Bara's House, Jakarta.
Monday, 07 November 2016.
06.21 AM.
-----------------------------------------------Selesai menyisir rambutnya dan memperhatikan seluruh penampilannya di pantulan cermin, Bara mengambil tas sekolahnya, keluar dari kamar tanpa perlu menutup pintunya.
Seperti biasa rumah bergaya klasik berlantai dua yang didominasi warna putih gading dan cokelat itu tampak lenggang, seolah tak ada kehidupan di dalamnya.
Sangat hening sampai-sampai suara derap langkah Bara terdengar dari lantai satu ketika dia mulai menuruni anak tangga.
Sorot matanya tajam seperti biasa, melangkah menuju meja makan dimana sarapannya sudah tersedia di atasnya. Tanpa bersuara ia mengambil satu buah roti tawar, memakannya langsung tanpa mau repot-repot mengoleskan selai atau yang lain.
Tak bisa tergambarkan seberapa kosong hidup laki-laki itu, keheningan selalu menemaninya ketika ia pulang ke rumah. Tak ada yang perduli sekalipun ia pulang dini hari atau bahkan belum memakan apapun selama berhari-hari, dia sendirian.
Keluar dari garasi seraya menuntun sebuah sepeda, Bara mendongak menatap bangunan megah itu. Ini bukan rumah, bangunan ini tak lebih dari sebuah tempat berteduh baginya, ia telah kehilangan rumahnya ketika ibunya meninggal dunia tujuh tahun yang lalu.
Bara memalingkan wajah, memejamkan mata kemudian menghebuskan nafas berat. Saat matanya kembali terbuka, ia kembali mengenakan topengnya.
Raut wajahnya tak lagi kaku seperti sebelumnya, sorot mata tajamnya mulai memudar berganti dengan tatapan biasa, namun jika diperhatikan secara jeli, ada kekosongan disana, tanpa binar.
Ia mulai mengayuh sepeda itu, entah harus merutuk atau berterima kasih kepada kondisi berbahaya saat ini yang mengharuskannya kembali berubah.
Tak ada lagi Mercedes Bens, ia pergi ke sekolah menggunakan sepeda itu.
Berpuluh-puluh menit berlalu, gerbang besar bertuliskan SMA Nusantara berdiri kokoh di depan Bara. Ia mengayuh pelan sepedanya memasuki kawasan sekolah.
Mendapati guru kesayangannya yang semakin hari semakin terlihat gemuk seperti babi yang siap di sembelih -Bu Tut- terlihat berbincang-bincang dengan satpam di posnya membuat senyum jahil Bara-bukan- Darell terbit.
"Selamat Pagi, Bu Princess..." sapanya, tak terdengar ramah tapi malah terdengar menyebalkan.
Secepat guru bertubuh tambun itu menengok ke arahnya, secepat itu pula ekspresi wajah wanita berusia pertengahan empat puluh tahun itu berubah.
Matanya melotot horor, mungkin jika ini film kartun maka ia yakin wajah guru itu sudah memerah dengan telinga mengeluarkan asap.
Bu Tut menggeram, menahan amarah. Ia menoleh kembali pada pak satpam. "Pak Amin punya gunting atau benda tajam lainnya nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BARAJA [NEW VERSION]
Teen FictionBara merasa hidupnya terlalu special jika harus dihabiskan dengan masalah romansa dan segala tetek-bengeknya. Selama ini dia merasa cukup hanya dengan teman-temannya, De Dickens. Tapi hidup selalu punya twist-twist kecil disetiap denting waktu yang...