Bab 1

5.2K 423 40
                                    

Waktu makan siang sebenarnya masih beberapa jam lagi, tapi meja kantin FIB rasanya tak bisa menunggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu makan siang sebenarnya masih beberapa jam lagi, tapi meja kantin FIB rasanya tak bisa menunggu. Semua penuh dengan kelompok-kelompok kecil beranggota tiga sampai lima orang. Bahasan mereka nyaris sama. Penelitian gabungan untuk skripsi.

Di tepi sebelah kanan, tiga orang duduk dengan wajah tegang. Beberapa lembar kertas penuh coretan dan buku terserak di meja. Tiga gelas moccacino dingin di gelas plastik sudah penuh embun, berleleran di luar gelas. Tak ada yang berminat menyentuhnya sebelum mereka membulatkan suara.

Terkenal dengan sebutan genk ABC karena kebetulan inisial nama mereka berurutan dan sudah bersahabat sejak semester pertama, ternyata tak membuat mereka bisa langsung satu pendapat. Sudah delapan jenis penelitian yang tertulis di satu lembar ide, dengan coretan tari, kitab kuno, lontar, dan yang lain-lain. Namun sepertinya belum ada yang berminat untuk mengeksekusi salah satu ide itu.

"Wayang!" Cokro mengetukkan telunjuk ke meja dengan sorot mata tegas. "Ini sudah pilihan ke sembilan dari seluruh ide yang kita catat. Dan semua mental! Aku ndak tahu lagi mau ngerjain apa kalau kalian menolak."

Dua pasang mata sahabat di depannya menyorot ragu.

"Jawa Tengah, Cok--"

"Asem! Namaku Cok, bukan Cuk!" potong Cokro setengah jengkel saat Anjas masih bisa bercanda melafalkan huruf o-nya dengan sengaja keliru.

"Iya iyaa." Yang diprotes hanya terkekeh. "Tapi penelitian wayang Jawa Tengah udah banyak banget tuh di arsip perpus."

"Lain. Jujur, aku sendiri ndak tahu ini beneran ada atau hanya mitos, tapi ndak ada yang berani bicara tentang wayang yang satu ini. Wadi." Cokro mencondongkan tubuh ke depan, seakan apa yang dia bicarakan sangat rahasia. Logat Jawa yang masih kental memberi penekanan pada setiap kalimatnya.

"Apaan, sih?" Bania, satu-satunya yang gondrong mulai tertarik. Tangannya terlipat di meja seperti murid yang menunggu wejangan guru.

"Wayang Jimat." Cokro melafalkan dengan berbisik, seolah kalimat itu satu hal sakral yang tabu dibicarakan.

Kening Anjas dan Bania mengerut dalam.

"Gue belum pernah dengar." Anjas menggeleng ragu.

Ada rasa penasaran yang tertangkap lewat kalimat anak konglomerat itu. Cowok yang secara aneh tertarik pada semua hal yang berbau Jawa, meski dia lahir dan besar di Jakarta. Namun semua akhirnya hanya memaklumi, saat tersemat huruf R besar di depan nama Anjas Wirashangga. Satu jawaban yang paling masuk akal adalah, darah ningrat yang mengalir di tubuhnya rindu pada muasal.

"Justru itu!" Cokro kembali mengetukkan telunjuk ke meja. "Ada banyak yang bisa kita gali dari keberadaan wayang itu. Keberadaannya. Asal usulnya. Mitos di dalamnya. Mistis yang menyelubunginya. Banyak lagi hal lain. Satu penelitian, tiga judul. Kelar skripsi kita!"

Cokro menatap dua sahabatnya bergantian, mencoba menularkan antusiasme yang dirasakan. Meski lulus mungkin tak begitu berarti buat Anjas, tapi akan berbeda untuknya dan Bania. Tanpa lulus, Anjas tetap bisa bekerja dan makmur setidaknya tiga turunan. Sementara dia dan Bania harus terus menata langkah demi langkah untuk tetap bisa survive.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang