31

163 11 0
                                    

"Cara bibir lo berdarah!" Seruan yang memekik telinga diabaikan oleh sang empuh begitu saja.

Pikirannya berkecamuk, semuanya bagai lelucon bagi Cara, rolekoster bahkan terasa amat jauh membosankan dari apa yang ia jalani. Dalam satu hari semuanya berubah, mengalahkan tongkat sihir yang dulu sempat ia kagumi karena terlalu banyak membaca novel Harry Poter. Sudah dua hari berlalu, namun rasa gundah, ketakutan, banyangan gelap akan kebenaran yang tak ingin ia dengarkan lagi terus menghantuinya, seolah menantang gadis itu siapa yang lebih tangguh?

"Car, lo udah gak ngelakuin kebiasaan lo selama dua tahun, loh?."

Cara menghiraukan amukkan Bella, bahkan ia baru sadar jika bibirnya mengeluarkan darah yang cukup banyak untuk ukuran luka kecil. Cara mengambil beberapa tisu yang terdapat di meja makan kantin, ia menekan bibirnya seolah tak ada rasa sakit yang menyengatnya, lagian rasa sakit di bibirnya tak sebanding dengan luka yang menyeruak lebar di hatinya.

"Lo kenapa sih? Akhir-akhir ini lo aneh banget." Gadis yang diajak bicara itu mengedarkan pandangannya, seolah jiwanya kembali memasuki tubuhnya, dia sangat terkejut saat melihat teman-temannya ternyata menatapnya mengintimidasi, menuntut gadis dengan bibir yang terdapat luka di sana untuk menjawab semua pertanyaan yang selama ini mengguntung di kepala mereka tanpa tahu jawabannya.

Cara menghembuskan napasnya, ia menyeruput mie yang ia pesan setengah jam yang lalu bahkan kuah yang mulanya membanjiri mangkuknya kini telah menyatu dengan mie tersebut, sudah tidak enak untuk disantap. Dengan mulut yang penuh gadis itu membuka suaranya, "gak papa."

Suara dentingan sendok dengan mangkuk kaca yang berasal dari Budi mengalihkan pandangan teman-temannya ke arah pemuda itu, dengan wajah yang menunjukkan rasa kesal juga bosan ia berkata menyalang, "kita temenan udah berapa lama sih? Sehari? Dua hari? Masih aja rahasia-rahasiaan satu sama lain. Kalo ada apa-apa cerita Car, apa gunanya kita di sini jadi temen lo, sahabat lo, bahkan lo semua udah gua anggep sodara gua sendiri, anjing! Kalo lo gak mau cerita jangan ketara kali lah kalo lo punya masalah."

"Sabar Bud," Abi yang duduk tepat di sebelahnya berusaha menenangkan Budi yang tampak emosi. "Car, lo udah dua tahun gak gigittin bibir lo kayak tadi. Secepet apa pun waktu berjalan, dua tahun bukan waktu yang singkat. Lo lagi ada masalah? Cerita sama kita? Atau lo gak mau gue, Budi, atau Kavin tau karena masalah wanita? Lo bisa cerita sama Bella. Atau ini masalah hubungan lo sama Ve, iya?" Abi mencoba menenangkan Cara yang tampak ketakutan, ia mencoba menjabarkan maksud perkataan Budi dengan intonasi yang lebih lembut. Karena pada dasarnya pertengkaran terjadi hanya karena kesalahan menggunakan intonasi bicara saja.

Bella menggenggam tangan dingin Cara yang tampak bergetar, ibu jarinya mengelus lembut punggung tangan sahabatnya itu, saat-saat seperti ini Bella merasa menjadi ibu untuk Cara. "Are you okay? You can tell me."

"Ribet Bell, gue gak bisa ceritain ini ke kalian karena gue juga belum yakin sama hal ini."

"Cara, lo nangis?" Ini yang Cara takut, ia tidak bisa menahan tangisnya jika menceritakan hal buruk yang selama ini terus menghantui benaknya.

Cara mendongak, menatap wajah temannya satu persatu, dengan mata yang sembab dan bibir yang sedikit bergetar, dia menyalurkan persaan hatinya yang begitu perih kepada teman-temannya.

"Lo takut Cara?" Kavin cukup peka dengan suasana di sekitarnya, ia bisa merasakan sesuatu buruk yang ada di depan mata mereka.

"Iya, gue takut Kavin."

"Pilihan lo cuma dua, nemui jawaban atas pertanyaan lo sendiri atau berteman dengan segala rasa overthinking lo."

Bella semakin meremas tangan gadis itu, ia berusaha menyalurkan kehangatan dan ketengan untuk sahabatnya, dengan suara yang luar biasa lembut Bella terus mengulang kalimat penenang untuk Cara, "Ada kita Car, kita bakalan nemenin lo."

"Gue gak takut dengan jawaban atas semua pertanyaan yang ada di kepala gue. Yang gue takuti saat lo semua tau, kalian bakal ninggalin gue sendirian. Jujur gue gak punya siapa-siapa lagi selain lo semua, gue yakin lo bakalan benci sama gue nantinya."

"Lo ngebunuh orang? Nyabu? Ngerokok? Cabul?" Budi menyerbunya dengan aneka ragam praduga.

"Anjing, gue masih waras kali!"

"Kalo gitu gak ada alasan untuk kita benci sama lo, Car. Bahkan kalo lo ngelakuin hal kayak gitu, kita bakal tetep ada di samping lo. Kita udah terlalu sering menghadapi badai sama-sama, terlalu kekanakan kalo kita musuhan cuma karena satu masalah, yang bahkan bisa kita selesaikan sama-sama."

Cara bersyukur memiliki ke-empat manusia hebat di sampingnya, teman-temannya lebih dari kata sahabat baginya, jika ada yang lebih dekat dari hubungan persaudaraan maka itulah mereka.

Cara mendekat ke arah Budi, memeluk lelaki itu erat. Rasanya ia tidak tahu harus alasan apa lagi untuk tetap hidup di esok hari, namun saat dia melihat ketulusan teman-temannya dia sadar, bahwa ia tidak butuh alasan untuk tetap hidup di hari esok. Saat semua orang butuh pundak untuk bersandar, ia akhirnya sadar tuhan  memberikannya empat pundak sekaligus. Detik itu dia benar-benar merasa hangat, ia merasa kembali pulang ke rumah. Rumah yang selama ini menghilang entah kemana.

***

Vanderer [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang