Dua dini hari menjadi waktu dimana Ibu Kota Jakarta menjadi sunyi, dinginnya angin pagi menembus kulit susu Cara yang terbalut jas hitam Garry. Sesekali matanya yang sayu akibat mengantuk tertutup mencoba terlelap di pundak sang pengemudi, namun tentu saja yang ia dapat pukulan peringatan dari Garry dengan suara kerasnya yang terdengar sumbang di telinga Cara.
"Jangan tidur! Ngobrol aja sama gue buruan, kalau ngantuk."
"Ngantuk itu tidur bukan ngobrol, gue dah gak sanggup lagi mau ngomong."
"Lo kalau tidur terus jatuh gak gue tolongin, mampus."
Mendengar suara Garry yang tidak ada gurat bercanda sedikit pun, Cara memutuskan untuk bernyanyi sekeras mungkin untuk menghilangkan rasa kantuknya. Perjalanan cukup lama Cara rasa, walaupun jalanan cukup sunyi Garry mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, pemuda itu hanya takut Cara masuk angin nantinya, baju gadis itu masih lembab, udara cukup dingin, bila Cara sakit maka Garry yang harus disalahkan.
"Car, udah sampe. Gue langsung pulang aja ya?"
Garry tidak mematikan motornya, ia akan segara pulang saat Cara memasuki rumahnya dengan selamat, seperti amanah Maulana.
"Lah, katanya mau tidur dulu? Ini udah hampir jam tiga, lo gak ngantuk? Kalo jatuh di jalan gimana? Istirahat dulu di rumah, ayo?"
"Berisik banget lo, liat noh ada yang nungguin lo di rumah? Gue cabut dulu ya."
Setelahnya hanya suara motor Garry yang memenuhi indra pendengarnya. Cara berjalan santai menuju rumahnya, motor Vanderer ada di sana. Ingin apa pemuda itu berada di rumahnya hingga dini hari?
Jujur, jantung Cara berdetak anomali, entah mengapa rasanya aliran darahnya mengalir sangat deras, berisik sekali. Cara belum siap bertemu Vanderer setelah kejadian tadi. Ia masih kecewa.
"Baru pulang Cara? Abis dari mana saja?"
Suara Ve yang berat menyambut kehadiran Cara di depan pintu, lelaki itu duduk di sofanya di temani secangkir kopi dan televisi yang menyala, menampilkan siaran bola seadanya.
"Bukan urusan lo." Begitulah Cara, ia selalu memenangkan egonya diatas segala hal. Walaupun hatinya meronta ingin memeluk Ve dan menceritakan semua kejadian sial saat acara ulang tahun sang Ayah, namun idnya tetap nomor satu. Cara harus cuek, berusaha tegar disegala keadaan.
Ve tak mengubris jawaban sarkas Cara, lelaki itu melayangkan pertanyaan kembali, mencoba mengganti topik perbincangan. "Aku baru tau pembantu kamu laki-laki? Terakhir kali aku ke sini masih perempuan."
"Lo kalo dateng ke sini cuma mau bahas pembantu gue, mending pulang aja deh. Gue mau tidur."
Ve hanya tersenyum tipis, ia mendekati Cara dan merangkul pundak gadis itu, kemudian Ve berbisik tepat di telanga Cara. "Duduk dulu yuk, mau cerita kenapa bajunya kotor begini? Kata orang jam-jam segini bagus untuk deep talk,
Aku pikir kita udah baikan, belum ya? Kapan mau maafin aku nya?"Sial, Vanderer memang lelaki brengsek yang mampu memporak-porandakan hatinya. Lihat lah saat ini Cara seolah dihipnotis oleh suara serak berat milik Ve, ia dituntun menuju sofa dan duduk di sana berdua.
"Dingin gak? Mau ganti baju dulu?" tuturnya hangat.
Cara menggeleng, maka Ve hanya tersenyum tak membantah sedikit pun, lelaki itu kembali bersuara, "tadi kenapa sayang? Aku cek ponsel ada panggilan tak terjawab dari kamu banyak banget."
"Gak usah sayang-sayang lo bukan pacar gue!"
"Iya, tapi bentar lagi pacaran lagi 'kan sayang?"
"Ogah gue jadi pacar lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
Vanderer [TAMAT]
Teen FictionJudul awal : We Are Still Young! [JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Vanderer Vaughn Vicenzio lelaki gagah dan tampan itu kini sedang berjuang mati-matian untuk mendapatkan hati seorang wanita yang selama ini membuat jantungnya berdebar dua kali le...