Bara merasa hidupnya terlalu special jika harus dihabiskan dengan masalah romansa dan segala tetek-bengeknya.
Selama ini dia merasa cukup hanya dengan teman-temannya, De Dickens.
Tapi hidup selalu punya twist-twist kecil disetiap denting waktu yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Festival Area, Jakarta. Saturday, 29 October 2016. 07.39 PM. ---------------------------------------------
"Akhirnya ketemu juga..."
Rasya menghela nafas lega, berjalan mendekati Fikri dan Bobby yang sedang menikmati jajanan dari salah satu stand bazar.
Benar, festival tahunan yang membuat mereka freeclass berhari-hari hampir saja selesai. Bazar pada malam minggu ini sebagai penutupan.
Gadis itu duduk di samping Bobby, mencomot kue putu milik laki-laki itu dan memakannya tanpa permisi. "Nhadhiha mhanha?" tanyanya sembari menguyah.
Fikri berdecak, tangannya menyodorkan botol minuman kepada Rasya. "Jangan ngomong sambil makan," peringatnya.
Rasya segera menelan makanan di mulutnya, meneguk minuman yang sebelumnya diberikan Fikri kemudian kembali bertanya, "Nadira mana?"
"Kayak baru kenal Nadira aja lo," sahut Bobby. "Emang dia pernah duduk diem aja kalau ada kegiatan ginian?"
Rasya mengangguk-anggukan kepalanya, benar juga, Nadira memang selalu tak bisa diam jika ada kegiatan semacam ini, gadis itu selalu ingin berpartisipasi dalam segala hal.
"Dia mau tampil ntar, jadi vokalis pengganti." Fikri menjelaskan.
Rasya ber-oh ria, merasa biasa saja karena ia memang tau Nadira punya suara yang bagus. Fokus gadis itu teralihkan aroma harum yang terhirup hidungnya, ia menoleh, matanya berbinar seketika saat mendapati penjual Baso Bakar dan Sate tahu.
Ia menepuk lengan Bobby berkali-kali, membuat laki-laki itu berdecak kesal. "Apaan?"
"Beliin itu dong," pinta Rasya menatap Bobby dengan ekspresi melas seraya menunjuk penjual itu. "Antrinya panjang banget, badan lo kan gedhe pasti bakal bisa nerobos antrian kan??"
"Ngerepotin banget sih lo," cibirnya tapi tetap saja menuruti permintaan Rasya.
Rasya menyengir lebar, "Nggak apa-apa, yang gue repotin elo ini." Ia kemudian mengalihkan pandang dari Bobby yang mulai antri membeli apa yang ia inginkan, ia menatap Fikri. "Fik, lo kemarin ikutan lomba catur kan, menang nggak?"
Fikri mendongak. "Jelas lah, siapa coba yang bisa ngalahin strategi gue," jawabnya sembari menepuk dada. Begitu bangga.
"Dih, awas aja ntar kalau udah nemu lawan yang sebanding terus lo kalah, gue ketawain paling kenceng!" cibir Rasya, tangannya kembali mengambil kue putu milik Bobby kemudian memakannya.
Fikri menggelengkan kepala, yakin bahwa tak akan ada yang bisa mengalahkan strategi catur milik kakek buyutnya yang telah diwariskan turun temurun dalam keluarga. Ia menatap Rasya, teringat sesuatu.
"Eh, Nyeng, gue perhatiin lo akhir-akhir ini jadi deket sama anak IPA 3, sape tuh namanya... Korel?"
Kening Rasya berkerut. Ia merasa tak mengenal orang dengan nama yang baru saja disebutkan Fikri. "Siapa?"