Bara merasa hidupnya terlalu special jika harus dihabiskan dengan masalah romansa dan segala tetek-bengeknya.
Selama ini dia merasa cukup hanya dengan teman-temannya, De Dickens.
Tapi hidup selalu punya twist-twist kecil disetiap denting waktu yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SMA Nusantara, Jakarta Wednesday, 30November 2016 06.03 AM. --------------------------------------------------
Menyadari sekitarnya masih sangat sepi, Rasya tak menyangkal jika kini ia merasa takut. Benar-benar takut.
Mulai menyesali ide konyolnya menghindari Bara dengan berangkat lebih pagi. Huh... Sekarang ia harus berada di sekolah kosong ini sekitar dua puluh hingga tiga puluh menit lagi.
Ia putuskan langsung pergi ke kelas, karena disana dia bisa tidur lebih dulu, atau melakukan apapun yang bisa membuatnya tidak mati bosan.
Seperti dugaannya, kelas masih sepi. Ia segera duduk di tempatnya, mengedarkan pandang, bingung.
Setelah ponsel dan dompetnya hilang malam itu, ia belum memiliki ponsel baru, dan sekarang Rasya merutuk karenanya.
Ia menggaruk pipinya sendiri, seperti orang bodoh.
"Ck... Bara udah kayak mimpi buruk aja, gue bahkan nggak bisa hidup tenang setelah kenal dia!" gerutunya, yang tentunya sia-sia saja karena tidak akan langsung mengubah nasibnya.
Tapi sedetik kemudian, ia sadar diri. Ia juga ambil bagian dalam masalah ini, jika ia tidak dengan konyol tetap berada di sekitar Bara setelah mengetahui semuanya, nasibnya tidak akan seperti ini.
Rasanya ia ingin menangisi nasibnya. Tapi lagi-lagi hal itu akan sia-sia saja.
Rasya pilih menelungkupkan wajahnya di dalam lekukan tangan, tidur sebentar, pasti dirinya akan merasa lebih baik.
Tapi Tuhan sepertinya tidak mengizinkannya, terbukti dengan sebuah tepukan di atas kepala yang Rasya rasakan disaat dirinya hampir terlelap.
Ia berdecak, menggerutu, "Kenapa sih?!" seraya mengangkat wajah.
Bersamaan dengan rasa kantuknya yang lari entah kemana, Rasya membeku mendapati sosok yang kini tengah duduk di depannya, menghadap kearahnya dengan sebuah senyum lebar terlukis di wajahnya.
Dibawah meja, tangannya saling bertaut, gemetaran.
Apakah ia harus menekan tombol itu sekarang?
Tidak. Ia sedang di sekolah, Fikri... Ia kini bahkan malas menyebutkan namanya, tidak mungkin berani berbuat macam-macam padanya.
"Pantesan gue tiba-tiba pengen berangkat pagi, ternyata lo juga berangkat pagi, Nyeng."
Panggilan itu..
Panggilan itu membuat Rasya merasa tak ada yang terjadi diantara mereka, laki-laki di depannya ini masih sama, masih Fikri yang sama, temannya.
"Ikatan diantara kita emang kuat."
Rasya menghela nafas gusar, nyatanya memang hubungan mereka tidak akan bisa kembali seperti dulu, walaupun Rasya sangat berharap hal mustahil itu terjadi.