Sudah tiga hari semenjak berbicara dengan Gracia waktu itu, sampai sekarang Albern tidak melihat kehadiran Gracia di sekolah.
Albern di buat kalut oleh kata-kata gadis itu sampai-sampai dia tidak bisa tidur karena khawatir dengan kondisi Gracia saat ini.
Albern tidak dapat mendeskripsikan hatinya lagi. Semuanya terasa sangat rumit, mood nya sangat buruk dan emosinya sangat -sangat tidak stabil.
Selama tiga hari ini, cowok itu terus saja mengirimi pesan permintaan maaf pada Gracia namun tak ada balasan satu kata pun dari gadis itu.
Perasaan Albern tidak tenang,
Bagaimana jika terjadi sesuatu hal buruk dengan Gracia?
Tiba-tiba, ponsel yang berada di genggaman Albern berdering.
Senyum bahagia tercetak jelas dari muka itu. Gracia menelponnya!
Albern sedang tidak lagi bermimpi kan?
Tak ingin panggilan itu berakhir, Albern segera menggeser tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu di telinganya.
"Halo Grac, lo udah maafin gue?"
Suara dari sebrang sana berbeda dengan suara Gracia. Itu bukan Gracia!
"Maaf kemu teman nya non Gracia?" Suara wanita paruh baya di sana membuat senyum Albern luntur.
"Iya ada apa? Kenapa Gracia?" Albern di buat semakin khawatir apalagi setelah mendengar suara dari wanita itu yang seperti menangis.
"Tolong non Gracia, Den. Bibi ngga tau harus minta tolong ke siapa lagi, nyonya sedang liburan dengan anak angkatnya ke luar kota."
"Gracia kenapa Bi?!" Tangan Albern gemetar, cowok itu sedang sangat takut sekarang.
"Penyakitnya kambuh, Non Gracia pingsan Den, ngga bangun-bangun, nanti bibi ceritain sekarang tolong Non Gracia dulu."
"Kirim alamat rumahnya Bi, Albern sekarang ke sana!"
Orang yang Albern duga adalah asisten rumah tangga nya Gracia itu pun memberikan alamat rumahnya.
Tanpa menunggu lama Albern segera menuju tempat itu.
Dari alamat yang di kirimkan di sana, pikiran Albern berkecamuk, sungguh pemuda itu saat ini sedang menduga-duga banyak hal, alamat yang di kirimkan di sana sama dengan ....
Alamat rumahnya Ferra.
Albern sangat yakin itu!
Sekian lama menempuh perjalanan, akhirnya Albern sampai di tempat tujuan.
Bener, di sini dia sekarang. Di depan pintu masuk rumah teman perempuannya, Ferra.
Tersimpan banyak pertanyaan di otak Albern saat ini, Namun semua itu iya singkirkan untuk saat ini keadaan Gracia yang lebih penting.
Setelah mengetuk pintu rumah itu, Albern langsung di sambut oleh seorang wanita paruh baya yang sedang menangis dengan nafas yang tak beraturan.
"Nak, Albern yah?"
"Iya, Bibi yang tadi di telepon? Gracia mana Bi?" Air mata dari kelopak mata wanita itu kembali jatuh.
"Di dalem, ayo ikut Bibi." Albern mengikuti Bi Asih menuju kamarnya Gracia.
Setelah pintu itu di buka, hati Albern mencelos, bagaimana tidak. Keadaan kamar itu sangat berantakan pecahan kaca di mana-mana kondisi tempat tidur yang sudah berada di lantai dan yang menjadi titik fokus Albern saat ini adalah kondisi gadis yang sudah berani menaruh namanya di hati Albern.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game Of Destiny [END✓]
Teen Fictionselamat datang di kehidupan Gracia, dimana dunianya hanya seperti 'permainan' hari-harinya yang selalu di penuhi dengan harapan, sedangkan kebahagiaannya hanya seperti khayalan. __________________________ "Pah, Gracia sakit. Papa mau kan peluk Graci...