Bania dan Cokro yang langsung tanggap, saling tatap. Refleks, mereka juga melihat arloji masing-masing. Tepat! Anjas tidak keliru.
Perjalanan dua jam hanya mereka tempuh dalam lima menit. Kalau salah satu arloji yang keliru, mungkin tak jadi masalah. Namun ketiga arloji di tangan mereka, menunjuk pada waktu yang sama
"Jalan pintas!" desis Bania lirih dan terdengar ragu. Meski bisa jadi niatnya hanya memberi alternatif kemungkinan.
Cokro berdecak menyangsikan.
"Gue salah dalam menilai Pak Ranto. Bisa jadi dia tak sekadar petani biasa," gumam Anjas seakan sedang bicara sendiri.
Dua sahabat langsung menatapnya tertegun. Tanpa kata, mereka bisa menagkap apa yang Anjas bicarakan.
"Bisa jadi Bania benar ... jalan pintas." Cokro menekankan kata terakhir seperti memberi dua petik pada kalimat dan menandai bahwa kata itu memberi makna seluas sabana lereng Merbabu di Selo.
Meski jadi pemuda metropolis, mereka menceburkan diri ke Sastra Jawa yang mau tidak mau juga berhubungan dengan segala kearifan lokalnya. Pembicaraan di kalangan mahasiswa sering nyerempet ke hal-hal di luar nalar. Banyak peristiwa gaib yang tidak bisa dijelaskan dengan teori mana pun, terpampang di mata mereka. Jadi, seharusnya memang mereka tak perlu terlalu kaget ketika harus mengalami sendiri.
"Ya, jalan pintas." Anjas mengangguk-angguk.
Kesimpulan ini membuat kuduk mereka meremang. Jalan pintas yang diyakini telah mereka lewati itu adalah sebuah jalan dengan memasuki dimensi lain, sehingga bisa memotong jarak dan waktu dengan konstanta tak terhingga. Artinya, tak bisa dihitung dengan rumus matematika mana pun.
Mereka terdiam saat mendengar gerakan dari dalam ruangan. Lalu pintu membuka perlahan, menampakkan Ranto, Mbah Martoyo dan istri. Tiga pasang mata saling menatap, tanpa bahasa lisan.
Anjas menurunkan tas punggung, dan perlahan mendekat ke arah Mbah Martoyo. Tangan mereka saling berjabat. Tak disangka, seorang Anjas menunduk, mencium takzim tangan Mbah Martoyo -yang entah dengan rasa bagaimana- kemudian mereka saling berpelukan. Anjas menangis tersengguk-sengguk seperti anak kecil yang mengadu kehilangan mainan.
Kedua temannya hanya bisa menatap dengan gamang. Mereka benar-benar heran dengan apa yang Anjas lakukan. Selama ini, dia memang selalu bertindak spontan, tapi terukur. Anjas tak pernah terlihat terlalu membawa perasaan seperti saat ini. Jadi terasa aneh, hanya kehilangan setangkai wayang yang bahkan bukan punyanya sendiri, dia bisa menangis tersedan di bahu orang yang baru dikenal.
Anehnya, wajah Mbah Martoyo juga tampak sama sedihnya dengan Anjas.
Mbah Martoyo mengurai pelukan Anjas, lalu menepuk-nepuk bahu pemuda itu seperti memberi kekuatan. Tangan tuanya yang masih terlihat kekar merangkul bahu Anjas dan menuntunnya masuk. Sementara tangan satunya lagi memberi isyarat agar yang lain mengikuti.
Anjas diajak duduk di atas karpet yang sama sejak kedatangan mereka beberapa waktu lalu. Setelah duduk melingkar, Bu Martoyo tanggap untuk membuatkan mereka sekadar minuman hangat. Dia bangkit untuk ke dapur.
Mbah Martoyo yang duduk di sebelah Anjas terdengar menghela napas.
"Apa benar berita yang dibawa anakku, Le?" Pertanyaan Mbah Martoyo seakan hanya mengarah pada Anjas. Dan memang dia lah yang sangat paham apa yang terjadi.
"Saya nggak lihat langsung wayang itu saat sudah diberitakan hilang. Tapi orang yang mengabarkan itu adalah orang yang sangat saya percaya. Dan rasanya, tak ada keuntungan apa pun jika dia harus mengabarkan berita bohong." Anjas menjawab lirih.
Mbah Martoyo terlihat menunduk dengan mata terpejam. Kakinya yang bersila seperti tertanam kukuh bersama alas yang diduduki. Tak ada yang berani buka suara. Bahkan ketika Bu Martoyo menghidangkan teh pun dia tak berani langsung menawarkan. Semua menunggu Mbah Martoyo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...