Masalah Baru

3.1K 201 5
                                    

Dean datang pagi-pagi, bahkan Alana pun belum sempat mandi. Dean menunggu dengan tenang di ruang tamu dan Alana menjalankan kebiasaannya setiap pagi. Alana merasakan canggung yang amat sangat. Sepanjang beberapa tahun hubungan mereka, Alana tak pernah merasakan atmosfer asing di atas kepalanya saat berdua dengan Dean. Ia merasakan jenuh dan jengah. Tapi ia cukup sadar bahwa usianya tak muda lagi untuk sekedar putus sambung berpacaran. Ia seperti tak punya pilihan.

"Nanti siang aku jemput makan ya," kata Dean. Tumben sekali Dean sempat makan siang. Biasanya jam 4 adalah waktu paling awal untuknya makan siang setelah serentetan operasi sejak pagi. Alana mengangguk saja.

Tepat sebelum masuk ke mobil, Alana dikejutkan oleh panggilan seorang anak kecil dari seberang. Grady. Memanggilnya dan melambaikan tangan. Ia akan berangkat ke sekolah. Alana tersenyum dan membalas lambaian tangannya. Anak itu tampak manis dan ceria. Yang berbeda adalah tatapan singkat ayahnya. Yah, Alana menepis kalau tatapan Kristof ada artinya. Yang jelas mereka tidak bertegur sapa. Alana menantikan diskusi mereka pagi ini.

"Aku jadi pindah ke Lab riset," kata Kristof ketika Alana tiba di ruangan atasannya. Alana tidak terkejut. Ia sudah merasa kalau Kristof akan melakukan apa yang ia maui.

"Jadi kapan saya akan kembali ke lab?" timpal Alana. Ia malas berdebat dengan Kristof. Tidak ada gunanya ia melawan.

"Kepala lembaga yang baru akan mulai minggu depan, jadi minggu depan kita akan menempati ruangan baru."

"Ruangan baru? Kita?" Alana bingung.

"Iya, aku mengusulkan sub-divisi baru di divisimu. Dasar pembentukannya adalah tulisan-tulisanmu." Alana mencelos. Setengah marah, setengah tak berdaya.

"Saya tidak pernah menyetujui atau bahkan mengusulkan sub-divisi baru, Pak," kata Alana tegas. Kristof agak terkejut dengan nada suara Alana, tapi ia tersadar bahwa yang ia hadapi bukan perempuan biasa. Yang ia hadapi adalah seorang ilmuwan yang independen. Kebetulan saja ia perempuan.

"Aku masih kepala lembaga saat mengusulkan itu," jawab Kristof pendek dan Alana tahu itu benar. Itu sudah hak dan tugas Kristof sebagai kepala lembaga.

"Tapi artinya usulan itu sebuah kegagalan kalau Pak Kristof justru turun ke lab riset, apalagi ini sub-divisi," timpal Alana. Kristof tersenyum, tapi ia menyembunyikan senyumnya. Ia tak henti terkejut dan kagum dengan penelitinya yang satu ini.

"Sub-divisi ini independen, langsung bertanggung jawab ke kepala lembaga dan memiliki akses langsung untuk external funding, tidak perlu persetujuan kepala divisi. Menurutku ini prestasi," pangkas Kristof. Tak ada lagi yang bisa Alana timpalkan. Sub-divisi ini sebuah peluang dan tambang emas. Dia bisa berkiprah lebih luas di sini. Kalau mau mengakui, Alana harus berterima kasih pada Kristof. Tak semua atasan mengenali potensi pegawainya, dan tak semua atasan yang mengenali potensi pegawai mampu membuat keputusan berisiko seperti ini.

Pekan ini menjadi pekan yang sibuk. Kristof harus menyelesaikan sisa tugasnya sebagai kepala lembaga, Alana harus membereskan pekerjaannya sebagai sekretaris sekaligus mempersiapkan sub-divisi yang baru. Ia bahkan menyusun program kerja sub-divisi di sela-sela kesibukannya mengatur kegiatan Kristof.

Siang ini Kristof merasa begitu lelah. Ia ingin sekali berjalan keluar dari gedung, membeli segelas kopi dingin, dan mengalihkan pandangannya dari tumpukan pekerjaan di mejanya. Lalu Kristof keluar, melihat Alana masih duduk tekun di mejanya. Setia dengan layar komputer, kertas-kertas catatan, dan beberapa lembar jurnal referensi. Lalu tiba-tiba ada sesuatu menyusup dalam hatinya. Ia melihat Alana begitu menarik dan... entah apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Alana tampak seksi saat melakukan pekerjaannya. Ia tampak begitu bergairah. Dan gairah itu sepertinya menular padanya. Seketika jantungnya berdenyut lebih cepat. Kristof masuk sebelum Alana tersadar ia mengamatinya. Ia tak ingin terkungkung rasa malu jika ketahuan memandangi sekretarisnya. Dan Kristof menghabiskan harinya sebagai kepala lembaga dengan desiran rasa gelisah.

Akhir pekan ini Kristof habiskan sepenuhnya untuk Grady. Beberapa hari terakhir Grady terpaksa bermain sendiri, pulang sekolah dengan jemputan langganan, mengerjakan PR-nya sendiri. Kristof merasa sangat bersalah membiarkan anaknya mengurus dirinya sendiri selama minggu ini, jadi ia dedikasikan waktunya untuk Grady. Kristof semakin merasa bersalah ketika ia raba dahi Grady menghangat. 

"Kita ke dokter ya, Nak," kata Kristof lembut. Grady menggeleng. 

"Tante Al juga dokter, Ayah," katanya. "Kita ke rumah Tante Al saja," pinta Grady. Dan setelah bersilat lidah dengan anaknya, Kristof mengaku kalah. Mereka berjalan ke depan dan mengetuk pintu rumah Alana. 

Alana tampak kaget dengan kedatangan mereka berdua. Semakin tampak terkejut ketika ia menjabat tangan Grady dan teraba hangat. Alana cepat-cepat menyuruh mereka masuk. 

Di ruang tamu Alana mengompres dahi Grady dan menyiapkan banyak minuman. Ia cukup tenang karena suhu tubuh Grady masih di ambang atas nilai normal, tapi memang tetap harus waspada. Yang jelas Grady belum perlu minum obat. 

"Grady harus minum yang banyak agar tidak perlu minum obat. Lalu Grady juga harus pulang dan istirahat, agar suhunya bisa turun," Alana memberi saran pada Grady.

"Grady istirahat sama Tante Al ya," kata Grady, menoleh pada ayahnya dan memohon untuk tetap tinggal. 

"Grady tidur di kamar Grady saja, jadi Ayah bisa temani Grady, besok Tante Al bisa jenguk Grady," jawab Kristof bijak. Grady tampak tak setuju, tapi Alana berusaha mendukung jawaban Kristof. 

"Besok pagi-pagi Tante Al datang bawa bubur ayam untuk Grady," janji Alana. Kristof tampak lega dengan janji Alana, membuat anaknya mau pulang. Ia pasti kerepotan kalau Grady tidak mau pulang. 

"Kompres terus malam ini Pak, lalu airnya diganti yang lebih dingin kalau suhu tubuh Grady sudah turun. Termometer ini dibawa saja, nanti pasti butuh." Pesan Alana pada Kristof. 

"Terima kasih ya," kata Kristof di ambang pintu sambil menggendong putranya. Alana tersenyum. "Jangan lupa besok pagi-pagi." Alana kembali tersenyum. Ia mengangguk. Lalu masuk.

Alana masuk kamar dan bersiap tidur, tapi ia yakin malam ini tidak akan mudah buatnya tertidur. Banyak hal yang terjadi minggu ini. Dalam hidupnya, dalam pekerjaannya, dalam hubungannya. Minggu ini ia akan mengakhiri tugas tambahannya sebagai sekretaris Kristof. Minggu ini juga ia mempersiapkan sub-divisi barunya. Sub-divisi baru ini artinya akan lebih lama bekerja bersama Kristof. Mungkin besok mereka bukan lagi atasan dengan sekretaris, lebih kepada rekan peneliti. Lebih sejajar dibandingkan sebelumnya.

Minggu ini juga Dean lebih rajin menemuinya. Mengajaknya makan, jalan-jalan di sela kesibukannya, bahkan membicarakan kelanjutan hubungan. Anehnya, Alana tidak lagi se-antusias dulu. Pernikahan tidak lagi menarik seperti dua atau tiga tahun lalu. Bahkan ketika pembicaraan pernikahan itu dimulai dari Dean. Pria yang selama ini selalu mengulur waktu untuk menikah. 

Terus terang saja, Alana bertanya-tanya dalam hati, apakah ada yang berubah pada Dean. Keengganan Dean untuk bertemu tiba-tiba berubah menjadi hasrat untuk menikah. Ada banyak hal yang terlewat dari Dean, dan Alana seolah masih saja merasa jauh. Dan seolah langit ingin menjawab, tiba-tiba ponsel Alana berdering oleh nomor yang tidak Alana kenal.

"Halo, selamat malam," sapa Alana. Suara perempuan yang menjawabnya. 

"Mbak Alana ya? Perkenalkan saya Dita, tunangannya Dr. Dean," kata suara di seberang. Tunangannya Dean? Tapi entahlah, Alana sepertinya tidak terganggu dengan kata-kata itu. Ia hanya spontan menyentuh tombol rekam di layar ponselnya. Just in case...

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak Dita?" tanya Alana datar, meskipun ia harus menutupi gemuruh dalam hatinya.

"Boleh kita ketemu, Mbak? Besok mungkin? Mumpung libur dan Mas Dean di luar kota," katanya. Ya, memang Dean sedang ada seminar di luar kota. Tapi itu bukan tanda-tanda kalau perempuan ini benar-benar tunangannya. Siapa saja di rumah sakit tahu kalau Dean pergi ke luar kota.

"Ada perlu apa kita ketemu?" tanya Alana dengan nada suara yang masih 'tidak ada apa-apa'.

"Saya ingin bicara soal hubungan Mbak Alana dengan tunangan saya," katanya. 

"Mbak Dita, kita tidak pernah ketemu atau kenal. Satu-satunya hal yang membuat kita berkaitan mungkin adalah Dean. Jadi saya kira urusan kita justru dengan Dean, bukan Mbak Dita dengan saya. Jadi saya kira saya tidak perlu ketemu Mbak Dita atau diskusi soal apapun dengan Mbak. Silakan Mbak berdiskusi dengan Dean, dan mungkin saya akan menanyakan perihal ini pada Dean secepatnya. Selamat malam, Mbak Dita." Dan Alana menutup telepon, mematikan ponselnya, dan berusaha tidur sesulit apapun caranya. 

The Boss Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang