam ini, bahkan berjanji akan datang kalau Tian manggung lagi.

"Langsung pulang atau mau ke mana?" tanya El saat masuk mobil. Alana memandangnya aneh. Tentu saja ia harus pulang, ini sudah lebih dari jam dua belas malam. "Lho, ya tinggal jawab pulang kan, ga usah pake sorot mata laser gitu.." kata El sadar diri.

"Makasih banyak ya," kata Alana sambil tersenyum. Ia tulus berterima kasih, karena malam ini ia merasa sangat terhibur. "Kamu pulang atau masih ada tujuan lain?" tanya Alana yang sedetik kemudian ia sesali. Buat apa ia menanyakan itu?!

"Semula kalau kita keluar sebelum jam 11 aku mau langsung ke rumah mamaku, tapi karena sudah jam segini ya sebaiknya aku pulang." Alana terdiam. Tiba-tiba jadi merasa bersalah.

"Yah, kamu nggak bilang..." El terkejut dengan respon Alana. Ia tak tahu kalau Alana bakal merasa sangat bersalah. "Kalau gitu, besok aku yang minta maaf deh ke Mama kamu, aku yang bikin kamu ga jadi menemui beliau."

"Eh, nggak.. nggak perlu.." giliran El yang salah tingkah. Tidak menyangka Alana akan begini. "Mm.. tapi kalau kamu luang ya ga papa sih, sekalian periksa kesehatan mamaku, bisa kan?" El tiba-tiba punya alasan mengajak Alana pergi. Jujur saja, ia tak mau Kristof menang dan berhasil mengajak Alana jalan-jalan dengan anaknya. Dia perlu membalas penugasannya ke Amerika.

Sekitar pukul sembilan pagi motor El sudah terparkir manis di depan pagar rumah Alana. El sempat masuk dan duduk selama sekitar setengah jam. El sangat berharap duda satu anak di seberang rumah sempat melihat motornya terparkir selama beberapa saat. Biar saja lelaki itu tahu jejak langkah El bersama Alana. Apalagi El sangat yakin kalau Kristof ada di rumah, mobilnya terparkir dan tampak baru saja dicuci. 

"Wow... " bisik Alana dalam hati ketika sampai di rumah El. Ternyata El bukan pemuda yang hidup pas-pasan dari kerja kerasnya sehari-hari dan sisa-sisa tabungannya semasa ia jadi idol. Ternyata El dibesarkan sebuah keluarga yang punya usaha multinasional, anak tunggal, dan seorang idol. Sungguh terlalu bagus untuk jadi kenyataan. 

"Mm.. ini rumah orang tuaku ya, jangan dipikir kalau ini juga mewakili diriku," kata El ketika motornya masuk melalui gerbang yang terbuka dan menutup otomatis. 

"Tapi kan berarti masa kecilmu di sini, bagaimana itu tidak mewakili dirimu?" tanya Alana heran. 

"Kami pindah kemari ketika usaha Ayahku membaik, waktu itu aku sudah kelas 2 SMP. Aku sudah terlanjur dididik ayah dan Mamaku untuk bekerja keras dan jadi anak yang cerdas. Aku juga melalui masa-masa di mana usaha ayah dan Mamaku berada di titik terendah, jadi aku tak sama dengan rumah dan lingkungan ini."

"Wah... dengan pekarangan sebesar ini aku tak punya alasan untuk mangkir dari acara olah raga, ibuku pasti menyuruhkan membersihkan pekarangan setiap hari. Dan badanku takkan jadi segemuk ini," ujar Alana tanpa sadar. Tanpa ia sangka-sangka El tertawa terbahak-bahak.. Alana kebingungan melihatnya. 

"Itu juga yang dilakukan Mamaku waktu aku ajak teman-teman se-grup liburan di sini. Kata Mama, kami nggak boleh jadi gendut hanya gara-gara liburan, jadi sebagai bayaran atas masakan Mama yang enak-enak, kami semua harus membersihkan pekarangan setiap hari." El masih saja tertawa. "Dan kamu tahu kalau pohon-pohon tadi menggugurkan daunnya setiap hari, bahkan sebelum kami selesai membersihkannya sudah banyak lagi daun yang berguguran.." dan El melanjutkan tawanya.

Masuk ke rumahnya, El langsung mencari Mamanya sementara Alana duduk di teras luar menikmati udara sejuk yang dikirim pepohonan di pekarangan luas milik keluarga El. 

"Lho, kok di luar saja, ayo masuk Nak.. " sapa suara wanita di pintu. Alana terkejut. Seorang perempuan anggun melongok di ambang pintu besar. "Baru kali ini lho Airlangga bawa teman perempuan ke rumah Mama," kata wanita itu. "Semalam nonton Tian ya... wah, apa kabar anak itu? Mama kangen.. "

"Tian juga sering main di sini, Tante?" tanya Alana. 

"Selain teman se-grup Airlangga, Tian itu sahabat baiknya. Sudah seperti anak Mama sendiri, sepi setelah Airlangga pergi."

"Udah lah Ma, apartemen El kan juga nggak jauh dari rumah Mama," rajuk El, tampaknya dia agak manja pada Mamanya. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang