17

294 22 1
                                    

Di sebuah caffe terkenal yang terletak di Ibu Kota Jakarta terdapat dua lelaki yang terpaut usia jauh sedang berbincang layaknya seorang anak dengan orang tuanya.

"Terima kasih Garry, karena kamu rencana om berhasil," ujar Maulana disela meminun coffenya.

"Emangnya si Ve udah dateng ke rumah om?"

"Udah, kemarin. Om ngelakuin ini bukannya tidak percaya dengan pilihan Cara, om hanya ingin memastikan sendiri bahwa lelaki itu tepat."

"Terus apa Ve tepat menurut om?"

"Sepertinya, dia lelaki yang berwibawa tidak gampang menyerah, dia memiliki banyak cara untuk mendapatkan yang dia mau. Om suka cara dia berbicara, walau pun terkadang penuturannya blak-blakkan. Om yakin dia seorang lelaki, omongannya bisa dipercaya."

Garry hanya mengangguk-angguk saja mendengar penuturan panjang Maulana. Menurutnya apa yang diucapkan Maulana benar juga, pertama kali ia jumpa dengan Ve dia juga berpikir bahwa Ve seorang pria sejati, selalu melindungi wanitanya.

"Jadi, urusan kita udah kelar ya om! Garry gak mau lagi dah main yang beginian, takut."

"Takut kenapa?" tanya Maulana tak mengerti.

"Takut jatuh cinta beneran sama Caramel," ujar Garry sambil cengengesan.

Maulana hanya menggeleng tak mengerti saja, ia ikut tertawa atas pengakuan Garry. "Tolong jagain Cara selama di sekolah ya? Om gak bisa pantau dia secara langsung," pinta Maulana.

"Tenang om, yang penting nih es om yang bayarin ya? Garry lupa bawa dompet." Lagi-lagi Garry menunjukkan senyuman tak berdosanya.

Selama ini Maulana selalu memantau Cara dari jauh, banyak orang suruhan Maulana untuk selalu di dekat Cara dan mengabari apa pun yang gadisnya itu lakukan. Hingga ketika Maulana tahu bahwa Cara telah memiliki pacar, di situlah ia berniat untuk mengetahui lebih jauh tentang Ve tanpa dicurigai oleh Caramel.

***

"Woyy! Lama banget sih lo semua, udah telat nih kita!" gertak Cara saat mobil Abi baru saja sampai di depan pagarnya.

Walaupun sudah memiliki pacar dan selalu berangkat dengan Ve, Cara tetap ingin tiba di sekolah bersama-sama dengan teman-temannya. Hidupnya yang sudah terbiasa dikelilingi oleh mereka akan terasa sedikit sunyi jika tidak ada canda tawa Abi dan lainya sebentar saja.

"Ini Jakarta bung, jalanan milik nenek moyang yang bangun duluan," balas Abi yang sudah menurunkan kaca mobilnya.

"Makannya lu bangun cepet." Toyor Bella yang duduk di belakangnya.

"Yaudah ayo buruan, sebelum makin macet jalanan." Tenang kalau Bella sudah emosi kita masih ada Kavin yang berpikir jernih.

Mobil Abi sudah melaju duluan dan disusul dengan motor Ve di belakangnya.

"Perasaan dari tadi kita yang nungguin mereka kenapa kita yang ditinggalin?" Cara sedikit berteriak di telinga Ve yang tertutup helm. Ve hanya terkekeh saja menanggapi gerutuan Caramel, Ve terlalu malas menanggapi teman-teman Cara, rasanya saat pembagian otak mereka berjalan mundur jadi otaknya kebalik. Gak ada yang bisa tebak seberapa anehnya teman-teman Cara.

"Pak Ozan, bukain dong gerbangnya!" bujuk Bella mati-matian, namun lelaki yang dipanggil Ozan itu hanya bergeming mentap mereka satu persatu dengan tajam.

"Kalian ini gak ada bosan apa terlambat terus?" Sudah sepuluh tahun ia berkerja di sekolah ini sebagai satpam baru tiga tahun belakangan ini ia melihat murid seperti mereka, terlambat mulu tunggu dapet syafaat baru bisa dateng cepat.
"Ini tumben berempat, biasanya juga berlima?" tanya Pak Ozan lagi saat menyadari hilangnya satu anggota mereka.

Vanderer [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang