Part 2

45.8K 3.3K 27
                                    

Garin

Motor milik Amanda yang aku kemudikan melaju kencang menyusuri jalanan kota Bandung yang lumayan bersahabat hari ini, karena tidak sekali pun aku terjebak di kemacetan yang mengular.

Tujuanku adalah menemui Maya di rumahnya. Tadi malam dia memintaku untuk mengantarkannya ke suatu tempat karena mobil yang biasa dia pakai sedang berada di bengkel. Sebagai kekasihnya, tentu saja aku tidak akan menolak dan siap mengantarnya kemanapun tujuannya.

Sebelum kami menjalin hubungan, aku mengenal Maya sebagai adik dari sahabatku karibku, willy. Kebersamaan kami rupanya menimbulkan benih-benih cinta dihati Maya. Aku pun tak menolak dan menerimanya saat Maya menyatakan cintanya padaku. Dia cantik, seksi, pintar dan sangat peduli padaku. Bagiku itu semua sudah cukup menjadi alasan kenapa aku mau menerimanya.

Namun saat aku berniat untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius setelah Maya selesai di wisuda, dia menolak dengan alasan masih ingin melanjutkan pendidikannya. Walaupun sedikit kecewa, tapi aku coba untuk mengerti karena wanita pintar seperti Maya pasti haus akan ilmu. Jadi aku tidak mau menjadi penghalang cita-citanya dan bertekad untuk sabar menunggunya hingga siap.

Setelah tiba, Maya langsung menyambutku didepan rumahnya. Rupanya dia sudah siap dengan tampilan terbaiknya. "Loh, kok bawa motor sih?" Tanya Maya karena tidak pernah sekalipun aku membawa motor saat berkencan dengannya.

"Mobilku dibawa sama Pras."

"Terus kenapa nggak pake mobil lain aja, malah bawa motor."

"Tadi sebelum kesini sebenarnya aku pakai mobil. Tapi tiba-tiba mobilnya mogok dijalan, jadi terpaksa aku nebeng dan minjem motor tetangga."

"Jadi ini motor punya tetangga kamu? Malu-maluin banget sampai pinjem punya orang."

"Orangnya juga nggak masalah."

"Lagian main bawa aja. Aturan nanya dulu ke papih kamu atau dicek dulu kondisi mobilnya sebelum dipakai." omel Maya.

Tak ingin berdebat, aku pun langsung menaiki motor itu kembali. "Ayo buruan naik ntar telat. Mau diantar kemana?" tanyaku.

"Serius, kamu mau nganterin aku naik motor?"

"Sekali-sekali lah. Lagipula kamu mau naik apa coba, mobil kamu juga masih dibengkel kan?"

Dia tampak menimbang ajakanku, namun raut wajahnya terlihat ragu. Aku tahu betul siapa Maya, dia wanita yang sangat menjaga image dan anti sekali sama yang namanya motor.

"Kita nggak usah jadi aja deh perginya, mending kamu temenin aku dirumah aja."

Sudah aku duga sebelumnya kalau dia akan menolak. Padahal motor yang aku bawa ini adalah motor keluaran terbaru dan termasuk salah satu kendaraan yang sedang banyak digandrungi.

"Kenapa sih May kamu alergi banget naik motor, padahal kan ini motor bagus." tanyaku, tidak peduli Maya akan menafsirkan seperti apa ucapanku.

"Kamu tahu sendiri kan, rambut aku suka berterbangan kalau naik motor. Belum lagi wajahku bakalan kotor nantinya. Males ahh."

"Jadi kita nggak jadi jalan nih?" tanyaku, sedikit kecewa dengan penolakan Maya.

"Maaf.."

"Okay. Nggak masalah." ucapku lalu memarkirkan kembali motor milik Amanda. Mengingat Amanda, gadis centil itu sangat berbeda dari Maya. Jika maya tidak menyukai motor, gadis itu malah sebaliknya. Dia lebih nyaman kesana kemari menggunakan motornya tanpa merasa takut kepanasan atau kehujanan.

Amanda memang cuek dan terkesan tomboy tapi bukan berarti dia tidak memperhatikan penampilanya. Aku sering sekali melihatnya di salon kecantikan yang sama saat mengantar mamih melakukan perawatan disana.

Amanda lebih memilih bergaya casual dibanding feminin seperti kebanyakan wanita. Dia sangat menyukai tampil hanya dengan mengenakan celana jeans, kaos oblong yang dikombinasi dengan kemeja flanel yang dilengkapi assesories topi dan sneakersnya. Kalau aku tebak, bisa jadi koleksi kemeja flanel yang Amanda punya jauh lebih banyak daripada koleksi dilemariku karena aku lebih sering menggunakan kemeja polos untuk ke kantor.

Saat menyatakan cintanya pun sangat berbeda, Maya tampak malu-malu namun sangat tenang. Sedangkan Amanda, gadis itu sangat blak-blakan dan tidak tahu malu. Itulah kenapa aku sedikit menghindar darinya setelah mengetahui kalau dia menyukaiku. Bukan karena dia tidak cantik, bukan... Dia malah sangat cantik dan menggemaskan dengan bare face nya yang terkesan natural. Tapi aku pikir dia lebih cocok menjadi adikku dibanding pacarku, karena usianya yang delapan tahun lebih muda dariku. Tidak mungkin kan aku mengencani daun muda?

Aku tersenyum saat mengingat kalau Amanda pernah menyatakan cintanya padaku. Bisa-bisanya gadis kecil itu menyukaiku. Punya KTP saja belum, sudah sok-sok-an ingin menikahiku.

"Nanti siang jalan yuk ke mall, aku pengen beli buku."

Ajakan Maya membuyarkan lamunanku. Aku merutuki diriku karema bisa-bisanya mengingat Amanda ketika sedang bersama Maya.

"Masuk dulu yuk, dari tadi kamu diluar terus." Dia mengajakku masuk kedalam rumahnya yang sepi karena memang tinggal sendirian.

Taman belakang rumah Maya tampak gersang dan kering. Sepertinya dia jarang sekali merawat tanaman-tanamannya. Hanya ada hamparan rumput hijau dan beberapa tanaman yang tidak lebih dari lima pot saja yang berada disana. Sangat disayangkan, padahal tanahnya sangat luas sekali.

Maya sangat feminin dalam berpenampilan namun dia tidak menyukai berbagai kegiatan yang banyak dilakukan seorang wanita. Contohnya seperti memasak atau bercocok tanam. Karena menurut dia, itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumh tangga. Sedangkan dia tidak ingin menjadi bagian dari mereka. Dia ingin menjadi salah satu dari sekian perempuan yang sukses dalam karirnya.

Maya kemudian datang dan memberikan satu buah minuman kaleng dingin kepadaku. Aku memperhatikan minuman bersoda itu dan langsung meringis saat membayangkan bagaimana lambung dan ususku akan menderita setelah meminumnya apalagi perutku belum terisi makanan sedikit pun pagi ini.

Aku sempat bertanya didalam hati, kenapa Maya memberiku minuman seperti ini dipagi hari? atau jangan-jangan untuk sekedar memberiku secangkir teh hangat saja, dia tidak punya persediaan.

"Ada teh hangat nggak May? nggak baik buat lambung kalau pagi-pagi minum ini. Lagian aku kan nggak minum soda."

Maya menggeleng pelan dengan wajah penuh rasa bersalah. "Sorry yang, aku belum belanja persediaan dapur. Mau nggak aku ambilkan air putih hangat aja?" tawarnya.

"Ya udah nggak apa-apa, air putih aja kalau begitu." pintaku.

Maya datang beberapa menit kemudian dengan secangkir air putih hangat, oh bukan, lebih tepatnya air putih panas karena begitu aku meminumnya, bibirku rasanya langsung melepuh saking panasnya.

Maya tampak panik saat melihat aku mengibas-ngibaskan tangan di bibirku.

"Kamu ngasih aku air panas, May?"

"Maaf sayang,  tadi aku lupa. Harusnya, air panasnya dicampur pakai air dingin dulu." Ucapnya sambil membawa satu botol air putih dingin.

"Nggak usah..nggak usah." Tolakku. "Habis minum air panas terus dikasih air dingin, bibirku jadi apa nantinya."

"May, mulai sekarang kamu harus belajar untuk hal-hal seperti ini. Bukankah kita nanti akan menikah?" protesku, sedikit kesal karena untuk hal kecil seperti ini saja Maya terlihat kesulitan.

"Nikah?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya.

"Iya nikah. Kamu mau kan kalau kita nikah?"

Maya mengangguk. "Mau"

"Makanya kamu harus belajar bagaimana tugas menjadi seorang istri. Nggak usah belajar masak dulu deh karena itu akan sulit dan membutuhkan waktu. Tapi setidaknya kamu bisa mengerjakan hal-hal kecil yang biasa dilakukan perempuan."

Maya hanya mengangguk. Aku tidak bisa mengartikan apa maksud dibalik anggukannya. Tapi yang terpenting, aku sudah memberitahu point-point awal sebelum kami menuju ke jenjang yang lebih serius lagi, yaitu pertunangan.

--------------------------------------------------

Cinta Sendiri (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang