"Gracia."
Merasa namanya di panggil, gadis itu segera menoleh ke arah suara di belakangnya.
"Gracia bisa tolong antarkan buku paket ini ke perpustakaan? Ibu sedang buru-buru soalnya."
"Bisa Bu." Gracia segera mengambil buku paket yang berada di tangan guru fisika nya.
"Makasih yah Gracia, ibu duluan sedang buru-buru."
Ntah ada keperluan apa guru perempuan nya itu yang pasti dia terlihat memang sangat buru-buru, dan Gracia pun tak ada niatan mau bertanya takutnya dia terlihat kepo dan banyak tanya mengenai urusan orang lain.
Sesudah mengantarkan buku itu ke perpustakaan, Gracia melangkah kakinya ke area taman belakang sekolah, yah tepat nya untuk menyendiri dari keramaian berhubung ini adalah jam istirahat jadi Gracia pun tak ada kegiatan apa pun di kelas.
Berniat untuk mendinginkan otaknya dari permasalahan keluarga nya setelah sampai di taman Gracia malah menemukan dua orang laki-laki yang kelihatannya sedang tidak bicara baik-baik saja.
Awalnya Gracia ingin menghampiri namun mengapa ini terasa Deja vu sama halnya dengan kejadian saat dirinya mengetahui permasalahan keluarga nya tentang menukarkan dirinya dengan perusahaan tempo hari.
"Ok fine gue kasih mobil keluaran terbaru gue sebagai taruhan yang lo kasih waktu itu tapi lo harus janji jauhin Gracia karena kesepakatan kita udah selesai."
"Gue ngga mau!"
"Trus mau lo apa Albern?! Bukankah dari awal perjanjian nya seperti itu? Lagian kalo gue jadi Gracia seharusnya gue udah sadar kenapa lo di awal ngajak kenalan ngga ada angin ngga ada hujan mana mungkin seorang Albern mau repot-repot mau ngajak kenalan cewek kalo ngga ada maksud tertentu right?"
Albern tetap diam, karena kenyataannya memang seperti itu dari awal dia mendekati Gracia memang ada maksud ingin memenangkan taruhannya dengan, Davian.
Flashback on!
"Dalam hal apa pun di sini gue selalu menang satu langkah dari lo Al. Terutama masalah cewe. "
Kedua tangan Albern mengepal sempurna. Dia marah! Sungguh mengapa Davian selalu lebih maju darinya dalam hal apa pun?!
"Gue sebenernya udah males banget rebutan cewek sama lo, ya karena gue tau akhirnya yang menang pasti gue." Dengan sombongnya Davian berucap.
Memang selalu saja seperti itu bukan sekali dua kali mereka berebut masalah pangkat baik tentang ketua basket, ataupun permasalahan lainnya.
Sebenarnya, jika membahas masalah berebut tentang gadis bukan masalah gadis itu yang tak mau dengan Albern melainkan Albern yang tak mau dengan gadis-gadis yang selalu di pilih oleh Davian sebagai target mereka.
Gadis-gadis itu kebanyakan bukan gadis baik-baik oleh sebab itu Albern selalu bersikap tak acuh yang menyebabkan kemenangan selalu di pihak Davian.
Namun kali ini untuk yang terakhir kalinya Albern sendiri yang akan menentukan siapa gadis yang akan di jadikan target terakhir oleh mereka.
Albern bersumpah ini yang terakhir karena dia sudah mulai jengah dengan tingkah Davian yang terkesan selalu meremehkan nya.
Dan untuk kali ini Albern akan membuktikan sendiri bahwa dia bisa lebih satu langkah di depan Davian baik dalam masalah apapun.
Bukankah itu manusiawi? Albern bukan orang baik yang sabar dan tidak terbawa emosi. Dia juga sama seperti kebanyakan lelaki punya sisi berengsek tersendiri.
"Siapa yang akan lo pilih jadi target selanjutnya?" tanya Davian. Cowok itu memilih menduduki motor nya yang berada di depan gerbang sekolah.
Jam sudah sore mungkin semua siswa-siswi sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Oleh karena itu rencana Albern kali ini akan berjalan dengan lancar.
Sudah lah Albern sudah merasa jengah teramat jengah berurusan dengan Davian, rasanya dia ingin segera pulang dari pada meladeni cowok ini.
"Gue juga ngga tau siapa yang akan gue jadikan target nya tapi yang jelas di sini gue mau ada kesepakatan." Albern melirik gerbang sekolah di depannya yang terlihat sepi karena mungkin sudah tak ada lagi orang yang akan melewati nya.
Melihat Albern yang terus menatap ke arah depan mau tak mau Davian pun mengikuti arah pandangan cowok itu.
Davian menaikan sebelah alisnya."Ok, apa pun kesepakatan nya gue akan jahanin."
"Bagus! Lo lihat gerbang sekolah itu?" Tanya Albern. Dan di angguki oleh Davian.
"Dalam lima menit dari sekarang jika ada cewek yang keluar dari gerbang itu mau burik ataupun cantik dia yang akan jadi target selanjutnya gimana?"
Davian naik pitam mendengar omongan Albern. Apa-apaan cowok ini?! Jika tidak ada perempuan yang melewati gerbang itu bagaimana? Dan jika yang keluarnya laki-laki juga bagaimana?
Seolah tau apa yang ada dalam pikiran Davian. Akhirnya Albern kembali bersuara.
"Jika dalam lima menit ngga ada seorang cewek pun yang ngelewatin gerbang itu maka mulai detik ini gue udah ngga akan mau lagi di ajak taruhan sama lo dan kalo yang keluar dari gerbang itu duluan cowok yah terima nasib aja berarti taruhan lo dengan gue sampai di sini doang, karena gue bilang ini adalah yang terakhir kalinya gue mau ngeladenin orang kaya lo Davian."
"Shit! Kalo yang ngelewatin cewe gue akan taruhin mobil keluaran terbaru gue buat lo tapi lo harus ngejalanin taruhan ini sampai akhir gimana?"
"Siapa takut? kali ini gue yakin kalo gue pasti menang." Albern yakin kali ini dia yang akan menang di karena kan gadis yang di taruhkan nya ini sudah pasti anak sekolahan bukan anak club' malam seperti taruhan Davian yang sudah-sudah.
Davian hampir putus asa saat waktu sudah menunjukkan hampir lima menit di sana, mereka belum juga mendapati tanda-tanda seorang akan melewati gerbang itu.
"Udah lah ngga akan ada siswi yang baru pulang jam segini." Albern tersenyum penuh kemenangan.
Tentu saja Albern senang karena dia tidak akan lagi berurusan dengan Davian jika tidak ada gadis yang lewat dari sana, dan jika ada pun tak jadi masalah Albern akan menepati janjinya untuk kembali beradu kemenangan dengan Davian.
"Tunggu tiga puluh detik lagi."
Rasanya Albern ingin berkata sudah tidak akan ada harapan lagi Davian namun langkah seorang gadis dari kejauhan dengan lepas nya melewati gerbang sekolah yang sudah sepi itu membuat Albern tak bisa berkutik.
Dia ... Gracia.
___Game of destiny___
KAMU SEDANG MEMBACA
Game Of Destiny [END✓]
Teen Fictionselamat datang di kehidupan Gracia, dimana dunianya hanya seperti 'permainan' hari-harinya yang selalu di penuhi dengan harapan, sedangkan kebahagiaannya hanya seperti khayalan. __________________________ "Pah, Gracia sakit. Papa mau kan peluk Graci...