31|- Rasa lelah Gracia

16 2 0
                                    

Melihat Davian pergi dengan membawa Gracia yang dalam keadaan setengah sadar seperti itu tidak bisa di pungkiri bahwa Albern merasa sangat cemas.

"Mil, gue tinggal di sini ngga papa?" Albern bertanya pada gadis yang datang ke pesta Gemi dengannya.

"Mau kemana Al?"

"Gue, ada urusan."

"I-iya ngga papa lagian di sini ada Jovin. Nanti balik bareng dia aja," ujar orang yang di sebut Mil oleh Albern itu.

"Makasih. Gue pergi." Tangan Albern mengelus puncak kepala gadis itu. Setelahnya langsung pergi dari sana.

"Davian brengsek! Gracia pulang bareng gue." Albern menutup pintu mobil Davian saat cowok itu hendak memasukan Gracia ke dalamnya.

"Punya hak apa lo?" Masih dengan nada tenang, Davian menaikan satu alisnya.

"Gausah macem-macem." Albern mengambil alih Gracia dari gendongan Davian dan mendudukn nya di kursi yang berada di sana.

"Dia pulang sama gue!"

"Lo tau rumahnya di mana?" Davian diam saat Albern melemparkan pertanyaan tersebut kepadanya.

"So - soan mau nganterin pulang. Alamatnya aja ngga tau." Albern tersenyum mengejek.

"Pulang ngga harus ke rumahannya aja kan? Rumah gue juga bisa."

"Dia cewek baik-baik btw."

"Dia nya baik, tapi cowoknya brengsek mau apa?"

"Lagi ngomongin diri sendiri?"

"Sialan!"

Saat Davian lengah, Albern segera membawa Gracia pergi menuju mobilnya.

"Albern! Gue bunuh lo!"

Tak di Hirawan, Albern segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.

"Lo kenapa bisa mabuk sih Grac."

"Haha dunia benci banget sama aku yah? Kenapa semuanya jahat?"

"Siapa yang jahatin lo?"

"Semuanya! Semuanya yang ada di dunia ini jahat sama aku! Ngga ada yang tulus, kamu juga jahat! Kenapa kamu bohongin aku Al?" Gracia mengeluarkan semua unek-uneknya.

"G-gue ngga bermaksud mau bohong."

"Albern bilang ngga tertarik mau datang ke pesta kaya gitu! Tapi kenapa dia datang sama cewek? Kenapa orang itu jahat? Haha aku bodoh yah udah salah artikan semuanya?" Dengan mata terpejam Gracia terus saja mengoceh.

"Aku benci dia!"

Deg.

Albern dengan mendadak menghentikan laju mobilnya.

"Gue ngga suka lo ngomong gitu Gracia!"

"Hiks... Mereka semua sama aja! Gemi juga sama cuman manfaatin aku. Sakit! Kenapa dada aku rasanya sakit? Apa penyakit aku kambuh? Haha kapan permintaan ini segera berakhir tuhan?"

"Penyakit?" Dahi Albern berkerut.

"Kenapa aku ngga mati aja dari dulu? Nanti kan' Mama seneng."

"Cukup Gracia!"

"Aku mau pergi! Aku cape."

"Gracia! Gue ngga suka lo ngomong sembarangan!"

"Aku mau mat-hmmps." Belum sempat Gracia menyelesaikan ucapannya, bibir merah muda milik Albern sudah lebih dulu menempel di mulutnya.

Gracia bukan hanya sakit hati karena Albern, tapi juga Gracia sudah lelah, bukan hanya pisiknya yang sakit namun hatinya juga sudah lelah harus terus bertahan padahal dia sudah tidak sanggup.

Cukup lama Albern menempelkan bibirnya, hingga saat Gracia sudah tidak lagi berucap barulah laki-laki itu menjauhkan wajahnya.

"Gue udah bilang, gue ngga suka lo ngomong sembarangan!"

Tangan kekar Albern merapihkan anak rambut Gracia yang menutupi mata cantik itu.

"Gue ngga tau, kenapa rasanya sakit saat lihat lo kehilangan semangat hidup kaya gini Grac?"

"Gue benci lihat lo nangis, tapi gue lebih benci karena yang buat lo nangis itu gue."

Mata itu terpejam, mulutnya sudah tak lagi mengucap. Gracia tertidur tenang.

"Maaf." Albern tak tau harus berucap bagaimana?

Karena tak tau di mana rumah Gracia Albern berinisiatif membawa Gracia ke apartemennya.

Setelah sampai di apartemen, cowok itu menggendong Gracia ala bridal dan menidurkan nya di dalam kamar.

"Gue tau, banyak beban yang lo tanggung sendiri, banyak penderitaan yang lo pendam Grac, lo cewek kuat." Albern mengusap air mata yang mengalir dalam tidur Gracia.

"Maafin gue, gue ngerasa selalu nyakitin lo."

"Selamat malam, dan mimpi indah."

Setelahnya, tak ada lagi kata yang keluar dari mulut laki-laki itu, dia melangkahkan kakinya keluar dan menutup pintu kamar Gracia.

__Game of destiny___

Game Of Destiny [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang