30

190 14 0
                                    

Ruangan persegi yang tak begitu luas dengan lampu beraneka warna dan suara musik yang membuat telinga berdengung memberikan efek kenyamanan bagi otak gila Vanderer. Wanita seksi dengan pakaian yang menutup area intim saja hilir berganti menggoda pemuda yang tengah kehilangan kesadarannya-bukan karena pengaruh alkohol, Vanderer alergi dengan minuman pahit itu, melainkan dirinya yang terasa mual karena meminum jus leci sebanyak sepuluh gelas-Vanderer tahu dirinya sangat pemilih minuman, jika ia alergi dengan alkohol, maka tubuhnya menolak minuman manis terlalu banyak.

Di sampingnya terdapat seorang pemuda yang tersenyum kecil sembari merangkul pundak Vanderer. "Lo yakin gak salah minum Rer? Biasanya lo gak semual ini deh, lo kayak mabok beneran."

"Brisik anjing, gue begini karena banyak pikiran!"

Pemuda bernama Rio hanya tertawa renyah mendengar sepupunya memaki dirinya dengan gamblang. Dia merasa lucu dengan sikap bar-bar Vanderer, karena biasanya pemuda itu selalu berbicara formal jika berada di rumah Vicenzio.

"Kenapa? Karena cewek lagi?" Rio mengangkat tangannya, memesan kembali minumannya kepada bartender. Ia menuguknya sekali tegukkan sembari menunggu sepupu payahnya menjawab.

"Gue abis tamat sekolah disuruh kawin."

Rio tersedak liurnya sendiri, sepersekian detik pemuda yang lebih tua dua tahun dari Vanderer itu tertawa kencang, begitu puas membuat Ve tak tahan dan memukul kuat kepala yang lebih tua, ia merasa jengkel karena hanya sepupunya yang berani mengejeknnya.

"Terus? Masalahnya dimana? Bukannya lo memang robot yang ngelakuin apa pun perkataan tuan besar Vicenzio?" Ada nada mengejek di sana, sarat akan penekanan bahwa Vanderer seharusnya tidak memusingkan hal semacam itu, karena ia sudah terbiasa dengan perintah gila kakeknya.

"Gitu-gitu dia kakek lo!"

"Dulu. Sebelum gue mendeklarasikan diri gue sebagai manusia yang bebas," Rio berujar penuh rasa bahagia di sana, ucapannya terasa begitu bebas. Vanderer bahkan tidak pernah merasakan sebebas itu melalui perkataannya saja, karena satu huruf pun sudah di atur oleh sang kakek.

"Omong lo, kalo bukan karena gue, lo udah mati gelandangan anjing!"

Rio terkekeh diselah acara meminumnya, "terus lo mau gue ngapain?"

"Hebat lo, bisa baca pikiran gue."

"Darah kakek lo ada di tubuh lo, vice varsa."

"Gue cuma butuh pendapat."

Keheningan menyergap mereka berdua, Rio sedikit tertegun mendengar suara Vanderer yang mengandung banyak kesimpulan, nadanya terdengar pasrah, kesedihan, keputus asaan yang bercampur menjadi satu, sepupunya berada di titik terendah, pikirnya menyimpulkan.

"Kacau, Yo. Gue jatuh cinta, akhirnya. Jilat ludah sendiri bener-bener menjijikkan."

Seharusnya Rio tertawa kencang mendengar pengakuan Vanderer, harusnya Rio mengejek sepupu angkuhnya yang dulu sekali saat mereka masih sering bermain bersama selalu berkata dengan pongahnya bahwa ia tidak tertarik dengan hal-hal berbau romantic, dia benci dengan lingkup keluarga, kegiatan yang membosankan untuk ia budidayakan. Vanderer selalu berkata dengan percaya dirinya bahwa dia tidak akan akan jatuh cinta pada wanita mana pun, bahkan Rio sempat termakan oleh omong kosong bocah belasan tahun itu, pasalnya Vanderer benar-benar membawa wanita asing kerumahnya sebagai pelunasan hutangnya pada sang kakek.

Rio tetap diam, membiarkan sepupunya yang mulai dewasa melanjutkan perkataannya.
"Gue jatuh cinta dengan wanita yang gue temuin empat tahun yang lalu."

"Tiara?" Rio berkata tidak sadar, otaknya yang penasaran merangsang bibirnya untuk bertanya.

"Bukan, she's the real first lady i met, Caramel."

Vanderer [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang