Di tengah hamparan salju sejauh mata memandang dengan langkah kaki yang tidak karuan. Dengan tubuh menggigil, ku paksakan diri ini untuk tetap bertahan. Udara dingin perlahan mulai menguasai ku.
Padahal sudah memakai pakaian tiga lapis, batinku.
Alasan mengapa aku berada di luar dengan cuaca ekstrim seperti ini adalah karena tiket yang kuterima beberapa hari yang lalu.
Kalau boleh jujur, lebih baik aku tinggal di rumah bersama penghangat ruangan dan tidur nyenyak daripada harus merasakan dinginnya udara yang menusuk hingga ke tulang.
Merasa kasihan dengan tiket yang tergelatak di depan pintu apartemenku. Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke gedung teater yang tertera di lembar tiket itu. Dan di sinilah aku sekarang, berdiri dengan lutut yang sudah bergetar.
"Ada yang bisa saya bantu?" Salah seorang pegawai menyapaku. Mungkin dia merasa kalau orang yang baru saja tiba di teater ini memang butuh bantuan. Apalagi dengan melihat keadaanku yang cukup mengenaskan.
Tanpa banyak basa-basi aku menyodorkan selembar tiket yang sejak tadi kupegang.
"Silakan ikuti saya," ujar pegawai tersebut. Dia membawaku ke sebuah ruangan. Rasanya hangat saat sudah berada dalam gedung. Dan aku merasa seperti hidup kembali.
"Bangku anda berada dibarisan paling depan," tambahnya. Aku hanya menganggukkan kepala lantas mengucapkan, "terima kasih."
Merasa asing dengan suasana teater, aku hanya diam menatap lurus kearah panggung yang ada di depanku.
Ketika akhirnya acara pertunjukan dimulai, tatapanku tertuju pada satu sosok. Tanpa sadar aku menyebutkan namanya dalam diam.
"Bagaimana bisa ... apa ini ulahmu, Yuki?" batinku bertanya-tanya.
Sewaktu kami saling bertemu tatap.
Tatapan matanya seolah berbicara, "apa kamu sudah membaca isi suratku? Apa aku terlihat keren berdiri di atas panggung? Aku ingin bicara berdua denganmu!"
Surat.
Secepat kilat tanganku merogoh tas yang berada di atas pangkuanku. Surat itu ditulis oleh Yuki sendiri, tulisan tangannya seperti bocah sekolah dasar tapi lebih baik dari itu.
"Datanglah ke pertunjukkan ku. Aku menunggumu. -Maekawa Yuki."
Aku terkekeh pelan. Lantas bergumam, "surat apaan ini?"
Ketika aku tengah sibuk membaca ulang surat yang diberikan Yuki padaku. Suara jeritan memenuhi ruang teater. Perempuan yang duduk di sebelahku menyenggol lenganku, memang tidak bicara apa-apa tapi saat aku menengadahkan wajahku.
Betapa terkejutnya aku melihat Yuki sudah berada tepat di depan mataku. Dia menekuk lututnya dengan tangan yang terulur membawa mawar putih ke hadapanku.
"Yuki, apa ini?" tanyaku dengan suara yang sangat kecil. Akan tetapi Yuki tidak menjawabnya, dia hanya tersenyum.
"Jadilah pacarku. Aku menyukaimu." Mendengarnya bicara seperti itu, suara jeritan penonton kembali menyapa indera pendengaranku.
Dia meraih tanganku dan memberikan bunga itu padaku. Tepat ketika dia menarik tanganku. Wajahnya sudah berada di dekat telingaku.
Yuki membisikkan sesuatu sebelum dia kembali naik ke atas panggung.
Aku mematung dari tempat dudukku.
"Apa yang baru saja terjadi?"
Semua terjadi dengan sangat tiba-tiba hingga membuatku tidak bisa mencernanya dengan baik.
Selesai pertunjukan, bersama dengan penonton yang lain. Aku keluar dari ruang teater.
Tapi seseorang menahan ku, membawaku kesebuah tempat yang sepi.
"Kamu mau pulang begitu saja?" tanyanya.
"Yuki?"
"Aku kan sudah memintamu untuk menungguku. Pasti kamu tidak ingat ya."
"Kapan?" tanyaku. Karena aku benar-benar tidak tahu.
"Sudahlah, itu tidak penting lagi. Kamu sudah makan malam?"
Aku menggeleng.
"Kalau begitu, aku sebentar di sini. Aku akan membereskan barang-barang ku secepatnya. Jangan pergi kemanapun, mengerti?"
Berselang beberapa menit kemudian, Yuki sudah berganti baju. Rambutnya pun sudah tertata rapi.
Dia mengajakku ke sebuah kafe yang lokasinya tak jauh dari gedung teater.
"Jadi apa jawabanmu?"
"Apa?"
Dia bertanya lagi, "jawabanmu ..."
"Jawaban apa?"
"Yang tadi saat di teater," ujarnya.
"Bukannya itu hanya akting? Kukira itu bagian dari pertunjukan."
Yuki menghela napas. Dia mungkin sosok yang terlampau sabar dengan segala kepolosan yang kumiliki.
"Mana ada yang seperti itu menjadi bagian dari pertunjukan," terangnya, "baiklah, sepertinya kamu tidak mengerti. Akan ku ulang," sambungnya.
Dia meraih tanganku lantas menggenggamnya erat.
"Aku menyukaimu. Jadilah pacarku."
Tanpa sadar aku mengangguk kecil, hingga membuat Yuki tidak henti-hentinya mengulas senyuman di wajahnya.
END
(Edisi Actor Stage)🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi Ni Hanashitai Koto || DRABBLE
Fanfiction"Dengar, ada yang ingin ku katakan padamu..."