12.

377 19 2
                                    

"Ve, ini motornya gak bakalan jalan kalo gak kamu idupin mesinnya." Caramel menatap Ve heran melalui spion, perasaanya ia sudah menaiki motor Ve semenit yang lalu, tapi Ve enggan menghidupkan motornya.

"Car, ini motornya gak bakal idup kalau kamu gak pegangan," ujar Ve mengikuti cara bicara Caramel.

"Pegangan?" Dengan ragu tangan Cara yang mulanya bertengger di lututnya kini terangkat menuju pundak Ve.

Lelaki itu berdecak sebal melihat tingkah gadisnya, ia langsung menarik tangan Cara—melingkarkannya di pinggang rampingnya.

"Di sini Caramel, bukan di pundak." Ve menunjuk ke arah pinggangnya yang sudah terlilit dengan tangan mungil Cara. Di balik pundak Ve, Cara tersenyum manis. Sedikit demi sedikit sifat tersembunyi Ve akan terkuak di depannya.

"Cieee... cieee... kita duluan yaa, biar yang jomblo semakin di depan." Abi mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Ia menyoraki pasangan baru itu beriringan dengan mobil yang bergerak melewati motor Vanderer.

"Udah siap?" tanya Ve saat eksistensi mobil Abi sudah hilang dari pandangan. Cara mengangguk, ia meletakkan kepalanya di pundak Ve, ia bernapas lega saat ini. Coba saja ada teman-temannya bisa habis Cara dicie-cein Abi dan Budi.

Sesampainya mereka di sekolah, seluruh eksistensi langsung mengarah ke arah mereka. Mulai dari parkiran hingga berjalan di koridor semua orang menatap mereka dengan tatapan bertanya-tanya, pasalnya mulai dari parkiran hingga koridor Ve tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dengan Cara.

Walaupun wajahnya sesekali terasa gatal Ve membawa tangan Cara ikut menggaruk wajahnya.

"Hei, my bre! Akhirnya lo udah gak jomblo lagi." Alle menyapa Ve di tengah-tengah koridor. Ve hanya membalas tangan Alle yang terangkat ke atas—bertos ala anak lelaki umumnya.

"Thanks, gue anter cewek gue ke kelas dulu." Alle mempersilahkan Ve pergi dari hadapannya dan diikuti teman-teman Cara lainnya. Kecuali, Kavin. Lelaki itu diam sejenak memandang Alle dengan tatapan tak terartikan. Membuat satu alis Alle terangkat, ia menunjukkan raut kebingungannya.

Kavin bergeming, kemudian lelaki itu pergi menyusul teman-temannya meninggalkan Alle sendirian.

***
Suara bel pertanda jam pelajaran telah usai berdering sesaat yang lalu. Saat ini lima serangkai di tambah Vanderer sedang berjalan menuju gerbang.

"Cara, parkiran belok kanan," teriak Budi saat melihat Cara malah berjalan lurus ke depan. Tidak mendapat sahutan dari Cara membuat teman-temannya dan Ve mengikuti langkah Caramel.

"Pak Dadang?" kejut Caramel saat melihat lelaki tua dengan seragam hitam khas seorang supir sedang berdiri di depan mobil yang terpakir di depan pagar sekolah.

"Pak Dudung?" Abi ikut terkejut melihat lelaki paruh baya yang sudah lama tak ia lihat.

"Pak Diding ngapain di sini?" tanya Budi yang penasaran.

"Iya, pak Dedeng mau ngapain ke sini?" tanya Kavin ikut-ikutan.

"Mau jemput neng Cara," jawab lelaki tua itu.

"APA?! BELLA GAK SALAH DENGER NIH, BAPAK MAU JEMPUT CARA?!" Tidak hanya Caramel yang terkejut mendengar jawaban supir Maulana—papa Caramel, Bella tak kalah histeris.

"Tunggu, sebenarnya ...." Ve memberi jeda pada ucapannya, ada banyak pertanyaan di kepalanya. Ia sampai bingung ingin bertanya yang mana duluan. "Sebenarnya nama bapak ini siapa?" Mungkin pertanyaan ini paling pas untuk ditanyakan lebih awal.

"Terserah lo Ve mau manggilnya siapa, tenang aja pak Dadang udah potong kambing tujuh kali, jadi namanya banyak." Ve hanya menggaruk pelipisnya yang tak gatal, pikiran teman-teman Cara di luar jangkauan.

Vanderer [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang