37

143 9 0
                                    

Resah, gelisah, merasa bersalah. Konyol, bagai mana bisa Cara merasa begitu tertekan atas dosa-dosa manusia dewasa yang telah memberinya nyawa untuk digenggam dan kemudian dipinta untuk dileburkan oleh tangannya sendiri. Kejam, dunia cukup kejam, membolak-balikkan akal sehatnya hingga berpikir mati adalah jalan keluarnya. Bagai labirin di tengah ombak, malam itu Caramel merasa tersesat di dasar sungai yang entah kapan terasa begitu dalam dan nyaman untuk mengakhiri hidupnya.

Hal terakhir yang dapat ia dengar hanyalah tangisan dan jeritan dari teman-tamannya yang memanggil namanya begitu menyedihkan. Benci sekali, Caramel benci terlihat menyedihkan. Namun itulah dirinya di malam yang dingin dengan guyuran hujan yang membanjiri kota metropolitan tersebut.

Cara membeku di dasar sungai, Ia tak pernah menyangka jika malam itu airnya benar-benar terasa amat dingin, hingga mengilukan tulang-tulangnya. Besarnya arus membuatnya terombang-ambing, sesekali Cara bisa merasakan bahwa tubuhnya terhantam bebatuan yang membuat tubuhnya semakin terasa mati rasa. Di balik titik kesadarannya yang sudah seujung kuku, Ia merasa air sedikit tergunjang menandakan seseorang ikut menyemplung.

Cara ftustasi, mengutuk siapa pun yang mengendalikan kesadarannya yang tak kunjung hilang. Persetan dengan air sungai yang jauh dari kata jernih, tenggorokannya seketika merasa terbakar. Seolah esok tak ada air di permukaan bumi, Cara menelan air itu rakus-rakus membuat dadanya sesak, terasa paru-parunya telah kehilangan oksigen untuk sementara. Dan detik berikutnya, Cara tak bisa mengingat apa pun selain dingin yang menyelimuti kulitnya, membuat bibirnya terus bergetar karena menggigil. Cara yakin tak ada hari esok setelah ini.

***

"Car, Bonyok loh ada di depan. Kita keluar sebentar ya? Ngasih lo waktu sama mereka."

Cara bergeming, bingung entah harus menjawab apa, membiarkan perkataan Kavin lenyap dimakan waktu begitu saja. Di satu sisi, Cara butuh dorongan tak kasat mata dari teman-temannya, namun di lain pihak, Cara tak ingin Vanderer berada di sana, melihat betapa menyedihkannya kekasih Vanderer itu. Mengetahui fakta terpahit yang tak harusnya menjadi konsumsi siapa pun, bahkan dirinya sendiri.

"Silahkan masuk Om, Tante," Kavin bertutur begitu sopan, seperti biasanya. Membuka pintu lebar-lebar, seolah tuan rumah menyabut mereka dengan penuh kehangatan.

"Kami tunggu di luar dulu ya, Car, kalo ada apa-apa kabarin aja." Bella tersenyum simpul, seolah mengerti keadaan sejawatnya yang tak ingin ditinggal dengan kedua orang taunya di ruagan persegi itu

"Ve, buru keluar elah. Entaran lagi ngebucinnya,"

"Okay, wait a minute, Bi." Vanderer beralih, kembali menatap Caramel yang ikut menatapnya, "Aku keluar dulu ya, sayang? I don't know what happent with you and your parents. But, everything will settle down, if you wanna talk, babe. Got it?"

Cara mengangguk lemah, merasa menjadi pecundang terhadap dirinya. Merasa pengecut karena tak berani mengahadapi orang tuanya, dan membiarkan Ve dalam kebingungan yang Ia buat. "Got it," i promise, i'll tell you everything. But not now. Caramel seratus persen pengecut, bahkan bibirnya saja tak mau mengucapkan janjinya dengan lantang.

Vanderer mengecup kening Caranel cukup lama, sebelum berpamitan kepada Maulana dan Melinda, memberi ruang untuk mereka bertiga dan menyusul teman-teman Cara yang telah terduduk manis di bangku tunggu.

Baru saja pemuda itu mendudukkam bokongnya tepat di samping Budi-hanya tertinggal satu bangku di ujung yang sengaja mereka kosongkan untuknya-suara deringan ponsel Vanderer menggema di lorong yang cukup sunyi siang itu.

Sempat mengintip sedikit, siapa yang menelponnya di siang bolong seperti ini sebelum mengakatnya dengan tak minat sedikit pun, "Hallo?" ujar Ve yang disahut cepat oleh Rio-sepupu sekaligus abangnya sendiri.

Vanderer [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang