Part 26

35.8K 2.5K 51
                                    

Garin

Setelah memastikan Abel sudah terlelap, aku langsung menemui Denawa di ruanganya. Aku sengaja menempatkan mereka diruangan yang letaknya bersebelahan supaya bisa memantau keduanya dengan baik.

Saat sedang menjaga Denawa tadi sore, Anggi menelponku dan mengabarkan kalau kondisi Abel sangat mengkhawatirkan. Abel memiliki kelainan di paru-parunya dari sejak lahir dan ini sudah hari kedua Abel mengalami demam dan sesak napas. Aku langsung menyuruh Anggi untuk membawa Abel ke rumah sakit lalu ikut menemaninya memeriksakan ke dokter.

Ketika aku memasuki ruangan Denawa, tampak seorang suster sedang mengganti infusnya. "Denawa jangan banyak bergerak ya sayang." Ucapnya setelah selesai mengganti infus.

"Bagaimana kondisi putra saya suster?" Aku sengaja menekankan kata 'putra saya' agar suster tersebut tidak salah paham sebab beberapa dari mereka ada yang mengira kalau aku ini ayahnya Abel.

"Ooh jadi bapak orangtuanya Denawa?" Tanya suster tersebut sedikit terkejut.

"Saya ini papahnya Nawa dan Abel itu ponakan saya."

"Saya kira bapak papanya Abel. Maaf ya pak." ucapnya. "Nawa panasnya sudah mulai turun walaupun masih belum dikatakan sembuh. Makan nya mungkin yang agak susah jadi mesti dibantu infus. Harus dibujuk terus ya pak supaya mau makan."

"Baik suster. Terima kasih."

Sekilas aku bisa melihat wajah kesal Amanda saat suster tersebut mengira kalau aku adalah papahnya Abel. Ternyata perhatianku pada Abel membuat banyak orang menjadi salah paham.

*****

Saat ini aku dan Amanda sedang berada di balkon sambil menikmati kopi dan makanan ringan yang baru saja aku beli.

"Amanda, mas minta maaf." ucapku, membuka obrolan kami dengan permintaan maafku karena sejak kemarin, aku terus mendiamkannya. "Yang tadi itu temen sekaligus karyawan mas, kebetulan anaknya sakit juga."

"Hemm.." responnya.

"Nawa masih mengeluh pusing?" tanyaku.

"Dia rewel terus nanyain papahnya dari tadi."

"Kenapa nggak telpon?"

"Aku nelponin kamu terus kok mas."

Aku langsung merogoh saku dan mengeluarkan ponselku. Lima panggilan tak terjawab dari Amanda benar-benar luput dari pendengaranku. Mungkin panggilan itu berbunyi saat aku membantu Anggi untuk ikut menenangkan Abel yang terus menangis.

"Anak sebelah kedengarannya lagi nangis. Mas nggak berniat kesana?" sarkasnya saat samar terdengar tangisan Abel diruang sebelah.

Aku hanya bisa pasrah saat Amanda mengeluarkan sindirannya. Setelah melihatku bersama Anggi dan Abel tadi sore, aku sudah menduga kalau Amanda akan salah paham.

"Udah ada ibunya yang menjaga." ucapku.

"Memangnya dari tadi ibunya ngapain aja sampai mas ikut-ikutan sibuk."

"Manda, tolong jangan mulai lagi, mas males berdebat."

"Abisnya anak orang diurusin, anak sendiri diabaikan. Nggak mungkin kan aku datang ke ruangan sebelah dan menyeret mas untuk menemui Nawa."

"Maaf, mas nggak bermaksud mengabaikan Nawa dan kamu."

"Kenapa nggak suaminya aja yang ngurusin. Kok malah mas Garin?"

"Dia nggak punya suami."

"Maksud aku kalau pun bercerai tetep aja mantan suaminya yang harus ngurus anaknya, bukan mas."

Cinta Sendiri (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang