Anjas terbangun oleh dering alarm ponsel. Empat lebih lima belas. Samar sudut bibir cowok itu terangkat tipis sambil mematikan jeritan benda pipih di tangannya. Empat hari ini dia tak lagi mimpi aneh dan bisa tidur lelap. Namun entah, kegilaan macam apa yang merasuki otak, ketika dia justru merindukan sosok di mimpi yang seharusnya menghantuinya.
Suara kidung yang terdengar pilu menyayatkan kepedihan di dalam mimpi itu kadang terbawa ke dunia nyata, masih menggaung lirih di telinganya. Nyata. Seolah menyatu di memorinya, menjadi tembang pengantar langkah yang melenakan.
Anjas menggeliat, meregangkan lengan jauh ke atas kepala. Rasa semangat berbaur dengan penasaran membuatnya seperti selalu punya energi baru. Meski empat hari sudah berlalu, dia dan dua temannya belum tahu harus ke mana untuk memulai penelitian. Dua hari terakhir, mereka mengaduk-aduk arsip perpustakaan kota. Mereka sepertinya belum ingin menyerah.
Anjas turun dari tempat tidur. Setelah mencolokkan charger ponsel, dia masuk ke kamar mandi di pojok kanan. Masing-masing kamar di rumah itu punya kamar mandi sendiri di dalam. Tempat melepas hajat yang sering membuat ngilu Bania karena luasnya hampir menyamai kamar kosnya.
Setelah menyetel kehangatan air, Anjas membuka kran lebar-lebar dan berdiri di bawah shower seakan sedang bermain kucuran hujan.
Dia bergegas menyudahi ketika teringat belum sholat Subuh. Kebiasaannya mandi sebelum sholat membuatnya terjaga penuh saat melaksanakan ritual pagi itu. Hanya dengan kaos tipis dan lilitan handuk, dia mengambil wudu di kran dekat wastafel.
Sesaat setelah selesai, matanya terpaku ke cermin yang nenempel tepat di sebelah. Jantungnya berdegup kencang saat menatap cermin yang buram berembun. Tidak ada bayangannya sama sekali di sana. Hanya ada warna pekat di balik uap embun di permukaan kaca. Lalu perlahan terlihat pendar biru dengan sebentuk bayangan aneh muncul di sana, dari balik kepekatan.
Mulut Anjas terkatup rapat saat sosok itu mendekat dan seakan menempel di dinding kaca. Anjas seakan bukan menghadap cermin, tapi hanya ada jendela yang memisahkan mereka.
Tangan di balik kaca itu berusaha menggapai keluar, meski tertahan. Tatapannya yang seakan memohon, membuat kaki Anjas seperti terpaku ke lantai. Otak sudah menyuruhnya lari, tapi rasanya seluruh tubuh berkhianat. Lututnya ngilu menahan gemetar di tubuh.
Namun kengerian di depannya belum berhenti.
"Tolooong." Ratapan lirih di balik kaca itu benar-benar terdengar.
Anjas tidak bermimpi!
Matanya membesar ketika melihat tangan kanan sosok di balik kaca itu terangkat. Jemarinya yang panjang mengusap permukaan, meninggalkan jalur aneh. Anjas terkesiap. Tangan itu terayun seakan hendak memukul batas di antara mereka.
"Huaaa!"
Tiba-tiba Anjas terlonjak dan tak sadar berteriak ketika bertepatan dengan tangan itu membentur kaca, pintu kamar mandinya digedor. Refleks, tangannya menyentuh dada, menepuk-nepuknya untuk meredakan kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...