08|-Mati Rasa

23 3 0
                                    

"Dan kamu harus mendapat hukuman."

Deg.

Tangan dan kaki Gracia bergetar hebat, hukuman apa yang akan dia dapatkan setelah ini?

Kepala Gracia perlahan menggeleng pertanda tidak mau, dengan berharap Laura mempunyai rasa iba sedikit saja untuk Gracia.

Tapi ternyata tidak. Laura dengan kasarnya menekan bekas sayatan-sayatan di lengan kirinya Gracia tanpa rasa iba sedikit pun. sehingga membuat sang empunya meringis kesakitan. Dia menyeret Gracia keluar kamarnya dan membawanya ke ruangan kamar yang sudah seperti kapal pecah milk Gracia.

Tanpa ampun Laura mendorong Gracia ke dalam kamar mandinya dan menyalakan shower, Gracia ingin keluar tapi Laura lagi lagi mendorongnya hingga tubuhnya terbentur dinding. Perlahan namun pasti air membasahi tangan kirinya dan memberikan sensasi ngilu sekaligus perih secara bersamaan.

Tubuh Gracia merosot ke bawah setelah ituh terdengar pintu kamar mandi yang dibanting cukup keras dari luar. Gracia yakin Mama nya sudah pergi kamarnya.

Badannya sudah basah kuyup. Perih, dingin, sakit, ngilu. Semuanya seperti datang bersamaan.

Tetapi yang lebih besar hanyalah sakit pada hatinya.

Perlahan bayangkan masa kecil lagi- lagi menghampirinya.

Mata coklat terang milik Gracia terus menelusuri setiap mobil yang lewat, berharap orang yang dia tunggu-tunggu segera datang.

"Grac kamu di jemput sama siapa?" Anak kecil seumuran Gracia itu bertanya.

"Aku lagi nunggu jemputan Mana." Gracia menjawab pertanyaan nya dengan cerita, berharap kali ini itu semua terjadi nyata.

"Sama aku juga lagi nungguin mama." Aina--nama anak kecil berseragam SD kelas 1 itu pun mengangguk antusias.

Setelah beberapa saat.

"Nah itu Mama Grac." Gracia menunjuk Laura yang baru saja turun dari mobil dengan semangat.

Sejenak hatinya berbunga-bunga, dia bahagia. Sangat, Sangat bahagia karena Laura mau menjemputnya pulang sekolah.
Senyuman di bibirnya pun mengembang, apa lagi saat Laura berjalan ke arahnya dengan merentangkan kedua tangannya.
Dan dengan senang hati Gracia pun melakukan hal yang sama.

Namun tiba-tiba senyuman di bibir mungilnya perlahan memudar takala Laura melewatinya begitu saja, seakan tak melihat Gracia di sana, dan di saat Gracia berbalik, ternyata anak yang dipeluk oleh Laura adalah Ferra Kaka angkatnya.

Pelukan penuh kasih sayang itu? Kecupan manis itu? Perhatikan kecil itu? Gracia bertanya tanya pada dirinya sendiri, apa pernah dia merasakannya? Seumur hidupnya Gracia rasa tidak ada yang memperlakukannya seperti itu.

Dengan perasaan hancur Gracia kecil menghampiri keduanya.

"Mah." Gracia tiba- tiba tersenyum ceria dengan merentangkan kedua tangannya, berharap dia pun bisa mendapatkan pelukan dari orang yang selalu membuat hatinya hancur berkeping-keping.

"Mau apa kamu?!" tanya Laura ketus.

"Gracia juga mau di peluk Mama." Gadis itu tidak menyerah, dia tetap mempertahankan senyumannya.

"Saya tak Sudi peluk kamu!" Bahkan tanpa menyaring perkataan nya Laura pergi dari hadapan Gracia dengan menggandeng tangan Ferra penuh kasih sayang menuju mobil yang terparkir di tepi jalan.

"Mau apa kamu ikutin saya?" tanya Laura setelah menaikan Ferra ke dalam mobil.

"Gracia mau ikut Mama pulang."

"Tidak! Kamu pulang di jemput Bi Asih."

Gracia hampir setiap malam berkhayal mamanya mau memperhatikan nya, menjemputnya sekolah, dan masih banyak lagi khayalan lain yang mungkin tidak bisa Gracia ungkapkan dengan kata-kata.

Seiring mobil itu pergi menjauh, iris mata coklat milik Gracia terus memperhatikan, bahkan sampai mobil itu hilang dari pandangan nya bersamaan dengan harapan nya yang menghilang.

Semesta kalo boleh aku bertanya, kenapa kebahagiaan tidak pernah datang kepadaku? Kenapa justru selalu rasa sakit yang kerap menghampiri? Bahkan saat masih dalam kandungan pun, kepedihan sudah menyelimuti ku seolah tidak membiarkan ada rasa bahagia yang bisa menghampiri dan menyelamatkan ku dari rasa sakit!

Gracia hanya ingin merasakan kehangatan dari sebuah keluarga. Tetapi sekarang Gracia sadar.

bahwa dia tidak mempunyai keluarga. Mereka semua ada, tapi tidak terikat!

Semakin lama tubuh Gracia diguyur air dingin maka semakin mengenaskan kondisinya sekarang, kulitnya sudah sangat pucat seperti tak ada darah yang mengalir dari tubuhnya, matanya bengkak dan merah karena terlalu lama menangis, tubuhnya sekarang sudah seperti mati rasa.

Bahkan Gracia sampai tidak lagi merasakan sakit ataupun dingin, dan sekarang yang ingin dia lakukan hanyalah melamun tanpa ingin beranjak sedikit pun dari sana. Air matanya sudah tidak lagi menetes, mungkin sudah habis. Atau mungkin rasa sakit itu sudah tidak bisa di ungkapkan dengan air mata sekali pun.

Ini terlalu sakit!

"Astagfirullah Non!" BI Asih datang dan langsung mematikan shower sekaligus langsung memeluk tubuh Gracia, tak peduli pakaiannya pun akan basah!

"Nyonya ngamuk lagi?" Bi Asih terlihat sangat khawatir, dengan keadaan Gracia.

Namun sayangnya, tidak ada respon dari Gracia. Gadis itu hanya melamun dengan pandangan kosong ke depan.

"Istighfar Non, Non harus kuat, sekarang ganti baju dulu setelah itu bibi obatin lukanya yah." Bi Asih masih berusaha membujuk Gracia.

Tetapi sepertinya tidak berpengaruh apa-apa.

"Bi, kalau seandainya Gracia mati, apa Mama bakal maafin Gracia?"

__Game of destiny__

Game Of Destiny [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang