33

220 10 4
                                    

🎶WHY WOULD I BE🎶

Jika ditanya penyesalan terbesar yang Caramel lakukan selama hidupnya maka dengan lantang gadis itu menjawab; terlahir ke dunia ini. Malam itu Rio terlalu banyak bicara, terlalu banyak memberikan fakta yang membuat dirinya merasa dibodohi oleh dunia. Ia tertawa keras saat sesekali Rio berbicara omong kosong yang bahkan sangat mustahil hal menjijikan seperti itu adalah menjadi bagian dari sejarah terciptanya ia di dunia. Cara benci lelaki bernama Rio setengah mati mulai detik itu, ia benci pada pemuda yang jauh lebih tua dari dirinya karena telah mengatahui seluruh kehidupannya yang menyedihkan dan menjijikkan.

Sudah dua jam Cara pergi dari ruangan itu dengan dalih ia ingin pergi ke toilet sebentar, awalnya hanya kecanggunggan yang menemani teman-temannya saat harus berhadapan dengan Rio tanpa dirinya, namun lama kelama rasa khawatir juga cemas merasuki akal sehat mereka dan meminta Bella untuk segera menyusul temannya yang tengah membuang hajat tersebut agar lekas kembali karena saat ini Ibu Kota sudah mulai cerah kembali sedangkan mereka belum ada tidur sama sekali. Jujur saja rasa kantuk mulai menggerogoti kesadaran mereka, namun rasa terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar mengambil alih semua kewarasan mereka. Cara tak sebaik itu ternyata.

Cara membohongi mereka dengan pura-pura tertawa dan terlihat seolah bahagia saat ternyata dirinya tengah menanam luka yang tumbuh dengan baik. Ada rasa kecewa juga penyesalan atas diri mereka sendiri yang tak pernah sadar dan peka dengan keadaan sang sahabat. Seharusnya mereka curiga saat Cara mulai kehilangan gairah untuk hidup di hari ulang tahun wanita itu, seharusnya mereka memaksa Cara untuk bercerita apa yang terjadi bukan membiarkan gadis itu diam dan menanggungnya sendiri karena sedikit banyaknya pahit yang Cara alami semasa hidupnya mereka selalu ada tepat di samping sang gadis, seharusnya mereka sudah terbiasa dengan hal itu.

Ruangan yang bertuliskan vvip menjadi lebih sunyi selepas kepergian Bella, sisanya hanya Abi, Budi, juga Kavin yang menyandarkan punggung mereka di sofa yang cukup empuk dan sesekali memejamkan mata kala kantuk kembali menyerang. Namun kala suara bantingan pintu yang cukup keras mengusik ketenangan dan disusul suara Bella yang sedikit bergatar mengambil alih kesadaran mereka.

"Cara gak ada!"

Rio membanting gelas yang sebelumnya ia genggam, menumpahkan cairan alkohol di dalamnya. Rahangnya mengeras, ini yang pemuda itu takuti jika wanita selabil Cara mengetahui fakta gila seperti ini. Rio berdiri dari duduknya, matanya yang sedikit memerah menyalang menatap mereka satu persatu membuat teman-teman Cara itu meresa kecil.

"Lo semua cari di luar, gue cari area sini." Rio merampas kunci mobil yang tertengger tepat di atas meja, ia menyimpannya tepat di saku celananya dan pergi keluar ruangan begitu saja dengan satu ancaman yang tertinggal. "Kalian gak bisa pulang dari sini, kecuali dengan Cara."

"Ayo cari di luar, perjalanan kesini gak banyak tikungan. Kalo Cara memang ada di luar seharusnya kita masih bisa nemuin dia." Ini alasan mengapa mereka suka memuja Kavin dan menganggap pemuda itu sebagai ketua dalam persahabatan mereka, Kavin selalu bisa bersikap rasional, berpikir secara netral saat yang lain hanya mengandalkan kecemasaan. Maka tak ingin membuang waktu lebih lama, mereka kompak berlari mencari jalan keluar dari o
Orchid Moon.

Abi mengutuk semesta yang tak tahu keadaan segenting seperti ini tengah menurunkan hujan deras, ia tak yakin sejak kapan hujan turun dengan derasnya bahkan sesekali petir menyabar dengan kilatnya yang mengejutkan mereka karena saat mereka berada di dalam sana hanya suara musik dan gelak tawa para pengunjung yang memekakkan telinganya.

Tak ada yang lebih membahagiakan dari pada hujan deras saat keadaan tengah menjungkir balikkan keadaan Cara, saat hatinya merasa remuk. Kacau, pikirannya kelabu, hatinya bertalu-talu seolah menabur garam diatas luka yang tak pernah kering sebelumnya. Cara tak bohong, ia hanya ingin pergi ke toilet sebentar saja, perkataan Rio seolah menggelitiknya tanpa ampun membuatnya sedikit mual. Cara memuntahkan sisa-sisa makanan yang belum sempat tercernah sempurna. Sedikit meringis saat melihat makanan-makanan yang ia keluarkan terbuang sia-sia.

Saat merasa tubuhnya sudah sedikit lebih baik gadis itu ingin menemui teman-temannya dan mengajak mereka untuk pulang, Cara lelah ia ingin mati rasanya.

"Ini obatnya, gugurin kandungan kamu sekarang."

"Kamu gila? Kamu mau bunuh anak kamu sendiri?"

"Orang tua aku gak terima anak ini Rini! Aku juga sudah punya calon istri, kamu mau anak ini nantinya jadi gelandangan? Orang-orang akan mandang dia rendah karena hasil dari di luar nikah, kamu gak boleh egois. Kamu emangnya bisa jamin lingkungan dia nanti bisa menerima latar belakangnya? Bahkan tempat kamu tinggal aja, gak pernah bersikap baik sama kamu."

Persetan, Cara menyesal telah menguping perckapan kedua sejoli yang berhasil menarik rasa penasarannya. Lelaki itu benar, semuanya benar. Apakah lingkungannya akan menerima kehadirannya saat mereka tahu bahwa Cara tak lebih dari hanya sekedar anak haram. Bagai  mana jika  teman-teman sekolah mengetahui latar belakangnya, mungkin tidak hanya dia yang menjadi gunjingan tapi juga Ayahnya. Karir yang telah dibangun susah payah oleh sang ayah akan hancur begitu saja ketika masa tahu bahwa Maulana memiliki wanita simpanan selama ini, bahkan yang lebih parahnya saat media tahu bahwa Maulana mempunyai anak selain Axel.

Saat itu Cara kehilangan akal sehatnya, ia memberontak saat sisa kewarasan yang tinggal sedikit berbisik memintanya untuk tenang dan kembali ke taman-temannya. Ia tak menyengka hujan akan turun malam ini, begitu deras membasahi kota Jakarta. Cara tersenyum tipis saat pikiran liarnya mencerna situasi yang tengah terjadi. Sungai akan meluap sebentar lagi, sepertinya semesta telah mengatur kematiannya hari ini.

Tetesan hujan yang terus membasahi wajah pucat Cara membuat sedikit pandangannya mengabur. Di tengah derasnya hujan Cara berteriak kesakitan, merasakan lututnya berbenturan dengan dinginnya aspal. Sudah kesekian kalinya ia terjatuh saat membawa dirinya entah kemana, berlari bak kesetanan tanpa tahu tujuannya berhenti dimana. Jeans yang mulanya menutup kaki mulusnya kini terdapat beberapa sobekan, hal itu membuat lututnya banyak mengeluarkan darah.

Cara acuh, bahkan sakit yang lebih menyakitkan sudah pernah ia rasakan. Sakit di lututnya tak sebanding dengan yang hatinya rasakan. Semesta begitu lihai mengotak-atik kehidupannya, menjadikan gadis lugu itu sebagai boneka atas kesalahan orang tuanya. Cara merasa malu bila mengingat dirinya yang dulu, Cara yang angkuh dan pongah saat mengetahui betapa hebatnya peran sang ayah di dunia. Ia malu memainkan peran sebagai anak yang beruntung di dunia sedangkan semesta hanya mentertawakan aksi konyolnya dahulu.

Maka Cara putuskan untuk menghilangkan semua rasa dalam dirinya. Saat ia berdoa ingin tertidur dengan nyenyak, mungkin ini balasan atas doa-doanya. Mungkin rasa rindu yang telah menggebu atas kehadiran seorang ibu akan segera Cara balas serakus-rakusnya bila ia telah berjumpa dengan Anggraini di alam lainnya. Cara merentangkan tanganya dengan posisi sempurna, membiar kan angin malam dengan rintikkan hujan menerpa tubuhnya. Cara merasa bebas, entah mengapa rasa rindu akan sosok Anggraini begitu menggebu.

Perlahan Cara menutup matanya, kelam yang ia rasakan begitu damai dapat ia rasakan. Tubuhnya yang mulai lemah sedikit terhuyung ke depan, cara bisa mendengar betapa derasnya suara aliran sungai di bawahnya. Seolah nyanyian sebelum tidur yang memintanya untuk segara melompat. Tak ada ragu di dirinya, Cara mengangkat satu kakinya dari pijakkan dan membiarkan yang lainnya mengikuti instruksi otaknya.

"CARA!"

Vanderer [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang