Bara merasa hidupnya terlalu special jika harus dihabiskan dengan masalah romansa dan segala tetek-bengeknya.
Selama ini dia merasa cukup hanya dengan teman-temannya, De Dickens.
Tapi hidup selalu punya twist-twist kecil disetiap denting waktu yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SMA Nusantara, Jakarta. Monday, 03 October 2016. 10.18 AM. ---------------------------------------------
Hari ini adalah salah satu hari keberuntungan bagi seluruh siswa SMA Nusantara. Pasalnya, sedari pagi mereka semua mendapat freeclass secara bersamaan dikarenakan adanya rapat guru dadakan.
Namun tak sedikit pula yang mengeluh dengan alasan lebih baik mereka dipulangkan saja daripada harus berkeliaran tanpa arah di sekolah seperti ini.
Tapi hal itu tak berlaku bagi seorang Afrasya Nazafarin, untuk pertama kalinya dalam seumur hidup ia bersyukur karena mendapat jam kosong seperti sekarang ini.
Dia menarik lengan Bobby dengan sepenuh tenaga yang ia bisa. Membuat laki-laki itu mau tak mau beranjak dari kursi kantin.
"Apaan dah?"
"Ikut gue!"
Bobby sempatkan menoleh kembali pada teman-temannya untuk berpamitan dengan isyarat tangan.
"Mau kemana?"
Rasya membawanya ke taman baca, setelah duduk di salah satu kursi taman itu, gadis itu mencercanya dengan berbagai pertanyaan.
"Bob, lo temen gue kan?" Adalah pertanyaan pertama yang diajukan Rasya. Tetapi seolah tak membutuhkan jawaban Bobby, dia kembali bertanya, "Lo juga temennya Nadira kan?"
Selang beberapa detik, gadis itu kembali bertanya, "Kalau ada sesuatu yang mencurigakan dari temen lo, lo nggak bakalan diem aja kan?"
Merasa punya kesempatan untuk menyela sebelum Rasya kembali menyerbunya dengan pertanyaan lain, Bobby berkata, "Apaan dah, langsung intinya coba."
"Gue mau lo bantuin gue nyari tau apa sebenernya yang disembunyiin Nadira."
"Ogah!" Bobby menolak mentah-mentah. Menurutnya hal tersebut sangatlah unfaedah.
"Ah elah, Bob, lo itu cuma bagian nunjukkin ke gue mana sih cowok yang tempo hari papasan sama Nadira, nanti sisanya biar gue yang ngurus."
Bobby nampak mempertimbangkan hal tersebut. "Lagian, kenapa sih lo kepo banget sama urusan orang?"
"Ck, nggak gitu! Gue khawatir sama Nadira, gimanapun juga dia yang lebih lama bareng sama gue dibandingkan lo sama fikri, jadi gue yang lebih banyak tau tentang dia."
Bobby diam mendengarkan, "Tapi lo bener-bener cuma pengen tau aja 'kan? Setelahnya lo nggak bakal ikut campur apalagi bawa-bawa gue?"
Bobby mengernyit kemudian bergidik ngeri. "Kenapa kalau lo yang ngomong gitu, gue kok jadi jijik ya," katanya.
"Sialan!" umpat Rasya tak lupa melayangkan telapak tangannya ke kepala Bobby. "Jadi lo mau bantuin gue kan?"
Bola mata Bobby bergerak merotasi, seolah tengah mempertimbangkan jawaban untuk pertanyaan Rasya. "Kalau cuma nunjukin yang mana orangnya, gue bisa bantu."
-oOo-
SMA Nusantara, Jakarta. Monday, 03 October 2016 02.51 PM. ---------------------------------------------
Setelah merasa otaknya yang cukup kecil ini tak mampu menyerap ilmu yang disampaikan oleh guru fisika yang paling dicintai Nadira itu, Rasya memantapkan diri untuk izin ke toilet.
Ya, paling sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit lah.
Tapi tentu saja gadis itu tidak berdiam diri di toilet, yang benar saja, bisa ketempelan setan toilet jika ia merenung disana berpuluh-puluh menit.
Dia memilih berjalan tanpa arah di sekolah itu, terhitung sudah hampir dua minggu dia dan temanya yang lain menumpang sekolah disini, dan selama itu pula dia belum pernah mengekspor keseluruhan dari sekolah ini dengan leluasa.
Sampai di persimpangan koridor, ia berhenti, bingung hendak pergi ke kanan atau kiri. Akhirnya, ia pergi ke kanan. Ia pernah pergi ke arah itu sebelumnya, tapi hanya sampai perpustakan yang kemudian membuatnya terdampar di gudang bersama makhluk aneh bernama Darell itu.
Rasya menggeleng. Mengingat wajahnya saja membuatnya kesal bukan main.
Dia melewati perpustakaan, terus menuju Utara, menoleh ke samping kiri, tepatnya bersebrangan dengan perpustakaan ada taman baca yang diisi dengan pohon-pohon rindang, kursi taman, dan gazebo.
Tepat di sebelah perpustakaan, ada ruangan lagi, mungkin ruang serbaguna. Baru setelah ia melewati ruangan itu, Rasya mendapati gedung bertingkat dua, sepertinya ini laboratorium yang sering disebut-sebut oleh Qila.
Lab yang katanya menjadi tempat berkumpulnya pentolan sekolah ketika bolos pelajaran. Lantai satu digunakan sebagai lab IPA, sedangkan lantai dua merupakan lab Multimedia.
Merasakan hawa disekitarnya mulai terasa tak menyenangkan, Rasya memutuskan untuk segera beranjak dari sana. Lagipula ia sudah cukup lama jalan-jalan, mungkin sudah hampir tiga puluh menit.
Tetapi telinganya yang tajam, didukung dengan keadaan sekitar yang senyap, Rasya mendengar sesuatu terjatuh, ralat, sepertinya seseorang yang tersungkur ke lantai.
Dia mendongak, menatap lantai dua dimana sumber suara itu terdengar. Ia berniat naik ke atas sana dan melihat apa yang terjadi, tapi niatnya urung ketika ia mendengar seseorang berkata, "Supaya lo tau, lo lagi nyari masalah sama siapa." Dia dengan segera berlari ke bawah tangga.
"Kami nggak punya waktu ngurusin kerikil-kerikil kayak kalian, tapi kalau sampai ada satu dari kalian ngusik jalan kami, jangan marah kalau hidup kalian nggak tenang setelahnya." Suara itu tak lagi terdengar beberapa saat. "Itu salam dari dia, dan ini..." jeda lagi kemudian Rasya mendengar suara tinjuin disusul dengan desisan kesakitan. "Dari gue, karena gara-gara lo gue harus bolos."
Rasya bersembunyi saat mendengar langkah kaki mulai terdengar jelas menapaki tangga. Selang beberapa saat, ia memberanikan diri untuk melihat siapa orang itu.
Orang itu berjalan membelakanginya, namun dari suara dan postur tubuhnya, hanya satu orang yang terlintas seketika di benaknya.
Dia yang selalu berpakaian rapih, dengan tinggi diatas rata-rata dan suara yang berat penuh wibawa, kalau tidak salah ingat, namanya Adrian, Ketua OSIS.
Rasya penasaran, setelah memastikan Adrian tak lagi terlihat, gadis itu berlari menaiki tangga untuk mencari tau apa yang telah terjadi.
Ia terpaku. Di depannya kini terbaring seorang laki-laki yang telah tak sadarkan diri. Darah terus mengalir dari hidungnya. Rasya memberanikan diri mendekat.
"DION?!" Ia memekik keras. Meskipun lebam memenuhi wajahnya, Rasya masih dapat mengenali siapa orang ini.
Namanya Dion, salah satu anggota geng motor yang diketuai mantan pacarnya, Praja Dirgantara.
Dia mundur secara teratur. Menolak ikut campur pada masalah apapun yang terhubung dengan laki-laki brengsek yang sialnya pernah menjadi pacarnya itu.
Dalam perjalanan kembali ke kelas, Rasya terus berpikir, kenapa ketua OSIS seperti Adrian punya masalah dengan anggota geng motor yang bahkan bukan siswa sekolah ini?