Melihat gadis cantik yang sempat bersama Albern tempo hari kini berbicara dengannya, Gracia merasa sedikit salah dengan tingkahnya yang harus berekspresi seperti apa.
Dari caranya berbicara, Gracia bisa menebak bahwa gadis itu sangat mudah bergaul dan tipe orang yang tidak akan membosankan sepertinya.
Mengapa Gracia jadi membandingkan dirinya dengan Mila?
Apakah iya merasa insecure dengan posisi gadis itu yang juga dekat dengan Albern?
"Hey Cia, kenapa bengong?" Mila melambaikan tangannya di depan wajah Gracia.
"Eh, iya kenapa?"
"Lo kaya nya lemes banget. Belum makan yah?" Mila menarik tangan Gracia untuk duduk di kursi pinggir jalan yang terdapat pedagang bakso di sana.
"Sama gue juga belum, temenin gue makan yah. Ngga papa kan makan bakso di pinggir jalan?"
"T-tapi aku ga bawa uang." Gracia meringis dengan ucapannya sendiri.
"Kan gue yang ngajak lo makan jadi gue yang bayar lah, tenang aja, Cia itung-itung punya temen baru kan."
Kedua Sudut bibir Gracia melengkung ke atas saat mendengar kata temen terucap dari mulut Mila.
"Kamu mau jadi temen nya aku?"
"Kenapa nggak? Lo cantik, baik lagi."
"Tau dari mana aku baik? Kita kan baru kenal?"
"Feeling gue ga pernah salah kalo liat orang." Mila terkekeh melihat wajah Gracia yang terlihat serius mendengarkan nya.
"Bang, bakso nya dua porsi yah."
"Siapa neng! Tunggu oke."
"Oke." Mila mengacungkan jempolnya pertanda setuju.
Mulut Gracia saat ini sungguh gatal ingin menanyakan tentang kedekatan seperti apa antara Mila dengan Albern. Apakah hanya teman? Saudara? Atau.... Ah kenapa Gracia membayangkan saat Albern menggandeng tangan Mila seperti sepasang kekasih waktu itu.
Jika Gracia bertanya bukankah dia hanya akan terlihat kepo dengan urusan orang?
"Ini pesanannya neng."
Gracia menerima porsinya dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
"Di makan Grac." Mila berucap dengan mulut yang penuh dengan potongan bakso.
Gracia hanya mengangguk dan segera memakan porsinya.
Setelah hari itu keduanya menjadi lebih akrab mereka sempat bertukar kontak saling berbagi pesan dan kadang bertemu layaknya teman pada umumnya.
Gracia beruntung bisa bertemu dengan mila. Sungguh bukankah dari dulu ini yang Gracia harapkan. Mempunyai teman yang tulus padanya.
Ting.
Terdengar notif dari ponselnya yang berada di atas meja belajar saat ini ah! Itu sudah pasti dari Mila.
Gracia segera mengambil benda persegi panjang itu dengan senyum yang tak luntur dari bibir tipisnya.
Papa|
Nanti malam kau bisa ke rumah saya? Istri saya ingin makan malam bersama kamu
Gracia membaca kembali pesan tersebut siapa tau dia saat ini sedang keliru membaca isi pesan yang di kirimkan oleh papa nya tersebut.
Ada perasaan senang dalam hati Gracia saat membaca pesan itu. Walaupun dengan alasan istri dari papa nya yang mengundang Gracia makan malam tetapi tetap saja di sana juga Gracia akan makan dengan papa nya kan?
Bukankah itu juga harapan Gracia yang selama ini sangat ingin bisa tercapai?
Tak apa walaupun kesan pertama saat mereka makan malam bersama tempo hari tidak sebaik yang di harapkan.
Intinya Gracia sangat senang karena harapan-harapan kecil yang dia nantikan perlahan terlaksanakan.
Apakah sebentar lagi kebahagiaan nya akan datang?
Semoga saja, perlahan semuanya membaik.
Tapi... Tidak! Gracia tidak ingin terlalu berekspresi tinggi.
Menuruti apa yang ada dalam pesan itu, akhirnya sampai lah saat ini Gracia duduk di atas kursi dengan berbagai hidangan yang menggugah selera di meja makan.
Dikarena kan, Gracia yang sangat sulit mencari topik pembicaraan akhirnya terjadilah suasana awkward di meja makan itu.
"Bagaimana sekolah kamu Grac?" tanya Linda, perhatian sekali.
Gracia tersenyum. "Baik." Tak tau harus berucap apa? Pada akhirnya gadis itu hanya berucap sekenanya.
Sedari tadi Gracia tidak mendapat pertanyaan--ah tidak lebih tepatnya tidak mendapatkan sapaan sedikit pun dari Gibran. Papanya itu seolah tak menganggap dirinya berada di sana padahal dia sendiri yang mengirim pesan kepada gracia.
Gracia bisa melihat raut tertekan dan ke- prustasian dari sorot mata itu saat melihat dirinya. Sama halnya dengan Laura ketika menatap wajah Gracia.
Sebenarnya ada apa dengan mereka?
Kenapa tidak ada satupun orang tuanya yang mau menatap lama wajah Gracia?
"Kamu katanya siswa berbakat yah? Pintar sekali saya juga ingin Sella setelah dewasa menjadi seperti kamu."
"Gracia juga ngga se-berbakat itu ko."
"Tapi kamu itu anak baik Grac, penurut lagi kamu pasti akan menuruti semua keinginan keluarga kamu kan?"
"M-maksudnya?" Gracia tak paham dengan ucapan Linda yang terkesan seperti....
"Tidak, kamu jangan salah paham, maksud saya kamu pastinya akan membantu keluarga kamu saat mereka sedang butuh bantuan kan? Karena itu kamu terlihat sangat baik dan penurut."
"Gracia pasti bantu jika Gracia mampu."
Linda tersenyum lebar mendengar jawaban Gracia.
"Kami juga keluarga kamu kan Grac?"
"Tentu saja. Aku juga anak Papa kan?" Gracia melirik Gibran yang juga sedang melirik ke arah Gracia.
"Iya."
Hanya satu kata, namun berefek besar bagi perasaan Gracia. Gadis itu senang mendapat pengakuan dari Papanya sendiri.
"Kalau begitu, kamu juga bisa membantu kan saat keluarga ini ada masalah?"
"Tentu."
Semoga saja Gracia tidak menyesali perkataan nya ini di kemudian hari.
__Game of destiny__
KAMU SEDANG MEMBACA
Game Of Destiny [END✓]
Dla nastolatkówselamat datang di kehidupan Gracia, dimana dunianya hanya seperti 'permainan' hari-harinya yang selalu di penuhi dengan harapan, sedangkan kebahagiaannya hanya seperti khayalan. __________________________ "Pah, Gracia sakit. Papa mau kan peluk Graci...