Bara merasa hidupnya terlalu special jika harus dihabiskan dengan masalah romansa dan segala tetek-bengeknya.
Selama ini dia merasa cukup hanya dengan teman-temannya, De Dickens.
Tapi hidup selalu punya twist-twist kecil disetiap denting waktu yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SMA Nusantara, Jakarta. Thursday, 03 November 2016. 09.26 AM. -------------------------------------------------
Setelah beberapa hari, semuanya kembali tenang, sangat tenang dan normal. Tapi entah kenapa Rasya merasa masalah yang besar akan datang.
Ketenangan sebelum badai orang biasa menyebutnya, dan itulah yang Rasya rasakan saat ini.
Ia begitu tak fokus, sampai-sampai Nadira harus menepuk pipinya karena gadis itu tak kunjung menyahuti pertanyaan yang diajukan Nadira.
Rasya mengerjap. "Ha?"
"Ck, lo mikirin apa sih? Keuangan negara?" Nadira berdecak. "Lo mau pesen apa? Ditungguin tuh."
Rasya mendongak, ia meringis saat mendapati Fikri dan Bobby menatap bosan kearahnya, kedua laki-laki itu sudah berdiri sepertinya siap memesan makanan untuk mereka berempat.
"Gue ngikut aja deh," jawab Rasya, membuat ekspresi Fikri semakin keruh.
"Tau gitu nggak usah lama-lama nunggu kita, Bob," gerutunya kemudian berlalu untuk memesan makanan.
Nadira menatap Rasya penuh tanda tanya saat ia mendapati temannya itu kembali menatap kosong. "Lo kenapa, Fa?"
Situasi seperti berbanding terbalik dengan beberapa minggu yang lalu, saat itu Rasya yang terus gencar bertanya pada Nadira yang hanya diam saja.
Rasya mulai mengambil kembali fokusnya. Tidak, berdiam diri dan merenung seperti ini bukanlah kebiasaannya. Dia mulai memikirkan sesuatu, sesuatu yang mungkin bisa membantunya mengetahui apa yang sebenarnya membuatnya resah.
"Nad, abang lo gimana kabarnya?" Ia putuskan untuk mulai dari bertanya tentang Satya agar Nadira tak terlalu curiga.
Nadira mengernyit. "Tumben lo nanyain abang gue?" tatapannya penuh kecurigaan. "Dia baik, tapi gue jarang ketemu sama Bang Satya, akhir-akhir ini dia jarang dirumah."
Sudah Rasya duga, sesuatu pasti akan atau bahkan sedang terjadi. "Dia nggak pernah cerita atau bilang ke lo gitu kemana dia pergi?"
Ia menatap Nadira penuh minat, menanti setiap jawaban dari gadis itu.
"Nggak. Lo tau sendiri kan gue sama dia udah pisah lama banget, jadi nggak akrab, gue juga nggak berani banyak tanya, bisa tinggal bareng tanpa ada masalah aja gue udah seneng banget."
Rasya bisa melihat betapa sayangnya Nadira pada kakak laki-lakinya dari ekspresi gadis itu tiap kali ia membicarakan Satya. Rasya jadi tak bisa membayangkan bagaimana respon Nadira jika gadis itu tau seperti apa sifat asli abang kesayangannya.
"M.. terus, hubungan lo sama Darell?"
Secepat angin berhembus ekspresi Nadira berubah. Gadis itu menatapnya datar. "Bisa nggak jangan pernah nyebut nama dia lagi di depan gue?"